EtIndonesia. Konflik antara Rusia dan Ukraina baru-baru ini meningkat tajam. Ukraina bukan hanya melancarkan upaya pembunuhan terhadap Presiden Vladimir Putin, tetapi juga pada 1 Juni menyerang beberapa pangkalan udara strategis di wilayah Rusia melalui serangan drone terkoordinasi yang dikenal dengan sandi Operasi Jaring Laba-laba. Meskipun kedua negara sempat menggelar putaran kedua perundingan damai di Turki pada 1 Juni, baik Putin maupun Presiden AS, Donald Trump belum memberikan pernyataan apa pun terkait serangan yang oleh banyak pihak disebut sebagai “Peristiwa Pearl Harbor versi Rusia.” Keheningan ini justru menimbulkan kekhawatiran global: mungkinkah langkah menuju Perang Dunia III kian mendekat?
Konflik Rusia-Ukraina Masuki Fase Baru
Memasuki bulan Juni, wilayah Rusia mengalami serangkaian serangan serentak—mulai dari wilayah Arktik di Oblast Murmansk, wilayah Siberia Irkutsk, hingga ke ujung timur di Amur. Dalam serangan besar ini, setidaknya lima wilayah dan sejumlah pangkalan militer diserang secara bersamaan, dan dikabarkan sekitar 34% pesawat pembom strategis nuklir Rusia hancur. Ini merupakan pukulan telak terhadap kemampuan serangan nuklir jarak jauh Rusia.
Sebagai respons, pada 2 Juni, Rusia melancarkan aksi balasan pertamanya. Militer Rusia menjatuhkan bom udara berat FAB-3000 ke sebuah pos komando militer Ukraina di Oblast Sumy, Ukraina Timur Laut. Seluruh fasilitas tersebut rata dengan tanah dalam hitungan detik, menyebabkan korban besar di jajaran komando Ukraina. Serangan ini disebut-sebut sebagai pukulan pembuka dalam balasan militer Rusia.
Namun, balasan lebih besar tampaknya belum dimulai.
Mengapa Ukraina Memilih Waktu Ini untuk Menyerang?
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy menyebut serangan ini sebagai serangan jarak jauh paling signifikan sejak pecahnya perang. Dia bahkan memuji keberhasilannya sebagai sebuah “prestasi gemilang.”
Yang mengejutkan adalah metode penyerangan yang tidak lazim: drone-drone tersebut bukan diluncurkan dari wilayah Ukraina, melainkan diselundupkan ke wilayah Rusia dengan cara dibungkus dalam kotak kayu, diangkut menggunakan truk, lalu diluncurkan dari dalam wilayah Rusia sendiri—sebuah pendekatan yang menyerupai taktik kuda Troya.
Menurut laporan media AS, Axios, serangan ini adalah bagian dari rencana Operasi Jaring Laba-laba yang telah disusun selama satu setengah tahun dan dikoordinasikan oleh Badan Keamanan Ukraina (SBU). Drone diluncurkan dari titik-titik rahasia di dalam Rusia untuk menyerang hanggar pesawat pembom dan fasilitas bahan bakar yang telah ditentukan dengan presisi tinggi.
Menariknya, menurut perjanjian New START (Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru), Rusia diwajibkan menempatkan pesawat pembom strategis seperti Tu-95 dan Tu-160 di lokasi terbuka yang dapat dimonitor satelit guna mendukung transparansi nuklir antara Rusia dan Amerika Serikat. Ironisnya, mekanisme transparansi ini justru dimanfaatkan Ukraina sebagai celah untuk menyerang—mengguncang kestabilan sistem kontrol senjata nuklir dunia.
Serangan Beruntun Ukraina: “Pemenggalan Kepala Putin” dan Serangan ke Fasilitas Nuklir
Sebelum Operasi Jaring Laba-laba, Ukraina juga telah berusaha membunuh Putin dengan drone saat ia melakukan kunjungan ke wilayah Kursk. Meskipun upaya ini gagal, hal tersebut memicu serangan udara besar-besaran Rusia terhadap Kyiv sebagai bentuk pembalasan.
