EtIndonesia. Pada tahun 2008, dunia dikejutkan oleh skandal susu formula Sanlu di Tiongkok. Tragedi ini bukan sekadar bencana kesehatan publik, melainkan titik balik yang menyingkap wajah gelap industri pangan Tiongkok dan menjadi awal dari eskalasi krisis pangan berskala lintas negara. Kini, 17 tahun berselang, masalah pangan Tiongkok bukannya mereda, justru berkembang menjadi ancaman global—merambah hingga dapur dan laboratorium Amerika, membentuk sebuah perang sunyi tanpa dentuman peluru.
Bagaimana rantai ini terbentuk? Mengapa ancaman itu justru semakin sistemik? Dan benarkah Amerika Serikat kini menjadi target “perang pangan” dan “perang biologis” terselubung yang dijalankan secara terencana oleh rezim Tiongkok?
Keamanan Pangan Tiongkok—Dari Skandal ke Sistem
Bukan Kasus Nakal, Tapi Gagal Sistemik
Masalah pangan di Tiongkok sudah lama melampaui batas insiden perusahaan nakal. Yang terjadi adalah kegagalan sistemik—di mana transparansi dan akuntabilitas nyaris tak pernah jadi prioritas. Dalam sistem yang menjadikan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial sebagai tujuan utama, segala sesuatu di bawahnya, termasuk kesehatan rakyat, kerap dikorbankan.
Kasus Sanlu 2008: Paradigma Kegagalan
Kasus Sanlu mencatat 300.000 bayi menderita batu ginjal akibat susu yang dicampur melamin, dengan korban meninggal mencapai puluhan orang. Laporan-laporan telah masuk selama delapan bulan, namun diredam. Investigasi independen dibungkam, baru setelah rekan dari Selandia Baru melaporkan, kasus ini terbuka. Awalnya, Pemerintah Tiongkok menyangkal, bahkan membungkam media. Saat tak dapat lagi ditutupi, barulah tindakan diambil.
Sanlu gulung tikar, dua peternak dihukum mati, dan Tian Wenhua, ketua Sanlu, dipenjara seumur hidup (namun akhirnya bebas setelah 11 tahun). Ironisnya, dana kompensasi korban diambil dari pinjaman bank milik negara, bukan denda perusahaan—seakan negara rela menanggung beban dosa perusahaan.
Sistem Pengawasan yang Gagal
Alih-alih perbaikan, sistem justru memproduksi pengawas-pengawas setia perusahaan yang kemudian naik jabatan, sementara korban kehilangan segalanya. Pesan tak tertulisnya jelas: selama tak ketahuan, Anda aman; dan jika ketahuan, negara pun siap menanggung. Setelah Sanlu, industri “pangan berisiko” malah makin berkembang liar, jadi model bisnis baru.
Rantai Skandal yang Tak Pernah Usai
Hampir tiap tahun, muncul “inovasi” baru: beras plastik, minyak jelantah yang diolah ulang jadi minyak makan, kapsul gelatin beracun, daging babi mati yang diolah dan diekspor, hingga sayur dan buah berformalin. Antara 2011-2019, lebih dari 900 kasus besar soal keamanan pangan terkuak. Namun, seiring makin ketatnya sensor, yang berkurang bukan kasus, melainkan suara pelapor.
Motif Ekonomi, Oligarki, dan Politik Lokal
Banyak pabrik pangan adalah penyumbang pajak dan lapangan kerja utama daerah. Pejabat setempat bahkan ikut memiliki saham. Maka, membongkar skandal pangan berarti “bunuh diri karier.” Akhirnya, laporan-laporan diganti sampel, audit direkayasa, dan masalah disapu di bawah karpet.
Dari Persoalan Internal Menjadi Ancaman Global
Ketika produk-produk ini membanjiri pasar ekspor, dunia menerima bukan sekadar barang murah, tetapi risiko laten—racun lintas negara. Inilah realisasi slogan Xi Jinping tentang “komunitas nasib bersama umat manusia”, tapi dalam arti yang ironis—komunitas bersama risiko dan racun.
Ekspor Racun ke Amerika—Penetrasi Sistemik dan Serangan Sunyi
Amerika, Sasaran Utama Ekspor Pangan Berisiko
Amerika Serikat, sebagai pasar konsumsi terbesar, menjadi tujuan utama ekspor pangan Tiongkok. Produk dari Tiongkok—mulai dari sayur beku, ikan asin, rempah, bumbu instan, hingga mi dan pangsit—masuk dengan berbagai cara: kemasan ulang, perubahan negara asal, hingga masuk tanpa label jelas.
Modus Operandi: Menembus Pengawasan Amerika
- Ganti Asal Negara: Barang transit di Vietnam, Thailand, Meksiko, diberi label baru, masuk ke AS.
- Sertifikat Palsu: Label organik dan halal palsu, terutama pada makanan laut.
- Celah Regulasi: Memanfaatkan prosedur uji yang berbeda-beda antarnegara bagian.
Studi Kasus
- 2018, California: Impor ikan asin dari Guangdong mengandung formalin 18x ambang batas, akan masuk supermarket Asia di LA.
- 2021, Bayam Beku: Produk asal Shandong yang diklaim “Impor Asli Taiwan”, ternyata Tiongkok, mengandung kadmium tinggi.
Mengapa Amerika Mudah Ditembus?
