Utusan Khusus Trump Dukung Putin? Keith Kellogg: Kekhawatiran Rusia soal Ekspansi NATO ke Timur adalah Hal yang Masuk Akal

EtIndonesia. Negosiasi antara Rusia dan Ukraina saat ini berada dalam kebuntuan. Tiga narasumber dari pihak Rusia yang mengetahui jalannya perundingan mengungkapkan bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin telah menetapkan sejumlah syarat untuk mengakhiri perang di Ukraina. Salah satunya adalah permintaan kepada para pemimpin Barat agar secara tertulis berkomitmen untuk menghentikan ekspansi NATO ke arah timur dan menjamin bahwa Ukraina akan tetap bersikap netral. Menanggapi hal ini, Keith Kellogg—utusan khusus Presiden AS, Donald Trump untuk urusan Ukraina—menyatakan bahwa kekhawatiran Rusia terhadap perluasan NATO adalah sesuatu yang wajar.

Kellogg: Kekhawatiran Rusia terhadap Ekspansi NATO ke Timur itu Masuk Akal

Keith Kellogg menyampaikan bahwa keberatan Rusia terhadap perluasan keanggotaan NATO memang masuk akal. Menurutnya, Amerika Serikat sendiri juga tidak menginginkan Ukraina bergabung ke dalam aliansi militer yang dipimpin oleh Washington itu.

Dalam wawancara dengan ABC News, ketika diminta tanggapannya mengenai tuntutan Rusia atas komitmen tertulis dari Barat untuk menghentikan ekspansi NATO, Kellogg menjawab: “Itu adalah kekhawatiran yang masuk akal.”

Dia menambahkan: “Kita sudah menyatakan bahwa dari perspektif kita, memasukkan Ukraina ke dalam NATO bukanlah sesuatu yang kita pertimbangkan saat ini—dan bukan hanya kita yang berpandangan seperti itu. Saya kira saya bisa menyebutkan setidaknya empat negara anggota NATO lainnya yang sependapat.”

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa isu ini bukan hanya menyangkut Ukraina, tetapi juga melibatkan negara-negara seperti Georgia dan Moldova.

Namun Kellogg menekankan bahwa pada akhirnya, keputusan mengenai posisi Amerika Serikat terhadap ekspansi NATO akan diambil langsung oleh Donald Trump.

Putin Ajukan Syarat Gencatan Senjata: NATO Harus Berkomitmen Tertulis Hentikan Ekspansi

Putaran kedua perundingan langsung antara Rusia dan Ukraina dijadwalkan berlangsung pada 2 Juni di Istanbul, Turki. Diketahui, pihak Rusia telah menyerahkan sebuah memorandum kepada Ukraina yang secara garis besar memuat syarat-syarat penghentian konflik.

Keith Kellogg mengonfirmasi bahwa penasihat keamanan nasional dari Jerman, Prancis, dan Inggris akan bergabung dengan Amerika Serikat dalam proses diskusi mengenai memorandum tersebut.

Menurut laporan dari Reuters dan media internasional lainnya, tiga narasumber dari Rusia menyebut bahwa Putin melakukan pembicaraan lewat telepon selama dua jam dengan Donald Trump pekan lalu. Dalam pembicaraan itu, Putin menyatakan kesediaannya untuk menyusun sebuah memorandum bersama Ukraina guna menjadi kerangka dasar kesepakatan damai, termasuk penetapan jadwal gencatan senjata. Namun hingga kini, versi dokumen dari pihak Rusia masih dalam proses penyusunan dan belum diketahui kapan akan selesai.

Pihak Kiev dan beberapa negara Eropa mencurigai bahwa Rusia sengaja memperlambat proses ini demi memberi waktu tambahan bagi pasukan Rusia untuk memperluas cengkeraman militernya di Ukraina timur. Terlepas dari itu, perkembangan dalam dialog ini bisa berdampak besar terhadap arah konflik ke depan.

Seorang narasumber dari Rusia yang memahami dinamika internal Kremlin mengatakan: “Putin ingin perdamaian, tetapi bukan dengan mengorbankan semua hal.”

Tiga narasumber lainnya mengungkapkan bahwa Putin menuntut jaminan tertulis dari kekuatan-kekuatan besar Barat bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi ke arah timur, yang berarti secara resmi menutup pintu keanggotaan untuk Ukraina, Georgia, Moldova, dan bekas republik Uni Soviet lainnya.

Selain itu, Rusia juga mengajukan beberapa syarat lainnya, seperti:

·        Ukraina tetap bersikap netral;

·        Barat mencabut sebagian sanksi terhadap Rusia;

·        Aset-aset Rusia yang dibekukan di negara-negara Barat dikembalikan;

·        Hak-hak warga berbahasa Rusia di Ukraina dilindungi.