Putin sendiri sebelumnya pernah menyatakan bahwa dia tidak akan mencoba membunuh Zelenskyy dan akan menghindari serangan personal terhadap pemimpin lawan. Namun, tindakan Ukraina justru menunjukkan arah sebaliknya—menargetkan langsung tokoh utama dan fasilitas nuklir Rusia.
Eskalasi seperti ini secara langsung meningkatkan risiko konflik global, bahkan memperbesar kemungkinan pecahnya Perang Dunia Ketiga, yang kini mulai menghantui NATO, Eropa, dan komunitas internasional.
Meledak atau Menahan Diri? Diamnya Putin dan Trump Justru Menakutkan
Penggunaan bom udara FAB-3000 oleh Rusia pada 2 Juni adalah sinyal dimulainya pembalasan. Namun yang paling menyita perhatian adalah sikap diam Vladimir Putin hingga saat ini. Diam ini justru lebih menakutkan: apakah ini pertanda bahwa Putin sedang merencanakan pembalasan skala besar, atau justru menunjukkan kebingungan strategi?
Rusia kini berada di persimpangan yang genting:
1. Jika pembalasan terlalu lemah: Rusia akan dianggap lemah, dan Ukraina bisa semakin berani menyerang lebih dalam ke wilayah Rusia.
2. Jika pembalasan terlalu keras: Maka proses perundingan damai akan langsung runtuh, dan AS serta NATO bisa meningkatkan bantuan militer ke Ukraina. Satu-satunya peluang perdamaian yang tersisa bisa lenyap sepenuhnya.
Seorang blogger militer Rusia di Telegram menggambarkan kondisi ini dengan tajam: “Ini adalah Pearl Harbor-nya Rusia. Tapi apakah kita bisa merespons seperti yang dilakukan Amerika?”
Sementara itu, pihak Donald Trump belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait serangan drone Ukraina ini.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya Putin yang memilih diam, tetapi Trump juga mengambil langkah serupa. Sebelumnya, Trump pernah menyatakan keinginannya untuk menjadi mediator perdamaian. Namun, dengan eskalasi serangan dari pihak Ukraina, peluang perdamaian yang dia gadang-gadang kini berada di ujung tanduk. Muncul pula pertanyaan serius: apakah ada kekuatan di belakang Zelenskyy yang sengaja mendorong perang agar semakin membesar dan merusak peluang diplomasi?
Dunia di Persimpangan: Apa Langkah Berikutnya Para Negara Adidaya?
Uni Eropa menyatakan “keprihatinan serius” atas peningkatan strategi militer Ukraina. Namun, masih belum jelas apakah negara-negara besar akan tetap bersatu, ataukah justru akan terpecah ketika risiko nuklir dan skala pembalasan semakin meningkat.
Sementara itu, evolusi perang drone juga tengah mengubah wajah peperangan modern. Washington Post menulis bahwa aksi ini membuat para jenderal militer di seluruh dunia “tak bisa tidur nyenyak.” Jika Ukraina bisa menyusupkan drone ke jantung wilayah Rusia, mungkinkah Tiongkok melakukan hal serupa ke pangkalan militer AS atau Jepang? Apakah Korea Utara akan mencoba strategi yang sama terhadap Korea Selatan?
Max Boot, peneliti senior di Council on Foreign Relations, menyatakan bahwa serangan ini mungkin belum mengubah peta pertempuran secara keseluruhan, namun dapat menjadi titik balik sejarah: “Seperti Pearl Harbor menandai berakhirnya era kapal perang dan lahirnya era kapal induk, mungkin ini adalah awal era peperangan drone.”
Badai Akan Datang? Siapa yang Akan Menentukan Arah Damai atau Perang
Dalam hitungan hari saja, Ukraina telah melancarkan dua serangan mengejutkan—upaya pembunuhan terhadap Putin dan serangan besar ke basis nuklir Rusia. Ini membuat risiko perang meningkat secara drastis.
Yang paling mencemaskan, baik Vladimir Putin maupun Donald Trump tetap memilih diam.
Ini bukanlah ledakan perang yang tiba-tiba, ini adalah keheningan sebelum badai.
Apakah badai besar benar-benar akan datang? (jhn/yn)