Kepercayaan dan keterbukaan sistem Amerika, tanpa kecurigaan atas sertifikasi dan latar belakang produk, membuat pengawasan menjadi lemah. Pemerintah AS hanya mampu menguji kurang dari 5% sampel makanan impor. Selain itu, lobby importir besar menahan penguatan regulasi, dan perbedaan standar antarnegara bagian memperparah masalah.
Dampak Langsung: Perang Ekonomi di Dapur Amerika
Pangan Tiongkok mengalahkan produk Amerika bukan karena lebih baik, tapi karena murah—biaya produksi ditekan dengan mengorbankan kualitas, keselamatan, dan lingkungan. Data sensus pertanian AS 2022: dalam 10 tahun, petani AS berkurang 200.000 keluarga. Komoditas seperti bawang, jahe, sayuran beku, buah kering, dan ikan—semua produk unggulan ekspor Tiongkok—menggerus pendapatan petani lokal.
Bahkan, kepercayaan terhadap merek Amerika pun tergerus karena merek-merek “impor asli” ternyata hanya label, produksinya di Tiongkok.
Risiko Biologis: Laboratorium Ilegal dan Perang Senyap Melalui Patogen
Kasus Reedley, California—Terbongkarnya Laboratorium Bawah Tanah
Juni 2023, polisi di Reedley, California, menemukan laboratorium ilegal milik Zhu Jiabei, warga Tiongkok. Di sana ada 900 tikus rekayasa genetika (beberapa terinfeksi COVID-19), lebih dari 5.000 sampel penyakit (HIV, hepatitis, dengue, monkeypox). Laboratorium kotor, tanpa izin, dan seluruh operasi dikendalikan dari Tiongkok.
Jaringan Global, Motif Terselubung
Laporan Kongres AS Februari 2024 menyoroti bahwa kasus Reedley kemungkinan hanya “puncak gunung es.” Diduga, laboratorium-laboratorium serupa tersebar di AS, dengan tujuan mengumpulkan data, mensimulasikan wabah, hingga menyiapkan “senjata biologis”.
Sistem Pengawasan Lemah, Jaringan Penyerang Kuat
Tiongkok mengirim sampel, tenaga kerja, dan logistik lewat jalur-jalur tak resmi, menyusupkan “peneliti” lewat jalur akademik dan bisnis.
Mahasiswa atau Eksekutor—Modus Perang Biologis Tiongkok?
Serangkaian Penangkapan yang Bukan Kebetulan
- Mei 2024, Detroit: Mahasiswa S3 Jilin membawa puluhan sampel jamur patogen Fusarium dan spora, mengaku atas permintaan profesor.
- November 2023, Newark: Postdoktoral Fudan membawa vaksin dan sel hewan, dideportasi.
- Februari 2024, San Francisco: Mahasiswa Sun Yat-sen membawa fragmen gen virus flu babi Afrika, ditahan.
Otoritas AS menemukan pola sistematis dan tren meningkat, mengarah pada operasi negara. Dalam sistem pendidikan dan riset Tiongkok, semua kerja sama dan misi luar negeri di bawah pengawasan partai dan birokrasi negara.
Sampel Fusarium: “Bom Waktu” bagi Pertanian Amerika
Fusarium tertentu bisa menghancurkan pertanian dan memicu racun yang membunuh ternak dan manusia. Masuknya patogen ini tanpa pengawasan bisa menimbulkan bencana pertanian dan ekonomi besar-besaran.
Strategi Perang Modern: Hybrid Warfare dan Outsourcing Kejahatan Negara
Mahasiswa, Akademisi, dan Bisnis—Jaringan “Perang Rakyat” PKT
Menggunakan mahasiswa, akademisi, dan perusahaan sebagai operator membuat serangan ini sulit ditangkal dan mudah disangkal. Jika terbongkar, cukup disebut “aksi pribadi”. Inilah model hybrid warfare modern yang dikembangkan Tiongkok.
Serangan Asimetris dan Propaganda Balik
Tiongkok bahkan menyerang balik dengan tuduhan bioterorisme pada AS (misal isu Fort Detrick), menutup jejak dan membingungkan publik.
Respons Amerika: Mulai Menutup Celah
Kini, Amerika bergerak cepat: memperkuat pengawasan bea cukai, memperketat aturan impor pangan dan riset biologis, menyelidiki seluruh jaringan laboratorium ilegal, serta mengawasi mahasiswa asing di bidang pertanian dan biologi.
Namun, tantangan ke depan sangat besar:
- Bagaimana menjaga keterbukaan dan kebebasan tanpa menjadi korban sistem tertutup negara lain?
- Apakah Amerika siap menghadapi “perang senyap” tanpa suara dan tanpa peringatan ini?
Menyadari Bahaya, Membangun Ketahanan
Kisah Sanlu 2008 hanyalah permulaan dari drama besar rantai risiko pangan dan biologis yang kini menjangkiti dunia. Apa yang dulu menjadi tragedi di satu negara, kini berkembang jadi perang hening yang menargetkan seluruh masyarakat global, termasuk Amerika.
Amerika dan dunia harus belajar dari sejarah pahit ini: bahwa dalam era keterbukaan global, ketahanan pangan dan biologis adalah benteng utama peradaban. Jika benteng itu runtuh, ancaman terbesar justru datang bukan dari musuh di medan tempur, tapi dari racun dan patogen yang tak kasatmata di meja makan dan laboratorium.