Salah satu sumber menegaskan, jika Putin menyadari bahwa perdamaian tidak bisa dicapai dengan syarat-syarat tersebut, dia akan memilih jalan militer. 

Pesannya ke Ukraina dan negara-negara Eropa: “Jika perdamaian tidak bisa dicapai sekarang, maka kedamaian di masa depan akan lebih menyakitkan.”

Kremlin tidak memberikan tanggapan resmi terhadap permintaan konfirmasi dari Reuters.

Putin: Akar Konflik Harus Diselesaikan – NATO adalah Pemicu

Putin dan para pejabat Rusia secara konsisten menyatakan bahwa setiap kesepakatan damai harus menyentuh “akar konflik”. Dalam hal ini, yang mereka maksud adalah ekspansi NATO dan dukungan Barat terhadap Ukraina.

Riwayat 5 Kali Ekspansi NATO ke Timur

·        24 Februari 2022, Putin menginstruksikan operasi militer skala besar ke Ukraina—serangan terbesar yang dilakukan Rusia sejak awal tahun 2000-an. Kolumnis politik AS Thomas L. Friedman menyebut, “Dalam perang ini, Amerika Serikat dan NATO bukanlah pihak yang sepenuhnya tidak bersalah.”

NATO, aliansi militer yang dibentuk pada tahun 1949 oleh AS dan negara-negara Eropa Barat, awalnya memiliki 12 anggota. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an, NATO tidak bubar, melainkan terus berkembang untuk mengisi kekosongan keamanan di Eropa Timur dan mulai menerima negara-negara bekas anggota Pakta Warsawa.

5 Gelombang Ekspansi NATO:

1. 1999 – Polandia, Hongaria, dan Ceko bergabung. (Gelombang 1)

2. 2004 – Slovakia, Slovenia, Rumania, Bulgaria, Lithuania, Latvia, dan Estonia bergabung. Ini merupakan ekspansi terbesar NATO. (Gelombang 2)

3. 2009 – Kroasia dan Albania masuk NATO. (Gelombang 3)

4. 2017 – Montenegro bergabung. (Gelombang 4)

5. 2020 – Makedonia Utara resmi menjadi anggota ke-30. (Gelombang 5)

Negara-negara seperti Ukraina, Bosnia-Herzegovina, serta Georgia juga memiliki keinginan untuk bergabung. Sikap ambigu NATO yang tidak menutup kemungkinan keanggotaan bagi mereka terus memicu kekhawatiran Moskow.

Pada akhir 2021, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Andrey Rudenko, menyatakan bahwa keanggotaan Georgia di NATO, ditambah dengan kemungkinan penempatan senjata ofensif di wilayah tersebut, akan melanggar “garis merah” Rusia.

Kesalahan Strategis Barat di Awal 1990-an?

Setelah Uni Soviet bubar, banyak pakar kebijakan luar negeri menyerukan agar Barat membentuk kerangka keamanan baru dan mendefinisikan ulang hubungannya dengan Rusia. Profesor Dan Plesch dari SOAS, Universitas London, mengatakan kepada Deutsche Welle bahwa pada tahun 1990–1991, telah terjadi serangkaian dialog tingkat tinggi antara Rusia dan Barat. “Namun, kami tidak pernah benar-benar berusaha untuk mengajak Rusia bergabung.”

Presiden pertama Rusia yang sangat pro-Barat, Boris Yeltsin, bahkan pernah menandatangani pernyataan pengendalian senjata dengan Presiden AS saat itu, Bill Clinton, pada tahun 1997. Dalam konferensi pers, Yeltsin menyatakan:  “Kami percaya bahwa ekspansi NATO adalah kesalahan besar, dan ini adalah kesalahan serius.”

Lebih jauh lagi, sebuah memorandum dari Departemen Luar Negeri AS pada 1990 menyebut: “Dalam kondisi saat ini, memberikan status keanggotaan NATO dan jaminan keamanan kepada negara-negara Eropa Timur bukanlah pilihan terbaik bagi NATO atau AS.”

Dalam dokumen itu juga dituliskan: “Dalam keadaan apa pun, kami tidak ingin membentuk aliansi anti-Soviet yang menempatkan perbatasan Uni Soviet sebagai garis depan, karena itu akan dilihat sangat negatif oleh pihak Soviet.”

Namun kini, setelah lebih dari tiga tahun perang, Kiev tetap menegaskan bahwa Ukraina harus menjadi anggota NATO—dan bahwa Rusia tidak berhak memiliki hak veto atas keputusan tersebut.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS