Jembatan Krimea Meledak, Pangkalan Nuklir Hancur: Dunia Waswas Menanti Langkah Putin Selanjutnya

EtIndonesia. Dunia internasional tengah berada dalam ketegangan luar biasa setelah serangkaian peristiwa dramatis yang berpotensi mengubah jalannya sejarah. Dalam rentang waktu kurang dari seminggu, konflik antara Rusia dan Ukraina mengalami eskalasi tajam yang disebut-sebut sebagai titik balik paling berbahaya sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Dari upaya pembunuhan Presiden Vladimir Putin hingga serangan masif drone Ukraina terhadap kekuatan udara strategis Rusia, situasi di Eurasia kini kian panas dan menimbulkan kekhawatiran global—bahkan potensi pecahnya Perang Dunia Ketiga.

Upaya Pembunuhan Putin dan “Operasi Jaring Laba-laba”

Pada 1 Juni, Ukraina melancarkan operasi gabungan besar-besaran yang dinamai “Operasi Jaring Laba-laba”. Serangan ini menargetkan sejumlah pangkalan strategis Angkatan Udara Rusia yang tersebar di lima wilayah kunci: mulai dari Murmansk di Kutub Utara, Irkutsk di Siberia, hingga Amur di Timur Jauh. Dengan menggunakan ratusan drone, Ukraina menyerang fasilitas-fasilitas militer dan lapangan terbang yang diketahui menjadi basis pesawat pengebom strategis Rusia—termasuk armada pembom nuklir yang selama ini menjadi tulang punggung kekuatan deterrent Moskow.

Serangan ini, yang diyakini sebagai salah satu aksi militer terbesar sejak dimulainya invasi, diduga menghancurkan setidaknya 34%—bahkan beberapa sumber menyebut hampir 40%—dari total armada pesawat pengebom strategis Rusia. Akibatnya, kemampuan Rusia untuk melancarkan serangan nuklir jarak jauh mendadak terpangkas secara drastis. Dunia internasional, termasuk Amerika Serikat, dikabarkan terkejut dengan keberanian dan skala serangan ini.

Kejutan Besar dan Diamnya Gedung Putih

Yang membuat situasi semakin pelik, menurut pernyataan resmi dari pemerintahan Trump, Amerika Serikat sama sekali tidak mengetahui rencana serangan besar ini dan tidak menerima notifikasi atau permintaan konsultasi dari pihak Ukraina.

Jenderal (Purn) Michael Flynn, mantan wakil penasihat keamanan nasional AS, menyatakan dengan nada prihatin: “Bagaimana mungkin operasi sebesar ini lolos dari radar sistem intelijen? Siapa yang memberi otorisasi, siapa yang memblokir informasi kepada Presiden? Ini ibarat serangan 9/11 di mana Presiden Bush bahkan tidak sempat menerima telepon peringatan. Ini bukan sekadar kecelakaan sistem, melainkan bencana dalam manajemen keamanan nasional.”

Flynn menambahkan, serangan ini bukan sekadar “gangguan” di garis depan, tetapi adalah “serangan langsung terhadap platform nuklir”—sebuah tindakan yang secara strategis dapat dianggap oleh Moskow sebagai deklarasi perang terbuka, bahkan potensi eskalasi menuju konflik nuklir.

Jembatan Krimea: Simbol yang Terus Dihantam

Tak berhenti di situ, pada 3 Juni, Badan Keamanan Ukraina mengonfirmasi telah melakukan serangan peledakan bawah air terhadap Jembatan Krimea—jalur vital yang menghubungkan Rusia dengan Semenanjung Krimea yang diduduki. Dalam operasi yang disebut telah dipersiapkan selama berbulan-bulan, Ukraina menggunakan bom bawah air yang sebelumnya sudah dipasang untuk menghancurkan pilar-pilar utama jembatan tersebut. Rekaman video yang dirilis memperlihatkan ledakan masif di bawah permukaan air, disusul semburan air dan serpihan logam yang beterbangan.

Serangan ini menjadi yang ketiga kalinya terhadap jembatan Krimea sejak perang pecah. Jembatan ini bukan hanya simbol aneksasi Rusia atas wilayah Ukraina, tetapi juga jalur logistik utama bagi pasukan Rusia di selatan. Kerusakan parah pada jembatan menyebabkan lalu lintas darat dan kereta terputus sementara, memaksa Rusia menetapkan status darurat.

Respons Rusia: Bom Udara FAB-3000 Menghantam Ukraina

Hanya berselang satu hari setelah “Pearl Harbor versi Rusia” ini, Moskow akhirnya melancarkan serangan balasan. Pada 2 Juni, Angkatan Udara Rusia melakukan serangan udara berat ke markas komando militer Ukraina di wilayah Sumy, Ukraina timur laut. Dengan menggunakan bom udara FAB-3000 berkekuatan besar, fasilitas komando Ukraina diratakan dengan tanah. Laporan awal menyebutkan banyak korban tewas di kalangan perwira tinggi dan staf komando Ukraina.

Pengamat menilai serangan ini hanyalah awal dari kemungkinan rangkaian aksi balasan Rusia yang lebih dahsyat. Namun, dunia kini menanti langkah berikutnya, mengingat Vladimir Putin sendiri masih memilih untuk tidak membuat pernyataan publik.

Kesunyian yang Mencekam: Apakah Ini “Sebelum Badai”?

Yang paling mencemaskan dunia saat ini bukan hanya aksi militer yang terjadi, melainkan keheningan yang menyelimuti para aktor utama. Baik Vladimir Putin di Moskow maupun Presiden AS, Donald Trump di Washington hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai serangkaian serangan yang terjadi—termasuk upaya pembunuhan terhadap Putin sendiri.

Rebecca Koffler, mantan analis intelijen Rusia dan penulis naskah pidato Putin, menegaskan: “Kita sudah melewati tahap perang perwakilan (‘proxy war’). Ini sudah menjadi konfrontasi militer langsung antara dua kekuatan besar: Amerika Serikat dan Rusia. Keheningan saat ini justru yang paling menakutkan, karena sering kali diam berarti sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih besar.”

Senada dengan itu, analis militer Steve Bannon mengingatkan: “Amerika Serikat kini terseret ke dalam pusaran konflik berskala dunia yang bisa saja jauh lebih parah dibanding dua perang dunia sebelumnya. Jika ini dibiarkan, siapa pun bisa saja menyalakan sumbu perang global.”

Dampak Global dan Spekulasi: Menuju Perang Dunia Ketiga?

Dengan keberhasilan Ukraina melumpuhkan sebagian besar pesawat pengebom strategis Rusia, tatanan keamanan dunia kini dipertaruhkan. Banyak pengamat meyakini bahwa aksi Ukraina, meski secara teknis adalah upaya mempertahankan diri, secara geopolitik justru dapat memicu aksi balasan Rusia yang tak terduga—bahkan penggunaan senjata nuklir tak lagi sepenuhnya tabu.

Media internasional menyebut serangan ke pangkalan udara Rusia sebagai “Pearl Harbor versi Rusia”. Namun, pertanyaannya, apakah Rusia akan bereaksi sekuat Amerika Serikat pada 1941? Dan jika ya, apakah dunia siap menanggung akibatnya?

Sampai artikel ini ditulis, baik Vladimir Putin maupun Donald Trump masih memilih diam. Tidak ada satupun pernyataan resmi dari Kremlin atau Gedung Putih terkait eskalasi yang terjadi. Dunia menahan napas—menanti, apakah diam ini adalah tanda perang yang segera meledak, atau upaya terakhir untuk mencegah kiamat nuklir.

FOKUS DUNIA

NEWS