EtIndonesia. Rabu (28/5) malam menjadi saksi sejarah baru di Jalur Gaza. Genap 600 hari setelah pecahnya perang berdarah, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu secara resmi mengumumkan keberhasilan operasi besar militer Israel dengan menewaskan ribuan anggota kelompok Hamas, termasuk sosok paling diburu: Muhammad Sinwar.
Muhammad Sinwar, yang selama ini dikenal dengan julukan “Sang Hantu” karena berulang kali lolos dari operasi khusus Israel, akhirnya dikonfirmasi tewas pada 28 Mei 2025 dalam rapat parlemen Israel. Dia bukan nama asing di telinga publik; Sinwar adalah adik kandung Yahya Sinwar, pemimpin tertinggi Hamas yang sebelumnya menjadi otak serangan teror 7 Oktober 2023 (dikenal sebagai Operasi Banjir Al-Aqsa) dan sudah dilaporkan tewas pada Oktober tahun lalu. Seusai kematian kakaknya, Muhammad Sinwar naik sebagai pemimpin baru dan langsung mengambil komando Brigade Qassam—pasukan elit Hamas yang selama ini menjadi momok bagi Israel.
Pengumuman kematian Sinwar ini menjadi momen krusial, tak hanya sebagai unjuk prestasi militer, tetapi juga sebagai langkah strategis membangun momentum aksi-aksi besar Israel di Gaza yang diprediksi bakal mengubah peta konflik.
Israel Ubah Peta Pengawasan: Zona Anti-Hamas dan Efek Domino di Gaza
Setelah rangkaian operasi militer selama berbulan-bulan, Israel kini membagi Jalur Gaza menjadi lima zona pengawasan ketat: Gaza Utara, Gaza City, Gaza Tengah, Khan Younis, dan Rafah. Langkah ini bukan sekadar strategi militer, melainkan upaya sistematis untuk memutus komunikasi, logistik, dan pergerakan pasukan Hamas dari satu zona ke zona lain. Dengan mengadopsi strategi “pecah-belah dan kuasai”, militer Israel berhasil memecah kekuatan utama Hamas, khususnya di Gaza Utara yang selama ini dianggap sebagai benteng tak tergoyahkan kelompok tersebut.
Dampaknya nyata: untuk pertama kalinya sejak konflik berkecamuk, muncul gelombang demonstrasi warga Gaza Utara yang secara terbuka menentang Hamas. Di tengah jalan-jalan kota, terdengar seruan “Hamas, enyahlah!”—sebuah fenomena langka yang mencuri perhatian dunia internasional.
Banyak analis menilai, ketidakpuasan publik yang mulai meluas ke zona lain merupakan indikasi perubahan besar dalam sikap masyarakat Gaza, di mana sebagian mulai menyalahkan Hamas atas penderitaan dan kehancuran yang terjadi.
Israel sendiri berambisi menjadikan Gaza Utara sebagai zona percontohan anti-Hamas—sebuah wilayah yang bisa membuktikan pada dunia bahwa stabilitas dan perdamaian hanya dapat tercapai jika pengaruh kelompok teroris berhasil disingkirkan dari kehidupan warga sipil.
Sistem Baru Penyaluran Bantuan: Bantuan Amerika dan Israel Sampai Langsung ke Rakyat, Bypass Hamas
Selain kemenangan militer, Israel juga membenahi sistem bantuan kemanusiaan di Gaza. Pada 27 Mei, sebuah inisiatif baru yang dikenal dengan nama Gaza Humanitarian Foundation—merupakan hasil kolaborasi antara Israel dan Amerika Serikat—mulai menyalurkan ribuan paket makanan secara langsung ke puluhan ribu warga Palestina.
Berbeda dengan skema bantuan PBB yang selama ini rawan disita Hamas, sistem distribusi kali ini melibatkan pengawasan militer Israel, dukungan logistik dari perusahaan swasta Amerika, serta jaringan organisasi kemanusiaan terpercaya. Hasilnya, lebih dari 8.000 paket makanan, atau setara dengan 460.000 kotak bantuan, benar-benar diterima langsung oleh warga, tanpa perantara Hamas.
Suasana di lokasi pembagian bantuan pun berbeda dari biasanya. Banyak warga Gaza, terutama anak-anak dan perempuan, secara spontan meneriakkan nama Trump dan Netanyahu.
“Trump! Netanyahu!” seru mereka—sebuah pemandangan yang membuat sejumlah media Barat, khususnya yang berhaluan kiri, bungkam dan kehabisan narasi.
Bantuan ini menjadi simbol bahwa warga Gaza kini bisa berharap pada sistem baru yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada elite bersenjata yang kerap memperkaya diri dari penderitaan kolektif.
Mengapa Nama Trump Dielu-elukan Warga Gaza? Ketakutan Hamas, Perubahan Sikap Terhadap Sandera Israel
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa nama Donald Trump dielu-elukan di Gaza? Bukankah Trump selama ini dikenal dengan kebijakan “America First” dan kerap menekan bantuan luar negeri, termasuk untuk Palestina?
Jawabannya terungkap lewat wawancara eksklusif CNN dengan seorang sandera Israel yang sempat ditahan Hamas dan akhirnya dibebaskan. Menurut penuturannya, para anggota Hamas justru sangat takut jika Trump kembali berkuasa di Gedung Putih. Ketika Trump menjadi presiden, terjadi perubahan drastis dalam perlakuan terhadap sandera Israel.
“Mereka mulai memberi lebih banyak makanan, perlakuan membaik, dan mereka mulai membicarakan kemungkinan kesepakatan pembebasan sandera. Mereka sangat takut jika Trump menang pilpres; mereka berharap Kamala Harris yang terpilih,” jelas sang sandera.
Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri yang tegas dari Amerika Serikat, terutama di era Trump, membawa efek psikologis yang sangat kuat bagi kelompok-kelompok bersenjata di kawasan, bahkan lebih dari sekadar kekuatan militer.
Penutup: Israel Gencarkan Kampanye, Masa Depan Gaza Ditentukan Rakyatnya
Situasi di Gaza kini memasuki babak baru. Dengan kematian Muhammad Sinwar dan melemahnya pengaruh Hamas, ditambah perubahan besar dalam distribusi bantuan kemanusiaan, Israel berupaya membangun kembali tatanan yang lebih stabil. Tekanan terhadap Hamas kini tak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam, yakni suara rakyat Gaza sendiri yang mulai bosan hidup dalam bayang-bayang konflik berkepanjangan.
Keberhasilan Israel membangun zona anti-Hamas di Gaza Utara akan menjadi ujian utama. Jika benar-benar efektif, model ini bisa menyebar ke seluruh Gaza dan menjadi preseden bagi penyelesaian konflik serupa di wilayah lain.
Di sisi lain, fenomena warga Gaza yang meneriakkan nama Trump dan Netanyahu memperlihatkan betapa situasi di lapangan jauh lebih dinamis dibanding narasi media arus utama di Barat. Saat ini, masa depan Gaza bukan hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tapi juga oleh hati dan pilihan rakyat yang akhirnya mulai bersuara.