EtIndonesia. Ketegangan diplomatik antara Amerika Serikat, Prancis, dan Israel semakin memanas menyusul pernyataan tajam dari Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, dalam sebuah wawancara eksklusif pada 2 Juni. Huckabee secara terbuka mengkritik sikap Presiden Prancis, Emmanuel Macron terkait isu pembentukan negara Palestina di tengah situasi perang yang masih berlangsung di Gaza.
Dalam wawancara tersebut, Huckabee menyindir keras proposal Prancis yang mendorong realisasi solusi dua negara.
“Jika Prancis sungguh ingin mendirikan negara Palestina, silakan saja dirikan di French Riviera. Jangan memaksakan tekanan semacam itu kepada negara berdaulat lain,” ujarnya tegas.
Pernyataan Huckabee ini merespons pidato Presiden Macron yang pada pekan sebelumnya menyebut bahwa: “Di bawah kondisi tertentu, pembentukan negara Palestina adalah sebuah tuntutan moral sekaligus politik bagi komunitas internasional.”
Macron bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Israel jika negara tersebut tidak menunjukkan itikad baik untuk menuju solusi damai.
Kondisi Terbaru di Gaza: Hamas Masih Menyandera 58 Warga Israel
Situasi di Gaza masih sangat panas. Sejak serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, situasi keamanan di kawasan tersebut berubah drastis. Hingga hari ini, setidaknya 58 warga Israel masih disandera oleh Hamas. Operasi militer dan blokade ketat terus dilakukan oleh Israel, sementara tekanan diplomatik terhadap pemerintah Netanyahu semakin meningkat dari berbagai negara Barat.
Menurut Duta Besar Huckabee, wacana mengenai solusi dua negara yang didengungkan Prancis sangat tidak realistis untuk diterapkan dalam situasi saat ini.
“Israel sedang berada dalam keadaan perang. Wacana negara Palestina di tengah situasi seperti ini justru memperkeruh keadaan dan tidak menawarkan solusi nyata,” katanya.
Perpecahan Internasional: AS, Prancis, dan Arab Saudi
Pernyataan Macron telah memicu reaksi keras tidak hanya dari Israel, tetapi juga dari Amerika Serikat. Menurut analisis para pengamat politik internasional, hubungan Prancis dan Israel mengalami ketegangan paling serius sejak beberapa dekade terakhir.
Sebelum ancaman sanksi dijatuhkan, Israel sebenarnya telah menerima proposal Amerika Serikat mengenai gencatan senjata selama 60 hari—namun proposal ini ditolak mentah-mentah oleh Hamas. Pemerintah Israel menuding, manuver Macron hanyalah bagian dari kampanye global anti-Israel, bahkan ada tudingan bahwa Prancis “berniat mengusir warga Yahudi dari Tepi Barat” lewat tekanan internasional.
Sementara itu, Prancis dan Arab Saudi telah dijadwalkan untuk memimpin sebuah konferensi internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juni ini. Tujuan utama konferensi tersebut adalah untuk membahas secara serius kemungkinan realisasi negara Palestina yang merdeka dan dapat berdampingan secara damai dengan Israel. Konferensi ini akan melibatkan negara-negara kunci Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat sebagai penengah utama.
Dinamika Diplomatik: Ancaman Sanksi hingga Manuver Politik Global
Tekanan terhadap Israel datang tidak hanya dari Prancis. Uni Eropa, sejumlah negara anggota G20, serta organisasi internasional lainnya semakin gencar menyerukan penyelesaian dua negara. Namun, para pejabat tinggi Israel tetap pada posisi keras, menolak upaya yang dianggap melemahkan posisi strategis mereka di kawasan.
Pemerintah Netanyahu menyebut bahwa keamanan nasional adalah prioritas utama.
“Israel tidak akan tunduk pada tekanan eksternal, terutama dalam situasi di mana keselamatan warga negara kami masih terancam langsung oleh aksi terorisme,” ungkap salah satu juru bicara pemerintah Israel.
Di sisi lain, para diplomat Prancis menegaskan bahwa tekanan internasional merupakan bagian dari upaya nyata menegakkan perdamaian dan keadilan di Timur Tengah.
“Kami akan terus mendukung solusi dua negara. Hanya dengan cara inilah hak rakyat Palestina bisa dihormati dan keamanan Israel dapat dijamin,” tegas Macron dalam pernyataan terpisah.
Perspektif Amerika Serikat: Fokus pada Gencatan Senjata dan Keamanan
Sikap Amerika Serikat hingga kini tetap berfokus pada upaya mendorong gencatan senjata jangka menengah, bantuan kemanusiaan, serta perlindungan bagi warga sipil di kedua belah pihak. Namun, pemerintahan AS masih menolak tekanan untuk memaksa Israel menerima syarat-syarat internasional yang dinilai “tidak adil” dalam situasi konflik bersenjata.
“Prioritas kami adalah keselamatan sandera dan menurunkan eskalasi militer. Tidak ada solusi permanen yang bisa didiktekan oleh pihak luar selama pihak-pihak terkait belum siap untuk duduk bersama secara jujur,” jelas Huckabee menegaskan kembali posisi Pemerintah AS.
Penutup: Krisis Timur Tengah Menuju Titik Kritis
Konferensi internasional PBB yang akan dipimpin Prancis dan Arab Saudi pada bulan Juni mendatang diprediksi akan menjadi salah satu pertemuan paling menentukan dalam sejarah negosiasi Timur Tengah. Namun, dengan masih tertahannya 58 sandera Israel di Gaza dan tidak adanya tanda-tanda penurunan eskalasi militer, para pengamat pesimis akan tercapai solusi konkret dalam waktu dekat.
Diplomasi global kembali diuji, sementara rakyat di kedua sisi konflik terus berharap pada keajaiban perdamaian di tengah ancaman perang yang tak kunjung reda.