EtIndonesia. Akhir-akhir ini, suasana politik di Beijing, khususnya di pusat kekuasaan Partai Komunis Tiongkok, Zhongnanhai, dipenuhi aroma keganjilan yang kian hari makin terasa nyata. Seluruh negeri diguncang bisik-bisik—ada apa sebenarnya di balik dinding merah istana kekuasaan itu?
Sudah delapan hari Xi Jinping, sang pemimpin tertinggi Tiongkok, menghilang tanpa jejak dari ruang publik. Sejak kunjungannya ke Henan pada 20 Mei, tak satu pun penampakan, bahkan siluet pun tak tampak. Media pemerintah hanya menampilkan pesan-pesan ucapan selamat dari Xi, seperti ada upaya untuk menenangkan publik bahwa “semua baik-baik saja”. Namun, justru itulah yang memicu spekulasi: ada sesuatu yang sedang berlangsung, sesuatu yang besar dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Babak Baru Isu di Beijing: Bukan Lagi Sakit, Tapi… Digantikan?
Desas-desus di kalangan masyarakat Beijing bukan lagi sekadar isu kesehatan sang pemimpin. Isu yang berkembang lebih mencengangkan: Xi Jinping mungkin sudah digantikan secara diam-diam. Tapi karena situasi politik sangat sensitif, segala sesuatunya dilakukan secara tertutup. Tidak ada pengumuman resmi di media. Tidak ada pernyataan di televisi. Rakyat hanya bisa menebak-nebak berdasarkan “fragmen” perubahan mendadak yang muncul. Kebenaran kini tersembunyi dalam serpihan-serpihan itu.
Potret Fragmentasi Kekuasaan: Tanda-tanda dari Balik Layar
Mari kita susun serpihan itu satu per satu. Dimulai dari diamnya anggota Politbiro secara kolektif, hingga pergeseran wacana dan narasi politik di media partai. Lalu, muncul satu sosok yang mendadak sangat vokal di tengah keheningan: Wang Huning.
Pada 28 Mei, Wang Huning tampil memimpin rapat besar Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (CCPCC). Pidatonya sekilas terdengar seperti retorika lama, namun ada yang berbeda. Dia sama sekali tidak menyebut “dua penetapan” dan “dua penjagaan”—dua pilar utama kekuasaan Xi Jinping. Sebaliknya, dia menggantikan istilah itu dengan narasi yang sangat familiar di era Hu Jintao dan Wen Jiabao: “Pengambilan keputusan ilmiah, demokratis, dan berdasar hukum.”
Ini bukan perubahan kecil. Wang Huning seolah berkata kepada jajaran partai: “Kita akan kembali ke jalur lama.”
Narasi era Xi perlahan dikemas, sementara istilah-istilah Hu-Wen kembali dipopulerkan. Media partai pun turut menyesuaikan, menggeser slogan “menghayati semangat pidato Xi Jinping” menjadi “menerapkan ide pengambilan keputusan Hu Jintao dan Wen Jiabao”. Ini ibarat restoran halal tiba-tiba menjual babi kecap—jelas yang berganti bukan hanya papan nama, tapi juga juru masak di dapur.
Wang Huning: Sang Sutradara Pergantian Kekuasaan
Siapakah Wang Huning? Dia bukan pemain baru. Dia adalah arsitek utama narasi partai sejak era Jiang Zemin, peracik slogan “Tiga Perwakilan”, penulis konsep “Pembangunan Ilmiah” untuk Hu Jintao, dan pencipta jargon “Impian Tiongkok” untuk Xi Jinping. Karirnya cemerlang karena kemampuannya membelokkan arus narasi sesuai siapa pun yang berkuasa. Ketika arah angin berubah, dialah yang mengganti dekorasi panggung. Dia bukan aktor di layar, melainkan sutradara di belakang layar. Kini, Xi Jinping tak lagi tampil, dan Wang Huning mulai mengganti latar cerita.
Yang paling penting, bukan apa yang dia katakan, tapi kenapa dia bisa berkata-kata sebanyak dan seterbuka itu. Dalam sistem politik PKT, siapa yang boleh bicara, seberapa banyak, dan kapan, adalah keputusan sistemik. Jika Wang Huning diberi panggung selebar ini, artinya dia mendapat mandat dari “tangan-tangan tak terlihat” dalam partai.
“Keluarga Xi” Menghilang, Kader Era Hu Bangkit
Bukan hanya Xi Jinping yang menghilang, tetapi juga seluruh lingkaran kepercayaannya. Li Xi, Sekretaris Komisi Disiplin, terakhir terlihat pada 13 Mei 2024. Ding Xuexiang, Wakil Perdana Menteri, mendadak menghilang setelah agenda resmi pada 23 Mei. Cai Qi hanya muncul secara simbolis, tanpa kesempatan berbicara.
Sebaliknya, sosok seperti Shǐ Taifeng—yang notabene “murid” Hu Jintao—melonjak naik. Dia kini menguasai jabatan kunci: Menteri Organisasi Pusat, Wakil Ketua Kelompok Pengawasan, dan pengendali pembangunan partai. Di bawah kendalinya, tak satu pun loyalis Xi yang promosi. Jajaran Politbiro pun mendadak “menyusut”.
