“Para dokter garis depan yang menjawab telepon sangat cemas, mereka mengatakan semua persediaan sudah habis,” kata ahli saraf Huang Chen-ya.
ETIndonesia. Sudah lebih dari 35 tahun berlalu, namun hal itu tidak menghentikan Huang Chen-ya yang kini berusia 85 tahun untuk mengingat betapa dalamnya cinta warga Hong Kong terhadap Tiongkok.
Sebagai mantan legislator Hong Kong dan ahli saraf, Huang merupakan tokoh penting dalam komunitas medis kota tersebut pada tahun 1989.
Hal pertama yang ia lakukan ketika berita tentang Pembantaian Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989 merebak adalah menghubungi rumah sakit-rumah sakit besar di Beijing.
“Sebagai seorang dokter, hal yang paling saya khawatirkan adalah apakah saya bisa melakukan sesuatu untuk membantu orang-orang yang terbunuh atau terluka,” katanya dalam sebuah aksi peringatan 36 tahun tragedi tersebut yang digelar di Ashfield, Sydney, pada 1 Juni.

“Saya menelepon setiap pusat bantuan darurat besar, dan para dokter garis depan yang menjawab semuanya sangat cemas, mereka mengatakan semua persediaan telah habis…,” kata Huang. “Semua rumah sakit darurat besar di Beijing—setiap dokter garis depan yang saya ajak bicara—memberikan jawaban yang sama.”
Ia sedang mempersiapkan bantuan medis darurat untuk dikirimkan lewat udara dari Hong Kong ke Beijing, tetapi pengiriman itu memerlukan persetujuan dari pimpinan rumah sakit.

“Ketika kami menghubungi pihak yang lebih tinggi, setiap direktur langsung mengubah nada bicara mereka dan mengatakan bahwa masalah ini tidak separah yang diberitakan, bahwa Beijing bisa menanganinya sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari luar,” katanya.
“Pembantaian Lapangan Tiananmen bukan hanya tragedi bagi rakyat Tiongkok, bukan hanya bagi etnis Tionghoa, bukan hanya bagi Asia—tetapi merupakan aib dan trauma bersama bagi seluruh umat manusia,” tambahnya.

Peristiwa pembantaian itu menjadi titik balik besar bagi Tiongkok maupun Australia.
Bagi rakyat Tiongkok, harapan akan demokrasi padam seketika, sementara bagi Australia, 42.000 warga Tiongkok—termasuk mahasiswa, dokter, akademisi, dan seniman—diberi status tinggal tetap, menjadi bagian dari keberagaman yang terus berkembang dalam masyarakat Australia.
Begadang Semalaman dalam Kesedihan
Li Yuanhua, yang saat itu adalah dosen di Universitas Normal Ibu Kota Beijing, mengatakan bahwa ia pulang ke rumah karena takut untuk keluar.
“Saya sangat sedih setelah sampai di rumah,” katanya.
Li menunggu di rumah sementara suara tembakan terdengar sepanjang malam seperti petasan pada malam tahun baru.
Ia tidak tidur malam itu, dan menyadari bahwa para mahasiswa di Lapangan Tiananmen kemungkinan besar telah tertimpa musibah.
“Saya mengambil bangku kecil dan duduk di depan pintu rumah, menangis diam-diam,” kenangnya.

Mahasiswa Mengetahui Kebenaran Setelah ke Luar Negeri
Wiki Chan, seorang mahasiswa program doktoral, adalah salah satu dari banyak mahasiswa Tiongkok yang baru mengetahui secara utuh sejarah kelam Partai Komunis Tiongkok (PKT) setelah berada di luar negeri.
“Saya pikir kita tetap perlu mengingat sejarah—baik sisi baik maupun buruknya harus dibuka agar orang bisa memahaminya,” ujarnya kepada The Epoch Times dalam pameran foto di Universitas Sydney pada 30 Mei, untuk memperingati peristiwa 4 Juni.
“Sejarah tetaplah sejarah. Anda boleh memiliki pendapat subjektif sendiri, tetapi menyembunyikan bagian buruk adalah sesuatu yang salah—itu sangat jahat. Terutama jika menyangkut penindasan terhadap suara-suara yang menyerukan hak asasi manusia dan kebebasan. Itu justru menunjukkan bahwa rezim tersebut sebenarnya tidak percaya diri,” katanya.

Partai Buruh Didorong untuk Menyadari Sifat PKT
Li, yang kini menjadi warga negara Australia, mengatakan bahwa keputusan Perdana Menteri dari Partai Buruh saat itu, Bob Hawke, untuk memberikan izin tinggal permanen kepada 42.000 mahasiswa Tiongkok merupakan keputusan yang tepat sebagai respons terhadap tragedi Tiananmen.
“Ia memahami sifat destruktif dari rezim komunis ini—bahayanya, kekejamannya terhadap rakyatnya sendiri… Dari hati nuraninya, ia mengambil keputusan dari posisinya yang, jika kita lihat sekarang, merupakan tindakan yang benar-benar mulia dan berani.”

“Saya pikir pemerintah Partai Buruh saat ini seharusnya lebih cermat melihat apa saja yang telah dilakukan PKT sepanjang sejarah. Anda tidak bisa begitu saja percaya pada apa yang dikatakan PKT.”
Li merujuk pada penghalangan yang dilakukan PKT ketika Perdana Menteri Scott Morrison menyerukan penyelidikan independen terhadap asal-usul COVID-19 pada tahun 2020.
Sebagai respons atas seruan tersebut, PKT memberlakukan pembatasan perdagangan dan tarif pada ekspor Australia seperti daging sapi, barley, dan batu bara—yang secara luas dianggap sebagai bentuk balas dendam ekonomi.
“Partai komunis, pada kenyataannya, tidak melakukan dialog normal dengan Anda. Ia hanya tahu bagaimana memaksa Anda tunduk, membully Anda, dan ingin Anda berlutut… Tidak ada konsep kesetaraan sama sekali,” ujar Li.
Mantan profesor ini juga menyinggung penolakan PKT terhadap status otonomi Hong Kong, dengan menyebut Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris sebagai “dokumen sejarah” yang “sudah tidak memiliki arti praktis.”
Deklarasi tersebut, yang ditandatangani pada 1984 oleh Inggris dan PKT, menetapkan syarat-syarat pengakhiran kekuasaan Inggris atas Hong Kong setelah lebih dari 150 tahun, dan menjamin hak serta kebebasan kota tersebut di bawah kerangka “satu negara, dua sistem.”
“Saya rasa dari sudut pandang Australia, jika Anda hanya melihatnya dari sisi ekonomi—sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan mitra dagang terbesar kita—Anda tidak akan pernah benar-benar memahaminya,” ujar Li.
“Kita juga harus melihatnya dari perspektif kemanusiaan, dan tidak menganggapnya sebagai pemerintah biasa atau partai politik biasa. Karena bukan itu kenyataannya; itu adalah iblis yang menyamar sebagai entitas normal.” (asr)
Sumber : Theepochtimes.com