EtIndonesia. Kawasan Indo-Pasifik kini semakin menampakkan dirinya sebagai “zona patahan geopolitik” (shatter belt), tempat bertemunya konflik internal dan kompetisi strategis antar negara besar, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Perang Rusia-Ukraina telah memperparah situasi ini dengan menyita sumber daya strategis Amerika dan Eropa, menimbulkan kekhawatiran bahwa perhatian terhadap kawasan Indo-Pasifik akan berkurang.
Strategi Indo-Pasifik Jadi Kunci Prancis Menyeimbangkan Tiongkok dan Rusia
Sebagai negara Eropa yang sangat mendukung Ukraina, Prancis—setelah mengalami kegagalan beruntun di kawasan Sahel, Afrika Barat—mencari jalur alternatif untuk menyeimbangkan pengaruh Tiongkok dan Rusia. Dalam hal ini, wilayah-wilayah seberang laut Prancis di Indo-Pasifik menjadi aset penting dalam memperkuat posisi diplomatik dan strategisnya.
Menghadapi sikap Tiongkok yang semakin agresif di kawasan, Prancis dan Eropa kini lebih serius memusatkan perhatian ke Indo-Pasifik. Apabila Barat bersikap lunak terhadap Rusia, hal ini bisa memberi isyarat keliru kepada Tiongkok dan mendorongnya bertindak lebih berani di Indo-Pasifik. Presiden Emmanuel Macron pun mengaitkan nasib Ukraina dengan Taiwan, menyiratkan bahwa jika Rusia dibiarkan mencaplok wilayah secara brutal, maka nasib Taiwan pun akan di ujung tanduk.
Perubahan Sikap Macron dalam Strategi Indo-Pasifik
Macron kini secara terbuka menekankan pentingnya “kemandirian strategis” bagi Eropa dan Asia, menyerukan agar negara-negara tidak terjebak dalam dikotomi AS-Tiongkok. Dalam kunjungan ke kawasan Indo-Pasifik pada Mei, dia secara eksplisit mengingatkan bahwa fokus berlebihan pada Tiongkok tidak boleh mengorbankan Ukraina, karena kredibilitas Barat di Indo-Pasifik sangat bergantung pada keberhasilan mereka di Ukraina.
Pada Forum Dialog Shangri-La 2025, ketegangan antara AS dan Tiongkok memuncak akibat isu Taiwan dan Laut China Selatan. Namun menariknya, Macron menjadi kepala negara Eropa pertama yang diundang menyampaikan pidato utama pembukaan di forum ini. Hal ini dianggap sebagai pengakuan terhadap kontribusi Prancis bagi stabilitas kawasan.
Evolusi Kebijakan Luar Negeri Prancis
Dibandingkan dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya, perjalanan Macron kali ini menunjukkan perubahan yang signifikan dalam strategi dan narasi. Pada 2018, dia mempromosikan konsep “Indo-Pasifik yang terbuka dan inklusif”—berbeda dari pendekatan AS yang lebih bersifat “bebas dan terbuka”. Saat itu, Prancis menolak memilih kubu dan menawarkan “jalan ketiga”, dalam semangat Gaullisme.
Namun, pasca krisis AUKUS tahun 2021—di mana Australia membatalkan kontrak pembelian kapal selam Prancis demi bergabung dengan aliansi AS-Inggris—Prancis mulai mengalihkan fokus ke mitra lain di kawasan, khususnya India.
India kini dianggap sebagai mitra strategis utama Prancis di Indo-Pasifik. Prancis mendukung modernisasi militer India dengan menjual jet tempur Rafale dan kapal selam. Di balik ketegangan antara India dan Pakistan, terdapat dukungan diam-diam Prancis terhadap India sebagai pengimbang pengaruh Tiongkok.
Prancis Perluas Keterlibatan di Asia Tenggara dan Pasifik
Tahun 2025, Macron melakukan kunjungan bersejarah ke negara-negara Pasifik Selatan seperti Kaledonia Baru, Vanuatu, dan Papua Nugini—yang belum pernah dikunjungi presiden Prancis sejak era Charles de Gaulle pada 1966. Kunjungan ini disebut sebagai “misi pemecah es” yang mencerminkan pergeseran strategis Prancis yang semakin sadar terhadap pengaruh Tiongkok di kawasan.
Sementara itu, Prancis juga memperkuat kerja sama ekonomi dan strategis dengan Vietnam, termasuk dalam proyek kereta cepat, teknologi nuklir, ruang angkasa, dan farmasi. Prancis juga menandatangani kesepakatan pembelian 20 pesawat Airbus oleh Vietnam, sebagai simbol penguatan hubungan ekonomi dan penyeimbang dominasi AS dan Tiongkok.
