EtIndonesia. Pada 4 Juni waktu setempat, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin melakukan pembicaraan melalui sambungan telepon untuk membahas serangan drone Ukraina terhadap pangkalan angkatan udara Rusia. Trump mengungkapkan melalui media sosial bahwa Putin “dengan nada yang sangat tegas” menyampaikan bahwa Rusia akan membalas serangan Ukraina tersebut. Namun, Trump juga mengakui bahwa meskipun pembicaraan berlangsung baik, “belum terlihat secercah harapan menuju perdamaian.”
Ini merupakan kali pertama Trump secara terbuka menanggapi serangan drone Ukraina yang menembus jauh ke dalam wilayah Rusia dalam beberapa hari terakhir. Gedung Putih mengatakan bahwa pihak AS sebelumnya tidak memiliki informasi intelijen tentang operasi militer tersebut. Dalam pembicaraan tersebut, Trump juga menegaskan hal ini kepada Putin. Menurut penjelasan penasihat diplomatik Kremlin, Yuri Ushakov, hal ini menjadi salah satu poin utama dalam pembicaraan kedua pemimpin tersebut.
Waktu percakapan antara Trump dan Putin terbilang cukup panjang, namun dalam unggahannya, Trump tidak menjelaskan secara gamblang bagaimana reaksinya terhadap pernyataan Putin yang berjanji akan melakukan balasan. Dia juga tidak menunjukkan ketidaksabaran atau kemarahan yang sebelumnya sering dia tunjukkan terkait perang berkepanjangan Rusia. Sebaliknya, sikapnya kali ini terkesan lebih tenang. Yuri Ushakov menggambarkan pembicaraan itu sebagai “positif dan cukup konstruktif,” seraya menambahkan : “Saya percaya sangat bermanfaat bagi Trump untuk mendengar langsung pandangan kami mengenai insiden ini.”
Ukraina: Kami Belum Menutup Pintu Negosiasi
Menanggapi pembicaraan antara Trump dan Putin, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy juga menyampaikan pandangannya melalui media sosial.
Dia menulis: “Sudah banyak pihak yang mencoba berdialog dengan Rusia, namun negosiasi-negosiasi tersebut tidak pernah membawa perdamaian yang nyata, bahkan tidak mampu menghentikan perang. Ironisnya, Putin kini merasa bisa berbuat semaunya.”
Dia memperingatkan: “Ketika Putin berjanji akan membalas, itu berarti setiap serangan baru, setiap penundaan diplomatik, adalah cara Rusia menunjukkan jari tengah kepada dunia, menantang mereka yang masih ragu-ragu untuk meningkatkan tekanan terhadap Moskow.”
Kepala Staf Kepresidenan Ukraina, Andrii Yermak, dalam sebuah konferensi pers di Washington juga menyatakan bahwa saat ini Rusia hanya mengandalkan kekuatan dan tidak menunjukkan niat politik untuk mengakhiri perang.
“Namun itu bukan berarti Ukraina telah menutup pintu bagi negosiasi,” tegasnya.
Apakah Trump Akan Menelepon Zelenskyy Juga?
Trump telah berulang kali berjanji akan “mengakhiri perang dengan cepat,” namun belakangan tampaknya mulai kehilangan kesabaran. Dia tidak hanya menyerukan kepada Putin untuk “menghentikan pertempuran,” tetapi juga sempat menyebut Putin “sudah benar-benar gila.” Meskipun begitu, hingga kini Trump belum menyatakan apakah ia akan mendukung sanksi baru terhadap Rusia.
Percakapan telepon kali ini merupakan pembicaraan pertama antara Trump dan Putin sejak 19 Mei lalu. Dalam percakapan tersebut, mereka juga membahas program nuklir Iran serta kemungkinan Rusia akan terlibat dalam pembicaraan dengan Iran. Sementara itu, belum diketahui apakah Trump juga akan melakukan percakapan langsung dengan Presiden Zelenskyy dalam waktu dekat.
Perundingan Rusia-Ukraina Masih Mandek, Hanya Sepakat Tukar Jenazah
Pada Senin (2/6) lalu, Rusia dan Ukraina kembali melakukan pertemuan langsung di Istanbul, Turki—yang menjadi pertemuan kedua dalam dua minggu terakhir. Kedua pihak saling bertukar memorandum mengenai syarat-syarat gencatan senjata. Namun, pembicaraan hanya berlangsung satu jam dan tidak menghasilkan kemajuan substansial. Satu-satunya kesepakatan yang dicapai adalah pertukaran ribuan jenazah prajurit yang gugur dari kedua belah pihak.
Zelenskyy mengungkapkan bahwa Ukraina dan Rusia kemungkinan akan kembali melakukan pertukaran tawanan perang akhir pekan ini. Namun, ia juga mengkritik proses negosiasi yang berlangsung, menyebutnya sebagai “pertunjukan politik” yang bertujuan untuk mengulur waktu, menunda sanksi, dan memberi kesan kepada AS bahwa Rusia masih terbuka untuk bernegosiasi.(jhn/yn)