EtIndonesia. Aroma perubahan tajam sedang menggelayut di langit Tiongkok. Isu suksesi kepemimpinan Xi Jinping, yang selama ini tampak tak tergoyahkan, kini perlahan-lahan muncul ke permukaan, menebar kecemasan bukan hanya di Beijing, tetapi juga di seluruh dunia. Jika Xi Jinping benar-benar lengser, dampaknya akan sangat luas—mulai dari relasi Amerika Serikat-Tiongkok, stabilitas regional Asia Timur, hingga tatanan geopolitik global.
Para pengamat sepakat: krisis suksesi ini bukan hanya urusan domestik Tiongkok, melainkan juga telah menjadi arena tarik-menarik kepentingan internasional. Presiden AS, Donald Trump, misalnya, disebut tidak hanya sekadar mengamati dari jauh, melainkan aktif menekan dan bahkan mengirimkan sinyal langsung ke lingkaran dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT), memperlihatkan kehendak politik Washington terhadap masa depan kekuasaan di Beijing.
Hilangnya Pejabat Kunci Media PKT: Tanda-tanda Guncangan di Elite Beijing
Salah satu sinyal utama dari instabilitas ini terekam pada laporan eksklusif harian Sing Tao Daily (Hong Kong), 9 Juni 2025. Media ini menyoroti perubahan mencurigakan di situs resmi People’s Daily, corong utama propaganda PKT. Pada laman “Pengenalan Pimpinan”, dua nama pejabat puncak mendadak hilang: Hu Guo (Wakil Presiden People’s Daily) dan Yu Jijun (Sekretaris Jenderal Dewan Redaksi).
Absennya dua sosok penting tersebut memicu spekulasi liar di kalangan pengamat politik Tiongkok. Hu Guo bukan figur sembarangan; dia setingkat wakil menteri dan berperan sebagai arsitek opini publik rezim. Yu Jijun, di sisi lain, kerap disebut sebagai “pengelola besar”—otak di balik banyak kebijakan editorial strategis PKT.
Penghilangan nama mereka secara diam-diam dari situs resmi mengindikasikan adanya pembersihan internal atau “penonaktifan” sebelum pengumuman resmi. Banyak yang mengaitkan hal ini dengan pengaruh politbiro urusan propaganda, khususnya sosok Cai Qi, yang selama ini menjadi tangan kanan Xi Jinping di bidang pengendalian informasi.
Ketidakhadiran Cai Qi dan Isu Retaknya Loyalitas
Ada kejanggalan lain yang menjadi sorotan. Ketika Xi Jinping melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Henan pada Mei lalu, Cai Qi yang menjabat Kepala Kantor Umum (dan notabene penanggung jawab keamanan pribadi Xi) tidak tampak mendampingi. Dalam tradisi PKT, absennya pejabat setingkat Cai Qi saat kunjungan penting adalah hal yang sangat luar biasa—bahkan mencurigakan.
Produser independen Li Jun (forum Elite New Tang Dynasty) mengibaratkan: jika Kepala Kantor Umum menghilang, itu seperti kepala pengawal istana mendadak absen—menandakan ada potensi perebutan kendali atas keamanan “Sang Kaisar”.
Spekulasi pun bermunculan: Apakah Cai Qi sudah berpaling dan bergabung ke faksi anti-Xi? Atau justru dia “diamankan” oleh rival politik, sehingga kehilangan akses langsung ke Xi? Apa pun jawabannya, jelas ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi di jantung kekuasaan Beijing.
Pertemuan Xi Jinping, Lukashenko, dan Dalai Lama: Pesan Simbolis atau Sinyal Bahaya?
Pekan lalu, publik Tiongkok dan internasional dikejutkan dengan munculnya Xi Jinping di taman Fengze Yuan, Zhongnanhai, bertemu Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko dan—yang lebih mengejutkan lagi—Dalai Lama. Dalam sistem PKT, bertemu Dalai Lama adalah tabu berat, karena dianggap separatis.
Pengamat politik senior Wu Jialong menyebut, kejadian ini memperkuat spekulasi bahwa Xi Jinping tengah “dikarantina” atau bahkan “diamankan” oleh faksi internal PKT. Xi tidak menyambut Lukashenko di forum resmi, tanpa bendera nasional, tanpa karpet merah, dan tanpa didampingi politbiro. Bahkan, penerjemah Tiongkok terlihat lebih dominan dalam komunikasi, sementara Xi sendiri tampak pasif.
Sebagai perbandingan, sehari sebelumnya Lukashenko bertemu pejabat PKT lain di tempat resmi, lengkap dengan protokol kenegaraan. Ini memperkuat dugaan bahwa ada kekuatan lain yang kini lebih berkuasa dan sedang mempersiapkan transisi ke kepemimpinan baru.
Putin, Trump, dan “Pengecekan Langsung” terhadap Xi Jinping
Wu Jialong juga menyoroti bagaimana perubahan elite PKT kini diawasi ketat oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Presiden AS, Donald Trump. Di masa lalu, Amerika mengirim senator ke Taipei untuk “mengecek kesehatan” Chiang Ching-kuo secara diam-diam, dengan berjabat tangan dan merekam ekspresi wajah. Kini, Putin mengutus Lukashenko untuk “mengecek kondisi” Xi Jinping—dengan tujuan mengamati langsung respons elite Beijing.
Strategi Tekanan Trump dan Respons Militer Tiongkok
Trump, menurut berbagai analis, secara aktif menekan elite militer PKT. Sanksi visa terhadap keluarga pejabat, terutama pelarangan atau pembatasan visa pelajar—termasuk kepada putri Xi Jinping, Xi Mingze, yang kuliah di Harvard—disebut sebagai pesan langsung kepada lingkaran dalam kekuasaan. Pesan itu jelas: jika Anda tetap mendukung Xi, Anda bisa ikut tumbang; jika memilih menjauh, ada pintu kompromi dengan Barat.
Situasi ini membuat kubu militer Tiongkok, yang selama ini menjadi pilar kekuasaan PKT, kini dalam posisi sulit. Mereka tak ingin menjadi korban konflik besar antara AS-Tiongkok, dan mulai mempertimbangkan jalan selamat jika terjadi perubahan rezim. Sejumlah bocoran intelijen menunjukkan, dukungan militer kepada Xi mulai goyah—dan masa depan kepemimpinan Tiongkok sangat ditentukan oleh sikap tentara.
Ke Mana Arah Suksesi Tiongkok?
Dalam kondisi serba tak pasti, pengamat sepakat bahwa jatuh-bangun elite di Beijing tak hanya akan mengguncang negeri Tirai Bambu, tapi juga bisa memicu perubahan besar di kancah global. Dunia kini menanti: akankah Xi Jinping benar-benar turun? Jika ya, siapa penggantinya, dan bagaimana nasib hubungan Tiongkok dengan Amerika Serikat, Rusia, serta negara-negara besar lain?
Semua pihak kini menahan napas, menanti langkah selanjutnya dari Washington, Moskow, dan tentu saja—militer serta faksi-faksi dalam Partai Komunis Tiongkok sendiri.