Krisis Berlapis di Negeri Putin: Chechnya Berontak, Gudang Amunisi Meledak, Suriah Usir Tentara Rusia!

EtIndonesia. Dunia dikejutkan oleh rentetan peristiwa yang mengguncang kekuatan politik dan militer Rusia. Di tengah perang berkepanjangan melawan Ukraina, Presiden Vladimir Putin kini harus menghadapi pemberontakan terbuka dari sekutu lamanya, Republik Chechnya, serta krisis militer di Suriah dan insiden ledakan misterius di wilayah Timur Jauh Rusia. Krisis berlapis ini mengindikasikan melemahnya posisi Putin, baik secara domestik maupun global.

Chechnya: Dari Sekutu Jadi Pemberontak, Kadyrov Tantang Langsung Putin

Pada 28 Mei, situasi di Kaukasus memanas setelah Republik Chechnya, yang selama ini dikenal sebagai pendukung paling loyal Kremlin dalam invasi ke Ukraina, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan keras bernuansa pemberontakan. Pemimpin Chechnya, Ramzan Kadyrov, secara terbuka menyatakan Chechnya adalah negara berdaulat dan tidak akan membiarkan intervensi pihak luar, termasuk Rusia.

Pernyataan ini menjadi lebih dramatis saat Kadyrov mengumumkan penarikan mendadak dua ribu pasukan khusus Chechnya dari garis depan Mariupol, Ukraina. Langkah ini sontak mengejutkan banyak pihak, mengingat secara konstitusi Chechnya masih merupakan bagian Federasi Rusia. Namun, secara de facto, tindakan Kadyrov ini jelas menantang otoritas Presiden Putin, bahkan bisa dibaca sebagai deklarasi perang secara tidak langsung kepada Moskow.

Tindakan tegas Kadyrov bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Putin mengirimkan tiga brigade motor ke Chechnya dengan tujuan meredam potensi pemberontakan. Namun, alih-alih menstabilkan keadaan, kehadiran pasukan tambahan justru memperkuat keyakinan Kadyrov bahwa momen ini adalah saat paling tepat bagi Chechnya untuk mengambil langkah pemisahan diri.

Situasi ini menandai babak baru dalam hubungan Rusia-Chechnya yang selama ini kerap diwarnai konflik berdarah dan perang saudara. Jika eskalasi terus berlanjut, bukan tidak mungkin Chechnya benar-benar menempuh jalur kemerdekaan, membuka front konflik baru di jantung Rusia sendiri.

Ledakan Gudang Amunisi di Timur Jauh Rusia: Sabotase atau Kelalaian?

Di saat isu Chechnya memanas, terjadi pula insiden besar di kawasan Timur Jauh Rusia. Pada 28 Mei, Gudang Amunisi ke-30 milik Divisi ke-35 di Svobodny, Amur, meledak hebat dan memicu kebakaran besar. Lokasi gudang ini sangat strategis—sekitar 6.000 km dari garis depan Ukraina dan hanya 100 km dari perbatasan Tiongkok.

Yang membuat insiden ini janggal, gudang amunisi tersebut sudah dinyatakan tidak aktif sejak 2011. Namun, ledakan kedua kembali terjadi tanpa penjelasan memadai. Hingga kini, baik Rusia maupun Ukraina belum mengonfirmasi pihak mana yang bertanggung jawab. Namun, analis militer menilai kecil kemungkinan gudang sebesar itu meledak hanya karena kelalaian.

Beberapa pengamat memperkirakan kemungkinan besar ini adalah hasil operasi tim sabotase Ukraina di belakang garis musuh, atau bisa juga dilakukan kelompok oposisi dalam negeri Rusia seperti Russian Freedom Legion yang akhir-akhir ini gencar melancarkan serangan rahasia.

Seorang warganet menyindir pedas: “Perang sudah memasuki tahun keempat. Beginilah hasil program ‘demiliterisasi’ Ukraina ala Putin.” 

Harapan awal Putin untuk mengakhiri perang dengan cepat justru berbalik menjadi mimpi buruk, di mana kekuatan militer Ukraina justru kian membesar, bahkan mampu melancarkan serangan hingga ke jantung wilayah Rusia.

Bukti Keterlibatan Tiongkok dalam Perang Rusia-Ukraina Makin Terbuka

Tak hanya itu, krisis kepercayaan terhadap Putin makin diperparah dengan temuan baru dari Ukraina. Pada 27 Mei, Pemerintah Ukraina secara resmi mengumumkan telah mengumpulkan bukti-bukti konkret bahwa Tiongkok secara aktif memasok produk militer ke Rusia.

Sehari kemudian, media Jerman menambah tekanan dengan merilis laporan investigasi yang menyebutkan 80% kemampuan Rusia menghindari sanksi Uni Eropa adalah hasil bantuan langsung maupun tidak langsung dari Tiongkok.

Laporan ARD, televisi Jerman, menegaskan media setempat berhasil memperoleh dokumen internal Kementerian Luar Negeri serta keterangan dua pejabat Uni Eropa yang menyatakan Tiongkok memfasilitasi Rusia untuk menembus embargo, baik melalui perantara maupun negara ketiga. Dengan demikian, mesin perang Rusia tetap dapat berjalan meski digempur sanksi internasional.

Rusia Terjepit di Suriah: Diusir oleh Mitra Lama, Pangkalan Strategis Terancam Hilang

Sementara di Timur Tengah, posisi militer Rusia di Suriah juga goyah. Pada 23 Mei lalu, dua pangkalan utama Rusia—Pangkalan Udara Khmeimim dan Pangkalan Laut Tartus—dikepung militer Suriah. Bahkan, tentara Suriah dilaporkan sempat menyerang dan menewaskan sejumlah pasukan penjaga Rusia. Pemerintahan Suriah yang baru pasca-Assad kini memberikan tenggat 30 hari bagi Rusia untuk menarik seluruh pasukan dari wilayah tersebut. Jika tidak, serangan total akan dilancarkan.

Rusia selama ini menjadi aktor utama pendukung rezim Assad sejak 2015, memperoleh akses eksklusif ke dua pangkalan penting itu. Namun, setelah perubahan kekuasaan di Suriah, posisi Rusia berubah drastis—dari penguasa menjadi ‘tamu tak diundang’ yang diminta angkat kaki.

Jika Rusia benar-benar terpaksa hengkang dari Suriah, dampaknya sangat besar. Suriah adalah pijakan strategis bagi Rusia di Timur Tengah. Hilangnya dua pangkalan utama akan membuat pengaruh Rusia di kawasan tersebut anjlok, dan citra Putin sebagai pemimpin kuat dalam negeri pun akan terpuruk. Lebih jauh, kepercayaan sekutu utama Rusia seperti Iran bisa goyah, mempercepat keruntuhan jaringan aliansi yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Kesimpulan: “Dunia Putin” di Ujung Tanduk

Deretan krisis ini memperlihatkan bahwa kekuasaan Putin sedang menghadapi tekanan berlapis, baik dari dalam negeri, front militer luar negeri, hingga poros strategis di Timur Tengah. Di saat kekuatan Chechnya mulai menggugat, perang Ukraina menimbulkan efek domino hingga wilayah Timur Jauh, dan Suriah yang dulu jadi simbol kekuatan Rusia kini berbalik menjadi batu sandungan.

Semua ini terjadi di tengah sorotan internasional terhadap keterlibatan Tiongkok yang makin terbuka dalam mendukung Rusia. Putin, yang selama ini membangun citra sebagai pemimpin tak tergoyahkan, kini harus menghadapi kenyataan bahwa cengkeraman kekuasaannya tak lagi sekuat dahulu—dan, jika gagal mengatasi krisis ini, bukan tidak mungkin sejarah baru tengah ditulis di Kremlin.

FOKUS DUNIA

NEWS