Situasi Epidemi di Tiongkok Memanas, Dokter Mengungkap Upaya Menutup-nutupi Epidemi oleh PKT

Setelah secara langka mengakui bahwa wabah COVID-19 kembali meningkat, rezim PKT kembali mengklaim bahwa wabah sudah mereda. Namun, banyak warga dari berbagai daerah di Tiongkok mengatakan kepada NTD bahwa wabah sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang. Gelombang baru COVID-19 kini sedang merebak; rumah sakit dan klinik penuh sesak, banyak orang meninggal mendadak—bahkan ada dokter yang wafat di tempat kerja. Sejumlah dokter mengungkap bagaimana Partai Komunis Tiongkok (PKT) terus menutupi kenyataan wabah COVID-19

EtIndonesia. Pada awal Mei, PKT secara tidak biasa mengakui bahwa penyebaran virus Corona kembali meningkat. Namun pada 28 Mei, media pemerintah menyebutkan bahwa menurut Biro Pengendalian Penyakit, tren peningkatan kasus sudah mulai melambat.

Menjelang akhir Mei, seorang dokter di daratan Tiongkok mengatakan kepada wartawan NTD bahwa “wabah sebenarnya tidak pernah pergi.” Pemerintah melarang penyebutan COVID-19 atau pengakuan adanya wabah, karena semua ditentukan oleh kebutuhan politik.


“Karena ini menyangkut pemantauan pemerintah, mereka tidak akan bicara secara blak-blakan. Misalnya seperti tes PCR, dulu sempat dilarang. Kalau kamu ingin tes, biayanya lebih dari  RMB.100 . Jadi para dokter bilang, ya sudah, entah itu COVID atau bukan, sama saja—infeksi saluran pernapasan atas. Tidak perlu dites. Sekarang mulai dites lagi, karena negara juga ingin memantau dan tahu situasi. Kalau-kalau terjadi hal besar,” ujar Dokter Klinik Guangzhou, Kang Hong.

Kang juga mengungkap bahwa gelombang baru COVID-19 telah meledak, banyak orang terinfeksi, dan seorang dokter senior di rumah sakit kelas atas (Tingkat 3A) di Guangzhou meninggal dunia di tempat kerja setelah terinfeksi.

Kang Hong melanjutkan:  “Tingkat kematian COVID lebih tinggi dari flu biasa. Gejalanya lebih berat. Biasanya saya tidak pakai masker, sekarang saya pakai. Umumnya yang parah itu orang tua, yang bisa menyebabkan komplikasi seperti pneumonia. Ada yang bisa disembuhkan, ada yang tidak. Di rumah sakit tempat anak saya bekerja, seorang dokter tua meninggal. Dia masih bekerja, tapi hanya dua hari sudah tak kuat. Setelah diperiksa, gejalanya parah. Kasus seperti ini dihitung sebagai kecelakaan kerja.”

Belakangan ini, di Shanghai, Guangzhou, Yunnan, Hunan, dan Guizhou, banyak dokter terkenal juga meninggal mendadak. Usia tertua 64 tahun, termuda 37 tahun.

Kang mengungkapkan bahwa bahkan jika seseorang meninggal akibat COVID-19, rumah sakit tidak diperbolehkan melaporkannya.

Kang Hong menjelaskan:  “Sebagian besar pasien saya mengalami demam dan flu. Kami juga tidak melakukan tes; pasien juga enggan karena mereka tahu itu pasti COVID, dan tidak mau buang-buang uang. Dalam waktu lama, rumah sakit tidak mengadakan tes, karena takut menimbulkan kepanikan. Kalau sampai ada yang meninggal, semua jadi takut. Sekarang, dinas kesehatan sudah bilang: tidak perlu dilaporkan.”

Menurutnya, rumah sakit umumnya tidak mencatat jumlah kematian akibat COVID. Data resmi berasal dari “pos pemantauan” atau sentinel points, yaitu rumah sakit tertentu yang pembiayaan tesnya ditanggung negara. Tujuannya adalah untuk keperluan pengawasan pemerintah.

Kang berkata:  “Misalnya di Guangzhou, ada puluhan pos pemantauan, biasanya rumah sakit kelas 3A dan klinik demam. Dulu, meskipun belum ada COVID, sudah ada klinik demam. Jadi setiap pasien yang datang langsung dites. Tes ini dibiayai negara, bukan pasien. Pemerintah bisa memantau, tapi masyarakat umum tidak tahu.”

Chen Yang, seorang tabib Tiongkok di Zhuzhou, Hunan, juga mengungkap bahwa pemerintah terus menutupi wabah.

Chen Yang menyampaikan:  “Virus ini sedang meledak lagi. Menurut saya, sebenarnya tidak pernah berhenti. Saya sering menerima pasien. Setelah gagal ditangani dengan pengobatan barat, mereka datang ke saya. Saya beri obat tradisional Tiongkok, dan banyak yang membaik. Kalau ada yang meninggal, tidak boleh dikatakan akibat virus. Saya kira dari 1 miliar lebih penduduk Tiongkok, hampir semuanya sudah terinfeksi. Virus ini sudah membunuh setidaknya ratusan juta orang.”

Liu, warga Yulin, Shaanxi, mengatakan bahwa wabah datang bergelombang, dan banyak orang di sekitarnya mengalami gejala flu berulang-ulang.

Liu mengatakan:  “Banyak orang dewasa yang demam, diare, sakit tenggorokan. Banyak juga yang harus diinfus. Umumnya bisa disembuhkan, tapi butuh waktu sekitar seminggu.”

Beberapa warga Shenzhen juga mengatakan bahwa banyak orang di daerah mereka terinfeksi COVID, dan rumah sakit serta klinik dipenuhi pasien.

Jian, warga Shenzhen, mengatakan:  “Di selatan Tiongkok ini sangat parah. Di Shenzhen, hampir semua rumah sakit dan klinik penuh. Banyak yang sakit tenggorokan dan demam. Secara resmi ini dianggap sebagai COVID varian baru. Tapi kalau ada yang meninggal karena ini, pemerintah tidak akan mengakuinya.”

Tao, warga Jilin, juga menyampaikan bahwa banyak orang di sekitarnya meninggal, namun semua informasi ini diblokir oleh pemerintah.

Tao menyatakan:  “Akhir-akhir ini banyak yang meninggal. Beberapa hari ini saja sudah ada beberapa kasus. Ada yang tua, ada juga yang masih muda. Ada yang pagi-pagi masih sehat jalan-jalan, belum sempat ke rumah sakit sudah meninggal. Banyak yang bilang itu karena vaksin. Setelah disuntik, banyak yang mengeluh bahu sakit, tekanan darah naik terus. Banyak yang meninggal dunia.”

Sejak Januari 2023, pendiri Falun Gong, Master Li Hongzhi, telah memperingatkan bahwa PKT terus menutupi wabah selama lebih dari tiga tahun. Beliau  menyatakan bahwa hingga saat itu, COVID telah membunuh 400 juta orang di Tiongkok, dan jumlah itu bisa mencapai 500 juta ketika wabah ini benar-benar berakhir. (Hui)

Penyunting: Li Yun | Reporter: Xiong Bin | Pascaproduksi: Gao Yu

FOKUS DUNIA

NEWS