Demikian pula dengan Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, Prancis menjalin kerja sama militer intensif. Indonesia membeli 42 jet Rafale, menjalin kemitraan pembangunan kapal selam, dan menggelar latihan angkatan laut bersama. Ini menunjukkan bahwa Indonesia juga berupaya mengurangi ketergantungan terhadap AS dan Rusia dalam hal pertahanan.
Prancis Semakin Waspada terhadap Ancaman Tiongkok
Perubahan sikap ini juga dipicu oleh meningkatnya ancaman Tiongkok terhadap wilayah-wilayah seberang laut Prancis di Indo-Pasifik, yang mencakup sekitar 1,5 miliar warga negara dan 10,2 juta km² zona ekonomi eksklusif—terbesar kedua di dunia setelah AS.
Contohnya, Beijing menunjukkan minat besar terhadap gerakan kemerdekaan di Kaledonia Baru, wilayah strategis yang kaya nikel dan pernah menjadi pangkalan penting Sekutu dalam Perang Dunia II. Tiongkok juga aktif membina hubungan dengan elite politik dan ekonomi lokal serta memanfaatkan komunitas Tionghoa untuk menanamkan pengaruh.
Selain itu, beberapa wilayah Prancis di Samudera Hindia seperti Mayotte juga terancam. Pulau tersebut diklaim oleh Komoro dan kini didukung oleh Tiongkok dan Rusia. Sementara itu, Madagaskar juga mengklaim pulau-pulau yang dikuasai Prancis, seperti Tromelin, dengan dukungan Tiongkok. Prancis kini menilai hal ini sebagai bentuk “perang hibrida” yang dilakukan Tiongkok untuk melemahkan kehadiran Prancis secara sistematis.
Ambisi Prancis vs Realitas Kapasitas
Meski ambisi Prancis besar, ada batasan nyata dalam sumber daya dan kemampuan. Dibandingkan dengan AS yang mengucurkan miliaran dolar tiap tahun untuk program “Pacific Deterrence Initiative” (PDI), Prancis hanya memiliki sekitar 3.000 personel militer tetap di Indo-Pasifik.
Kapal perang dan pesawat Prancis yang tersebar di Pasifik sudah lama bekerja di luar kapasitas. Misi pengiriman kapal induk atau jet tempur ke kawasan hanya bersifat simbolis jangka pendek, bukan kehadiran jangka panjang. Untuk benar-benar mencapai tujuannya, Prancis harus meningkatkan anggaran pertahanan, memperkuat pangkalan luar negeri, dan mengakuisisi kapal dan sistem pengintaian jarak jauh—namun hal ini terkendala krisis ekonomi pasca-pandemi dan perang Ukraina.
Dilema Strategis dan Politik Dalam Negeri
Strategi Prancis untuk tetap menjadi kekuatan global juga dihadapkan pada dilema politik domestik. Publik Prancis lebih fokus pada ancaman langsung di Eropa Timur, terutama karena perang Ukraina masih berlangsung. Banyak pihak mempertanyakan apakah masuk akal mengalokasikan dana militer ke wilayah yang sangat jauh dari tanah air.
Selain itu, Prancis mencoba memainkan dua peran sekaligus: sebagai penyeimbang dan sebagai pengimbang. Satu sisi tidak sepenuhnya mengikuti AS, namun di sisi lain juga ingin membendung pengaruh Tiongkok. Posisi yang ambigu ini kerap membingungkan sekutu dan lawan.
Meski begitu, Prancis sudah mulai menyelaraskan posisi dengan Barat. Baru-baru ini, penasihat diplomatik Macron menyatakan bahwa jika terjadi konflik di Selat Taiwan, Prancis tidak akan tinggal diam—menunjukkan komitmen yang lebih tegas.
Kesimpulan: Prancis Tidak Bisa Lagi Ragu
Kebijakan Prancis terhadap Tiongkok kini lebih realistis dan berorientasi pada kekuatan, bukan lagi idealisme inklusif. Macron ingin agar Prancis tetap menjadi kekuatan global yang mampu membentuk aturan dan menyediakan “barang publik” seperti keamanan dan stabilitas kawasan.
Namun, jika Prancis tidak bisa menjaga pengaruhnya di Indo-Pasifik setelah kehilangan posisi di Afrika, maka statusnya sebagai kekuatan global akan semakin memudar. Maka, baik Macron maupun presiden selanjutnya tak punya pilihan selain mengusung strategi nyata untuk menyeimbangkan Tiongkok —meskipun hal itu membawa risiko konfrontasi langsung.(jhn/yn)