Militer Mulai Bergerak: Isyarat Kudeta Sunyi
Inilah babak paling menegangkan: militer turun tangan. Ada dua nama penting—Zhang Youxia dan Liu Yuan. Zhang, Wakil Ketua Komisi Militer, dan Liu Yuan, simbol “anak merah generasi kedua” yang sarat legitimasi sejarah.
Menurut sumber di Beijing, Liu Yuan berusaha mengguncang kekuasaan Cai Qi, tangan kanan Xi, dengan mengincar jabatan Kepala Kantor Pusat Partai. Posisi ini sejak lama jadi “stempel kekuasaan” pemimpin tertinggi. Namun, Liu Yuan justru “diamankan” oleh Xi. Sebelum bertindak, Liu Yuan sudah menitip pesan kepada Zhang Youxia: “Jika aku tak kembali, kau tahu apa yang harus dilakukan.” Liu Yuan pun “menghilang”, diduga ditahan di Zhongnanhai.
Ternyata, tindakan Xi itu salah sasaran. Loyalitas anak merah tidak tunduk pada aturan partai, tetapi pada solidaritas turun-temurun. Zhang Youxia kemudian menggerakkan 200 pasukan khusus untuk membebaskan Liu Yuan—suatu langkah dramatis yang menjadi “kudeta senyap” di tubuh militer.
Fakta lain yang memperkuat skenario ini: Kepala Biro Pengawal Pusat sudah diganti dengan orang kepercayaan Zhang Youxia. Dalam sistem Tiongkok, bahkan mengganti komandan resimen saja perlu persetujuan berjenjang. Tapi kini, yang diganti adalah pengawal utama di jantung kekuasaan. Ini hanya mungkin dilakukan jika militer sudah benar-benar tak lagi patuh pada Xi Jinping.
Media Militer dan Sinyal Kudeta Sistemik
Sinyal kudeta ini sebenarnya sudah lama didengungkan. Sejak Juli 2024, PLA Daily memuat jargon: “Menegakkan kepemimpinan kolektif, mengedepankan demokrasi.”
Pada September dan November, semakin keras menyorot bahaya pemimpin otoriter dan pentingnya sentralisme demokratis. Desember, serangan makin terbuka: “Memimpin dengan kolektivitas.” Semua ini menandakan militer menolak tunduk pada “satu komandan mutlak”.
Setelah periode itu, istilah “pemimpin besar”, “panglima tertinggi”, dan “pemegang kekuasaan absolut” menghilang dari media arus utama. Foto Xi Jinping tidak lagi mendominasi, aplikasi ‘Belajar Kuat Negara’ sepi aktivitas. Semua ini tanda “penyimpanan di gudang”—pemimpin sudah tidak lagi memegang kendali riil.
Pertemuan Militer Nasional: Zhang Youxia Ambil Alih Panggung
Puncaknya terjadi pada 28 Mei, saat diadakan “Pertemuan Pengamatan dan Pertukaran Pembangunan Lapangan Latihan Militer Seluruh Tiongkok.” Secara formal, acara ini disebut “atas persetujuan Xi Jinping”, tapi yang memimpin semua jalannya acara, pidato, dan pengarahan adalah Zhang Youxia. Bukan hanya memimpin, dia juga berbicara sebagai komandan tertinggi. Fokus pidatonya bukan lagi jargon politik, tapi soal kesiapan tempur, efisiensi, transformasi, dan sinergi kekuatan militer—bahasa militer sejati.
Acara ini melibatkan seluruh Komisi Militer Pusat, semua zona komando, seluruh matra angkatan, satuan kepolisian, dan satuan tempur hingga universitas militer—rapat terbesar dan terluas, dipimpin “wakil”, namun dengan wibawa “panglima”.
Saat ini, Komisi Militer Pusat hanya terdiri dari empat orang: Xi Jinping (hanya ketua di atas kertas), Zhang Youxia, Liu Zhenli, dan Zhang Shengmin—dua terakhir adalah didikan Zhang. Struktur sebenarnya adalah “kelompok Zhang Youxia bertiga”.
Transisi Kekuasaan: PKT Tanpa Pengemudi
Apa artinya semua ini? Xi Jinping sudah kehilangan kendali militer, baik secara sistemik maupun operasional. Pengambilalihan oleh Zhang Youxia telah dipersiapkan sejak 2024, dan pada 2025 terjadi secara nyata.
Namun, situasi ini menciptakan kekosongan kepemimpinan: siapa yang akan tampil ke depan? Wang Huning sebagai penjembatan narasi kolektif? Zhang Youxia dan jaringan “anak merah” yang menguasai militer? Atau kelompok reformis seperti Hu Chunhua atau Wang Yang? Semua kemungkinan terbuka, tapi tak satu pun berani bergerak duluan—karena yang pertama tampil, adalah yang paling rawan disingkirkan.
Kesimpulan: Babak Akhir Xi Jinping, Babak Baru PKT
Era Xi Jinping hampir pasti memasuki babak akhir. Kudeta memang tidak diumumkan, tapi proses pengambilalihan kekuasaan berjalan senyap namun pasti. Media partai, narasi politik, dan pergeseran kekuatan di tubuh militer menjadi bukti nyata.
Kini Tiongkok berada di titik “tanpa pengemudi”. Seluruh sistem menunggu: siapa yang berani maju mengambil tongkat estafet, siapa yang cukup cerdas menjaga konsensus. Satu hal yang pasti, rakyat sudah membaca tanda-tandanya—dan proses besar ini sudah berlangsung, meski belum diakui secara terbuka.