EtIndonesia. Pemerintah Tiongkok secara tiba-tiba memperketat ekspor bahan-bahan penting seperti paduan logam tanah jarang, campuran logam tanah jarang, serta magnet tanah jarang—langkah yang segera mengguncang industri otomotif dan teknologi tinggi global. Setelah para pembuat kebijakan dan perusahaan otomotif AS menyampaikan peringatan, kini produsen mobil dari Jerman, India, dan sejumlah negara lainnya ikut menyuarakan kekhawatiran mereka. Jika pembatasan ini tidak segera dicabut, rantai pasok industri otomotif bisa terganggu, bahkan terancam lumpuh, yang berpotensi melumpuhkan perekonomian lokal di berbagai negara.
Krisis Global: Ford Setop Produksi, Dunia Terancam Kelumpuhan Rantai Pasok
Menurut laporan Reuters pada 3 Juni, industri otomotif Jerman secara resmi memperingatkan kebijakan ekspor baru Tiongkok, menyebut bahwa hambatan pasokan saat ini telah mengancam stabilitas rantai pasok global.
Ketua Asosiasi Industri Otomotif Jerman, Hildegard Mueller, mengatakan: “Jika situasinya tidak segera berubah, maka gangguan produksi hingga penghentian total tidak bisa dihindari.”
Media AS juga melaporkan bahwa Ford Motor Company menghentikan produksinya selama seminggu pada Mei karena kekurangan magnet berbasis tanah jarang. Para diplomat, produsen mobil, dan eksekutif dari Eropa, Jepang, dan India kini berlomba-lomba menjalin dialog dengan pejabat Tiongkok untuk mempercepat proses persetujuan ekspor.
Di India, sejumlah produsen kendaraan listrik menyatakan bahwa sejak Tiongkok mengumumkan pembatasan ekspor terhadap tujuh jenis tanah jarang menengah dan berat pada April lalu, pasokan bahan baku mereka terganggu parah hingga beberapa jadwal produksi harus ditunda. Magnet tanah jarang sangat penting dalam pembuatan motor mobil, sistem rem, dan sensor kendaraan—dan kini kekurangannya sudah mulai menghantam produsen otomotif AS.
Setelah sebelumnya produsen kendaraan listrik di India melayangkan keluhan, kini giliran Jerman yang mengeluarkan peringatan keras: pembatasan ekspor Tiongkok bisa melumpuhkan produksi dan menghantam ekonomi lokal secara brutal.
Upaya Diplomatik Global Hadapi Dominasi Tiongkok
Menghadapi ancaman kerusakan rantai pasok global, para pejabat dari Jepang, India, dan Uni Eropa telah memulai misi diplomatik intensif untuk menekan Beijing agar mempercepat persetujuan ekspor. Khususnya bagi industri otomotif dan dirgantara di Asia dan Eropa yang sangat bergantung pada tanah jarang Tiongkok, keterlambatan sekecil apa pun dapat menimbulkan kerugian besar.
Menurut sejumlah diplomat, hanya segelintir negara yang memiliki kemampuan produksi alternatif dengan skala besar. Meski ada upaya internasional untuk mengembangkan proyek pertambangan dan pemurnian bersama, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menutup celah yang ditinggalkan Tiongkok. Hal ini menjadikan konflik tanah jarang sebagai babak baru dalam persaingan strategis AS-Tiongkok, setelah perang chip dan baterai.
Tiongkok Jadi “Tuan Tanah Jarang”, Negosiasi AS-Tiongkok Buntu
Langkah pembatasan ekspor oleh Tiongkok juga meningkatkan tensi geopolitik secara drastis. Beijing disebut sedang menyusun sistem pengawasan ekspor baru yang memungkinkan pembatasan permanen terhadap negara atau perusahaan tertentu—terutama yang dianggap berisiko terhadap kepentingan nasional, seperti kontraktor militer Amerika Serikat.
Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan pada 3 Juni bahwa pembatasan ekspor ini akan menjadi salah satu topik utama dalam percakapan telepon antara Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, yang dijadwalkan berlangsung pekan ini. Dunia menantikan apakah kedua pemimpin bisa mencapai kompromi.
Padahal, sebelumnya kedua negara telah mencapai kesepakatan “gencatan tarif” dalam perundingan di Jenewa. Namun, menurut Wall Street Journal, implementasinya jauh dari harapan. Pada pertemuan tersebut, Tiongkok berjanji akan mempercepat proses izin ekspor tanah jarang sebagai imbalan agar AS tidak menambah tarif selama 90 hari. Namun, pihak AS kini menilai Tiongkok “secara total mengingkari semangat perjanjian”.
Menurut sumber terpercaya, dalam negosiasi di Jenewa, delegasi perdagangan AS meminta Wakil Perdana Menteri Tiongkok, He Lifeng, untuk memulihkan izin ekspor tanah jarang. Sebagai balasannya, Washington bersedia menunda tarif baru selama 90 hari. Kesepakatan ini pada akhirnya memberikan angin segar bagi pasar keuangan global.
Namun sejak itu, proses perizinan ekspor dari Beijing tetap lambat, termasuk untuk logam penting lain yang diperlukan dalam industri otomotif dan semikonduktor.
Trump Murka: Tiongkok Langgar Janji, Pabrik AS Bisa Lumpuh Lagi
Pada 30 Mei 2025, Presiden Trump menulis di platform media sosialnya: “Berita buruk—meskipun tidak mengejutkan bagi sebagian dari kita—Tiongkok telah sepenuhnya melanggar kesepakatan yang mereka buat dengan kami.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa Washington merasa dikhianati dan bahwa pelaku industri AS telah mulai merasakan dampaknya secara langsung.
Sejumlah sumber menyatakan, sejak kesepakatan dicapai, Tiongkok belum mempercepat persetujuan izin ekspor secara signifikan. Banyak perusahaan AS, terutama produsen otomotif dan kontraktor militer, kini menekan pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap Beijing.
Seorang eksekutif senior industri otomotif memperingatkan bahwa jika Tiongkok tak segera melonggarkan pembatasan ekspor, maka pabrik-pabrik AS bisa kembali mengalami kondisi seperti awal pandemi COVID-19—shutdown total.
Masalah semakin rumit karena pada pertengahan Mei, Departemen Perdagangan AS menjatuhkan larangan global terhadap chip AI “Ascend” buatan Huawei. Kebijakan ini melarang perusahaan mana pun di dunia melakukan transaksi chip dengan Huawei. Beijing mengecam keras langkah ini, dan protes diplomatik pun dikirim ke Washington. Akibatnya, perundingan dagang yang sudah rapuh kini kembali menemui jalan buntu.
Krisis Tanah Jarang Masih Jauh dari Selesai
Beijing telah lama menguasai rantai pasok global tanah jarang, dan dalam hal teknologi pemurnian logam tanah jarang berat, Tiongkok berada jauh di depan negara lain. Menurut sejumlah ilmuwan Tiongkok sendiri, teknologi AS dalam bidang ini tertinggal sekitar 20 tahun.
Meskipun Washington telah berupaya keras mengurangi ketergantungan melalui “diplomasi mineral” dan pengembangan pasokan alternatif, menggoyahkan dominasi Tiongkok dalam waktu dekat sangatlah sulit.
Kini, pembatasan ekspor tanah jarang bukan sekadar isu perdagangan, tapi telah menjadi inti dari krisis industri global dan konflik geopolitik. Upaya mencari konsensus antara AS dan Tiongkok terhambat oleh krisis kepercayaan serta semakin panasnya persaingan di bidang teknologi dan militer. Selama ketegangan terus berlanjut, pasokan tanah jarang akan menjadi indikator penting dalam membaca arah geopolitik dan risiko ekonomi global di masa mendatang.(jhn/yn)