EtIndonesia. Setelah pemerintah Trump melarang Universitas Harvard menerima mahasiswa internasional, hubungan jangka panjang Harvard dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam bidang akademik dan pendanaan kembali mencuat ke permukaan, memicu kekhawatiran tentang keamanan nasional AS, infiltrasi akademik, serta pencurian teknologi.
“Kami ingin mendapatkan daftar mahasiswa asing itu, kami akan menyelidiki apakah mereka bermasalah. Saya mengasumsikan banyak dari mereka tidak bermasalah, tapi saya juga berasumsi banyak orang di Harvard bermasalah. Dan satu hal lagi, mereka sangat anti-Semit, semua orang tahu itu, dan situasi ini harus segera dihentikan,” ujar Presiden AS Donald Trump pada 25 Mei 2025.
Pemerintah Trump melarang Harvard menerima mahasiswa internasional bukan hanya karena dituding memicu kekerasan dan anti semitisme yang menciptakan lingkungan kampus yang tidak aman, tetapi juga karena universitas elit ini dianggap “terlalu pro-PKT”.
“Tiongkok (PKT) ingin belajar teknologi dan pengetahuan tercanggih dari universitas papan atas AS seperti Harvard. Tapi di sisi lain, mereka juga ingin menyusup dan memanfaatkan universitas ini untuk kepentingan propaganda, dengan berbagai cara seperti menyumbang dana agar lebih banyak mahasiswa dari Tiongkok bisa diterima di Harvard. Bahkan, mereka menggunakan Harvard sebagai batu loncatan ke universitas lain atau lembaga pemerintah AS. Jadi, motifnya bukan sekadar menuntut ilmu, tetapi juga untuk infiltrasi, propaganda, dan menjadikan universitas ini basis perang kognitif atau perang teknologi di AS,” kata peneliti dari Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan, Shen Mingshi.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) baru-baru ini menuduh Harvard bekerja sama dengan PKT dalam jangka panjang dan melakukan berbagai pelanggaran.
Tuduhan mencakup kerjasama Harvard dengan pihak PKT dalam proyek yang didanai oleh agen intelijen Iran, serta kolaborasi dengan universitas di Tiongkok yang memiliki latar belakang militer, menggunakan dana dari Departemen Pertahanan AS untuk penelitian dirgantara dan optik.
“Melalui kasus Harvard, kita bisa melihat pola dasar infiltrasi PKT ke luar negeri—mengatasnamakan kerja sama pendidikan, pertukaran budaya, dan saling menguntungkan. Namun kenyataannya, ini adalah bentuk penggerogotan, pencurian, dan ekspansi pengaruh,” ujar Li Yuanhua, mantan dosen Universitas Normal Ibu Kota Beijing.
Menurut laporan, kerja sama Harvard dengan PKT juga membuahkan donasi dalam jumlah besar. Misalnya, taipan properti asal Hong Kong, Chen Qizong, melalui yayasan keluarganya, menyumbang USD 350 juta kepada Harvard pada tahun 2014. Chen merupakan anggota China-United States Exchange Foundation, organisasi yang berbasis di Hong Kong dan telah diklasifikasikan sebagai agen asing oleh AS.
“Hubungan Harvard dengan Tiongkok mencerminkan strategi infiltrasi global PKT. Melalui kerja sama pendidikan dan donasi atas nama individu yang sebenarnya bermuatan politik, PKT berusaha menarik atau menyusup ke universitas terkemuka AS. Tujuannya adalah mencuri hasil riset teknologi negara maju, menyebarkan pandangan politik mereka, dan menjadikan kampus-kampus ini basis propaganda luar negeri PKT,” kata Li Yuanhua.
Para ahli mengingatkan bahwa negara-negara Barat harus waspada terhadap bahaya infiltrasi PKT.
Li Yuanhua menyimpulkan: “Barat seharusnya mengambil pelajaran dari kasus infiltrasi PKT ke Harvard. Jangan hanya menilai dari sisi ekonomi atau kepentingan universitas semata, tapi harus memandangnya sebagai ancaman nyata komunisme terhadap kemanusiaan.”
Menurut laporan dari The Epoch Times yang mengutip data dari Administrasi Layanan Umum AS, pemerintahan Trump tengah bersiap mengakhiri semua kontrak federal tersisa dengan Harvard, yang totalnya diperkirakan mencapai 100 juta dolar AS. (Hui/asr)
Laporan oleh Tang Rui dan reporter khusus Luo Ya, New Tang Dynasty Television