Proyek Riset Laut Dalam Misterius Tiongkok-Rusia: Kompetisi Strategis di Dasar Samudra

EtIndonesia. Menjelang pembukaan Konferensi Laut PBB 2025 di Kota Nice, Prancis, pada 9 Juni, edisi akhir pekan harian Le Monde menempatkan isu perlindungan laut sebagai berita utama, menyebutnya sebagai tantangan hidup dan mati bagi umat manusia. Editorial surat kabar tersebut menyoroti makna khusus dari pertemuan kali ini. Namun di saat perhatian internasional tertuju pada ekologi laut, majalah mingguan L’Express justru mengangkat sisi lain dari samudra: persaingan strategis bawah laut antar negara besar, terutama Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat.

Peringatan AS di Shangri-La: Taiwan dalam Bahaya

Editorial L’Express membahas pernyataan tegas Menteri Pertahanan AS dalam Dialog Shangri-La yang baru saja usai di Singapura. Dia memperingatkan bahwa skala manuver militer Tiongkok terus membesar, dengan provokasi terhadap Taiwan yang kini jumlahnya tak terhitung. Menurutnya, bahaya konflik di Selat Taiwan kini benar-benar mengancam dalam waktu dekat.

Peneliti dari lembaga kajian Asia Prancis, 高敬文 (Gaon Kim-wen), menyebut bahwa pernyataan keras itu mencerminkan kekhawatiran Washington bahwa jika perang pecah, artinya strategi pencegahan AS gagal total. Maka dari itu, AS harus tampil tegas demi menjaga kredibilitasnya dalam menghalau Tiongkok.

Meskipun Menteri Pertahanan Tiongkok absen dalam forum tahun ini, Beijing bereaksi cepat dengan menolak keras narasi yang menyamakan hubungan Taiwan dengan model Jerman Timur-Barat, Korea Utara-Selatan, atau Vietnam Utara-Selatan. Artikel L’Express mencatat bahwa:

·        Jerman kini telah bersatu dalam sistem demokratis.

·        Korea tetap terpecah.

·        Vietnam sudah sejak 50 tahun lalu dikuasai oleh rezim komunis.

Taiwan, tegas artikel itu, adalah seperti Ukraina—rakyatnya berharap mempertahankan sistem demokrasi yang mereka miliki.

Di Balik Konferensi Perlindungan Laut: Ketidakhadiran AS dan Kepentingan Tersembunyi

Sementara itu, Le Monde menyoroti bahwa dalam kondisi upaya mitigasi perubahan iklim yang sering gagal, serta multilateralisme yang goyah, kehadiran hampir 60 kepala negara atau pemerintahan dalam Konferensi Laut PBB di Nice patut diapresiasi. Namun, penulis editorial memperingatkan bahwa target pertemuan ini sangat terbatas dan tidak akan menghasilkan kesepakatan konkret terkait komitmen perlindungan laut.

Sebagai tuan rumah, Prancis berharap dapat mendorong lebih banyak negara meratifikasi Perjanjian BBNJ 2023 (untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut di luar yurisdiksi nasional). Namun, ketidakhadiran Amerika Serikat dinilai akan melemahkan dorongan global dalam upaya perlindungan laut.

Samudra dalam Genggaman Strategi Global: Kompetisi di Dasar Laut

Di saat dunia sibuk menyelamatkan ekosistem laut, tiga kekuatan besar—Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia—sudah memulai kompetisi strategis di wilayah paling dalam dari bumi: dasar laut.

Artikel utama L’Express menyoroti keberadaan kapal mata-mata Rusia Yantar yang beberapa waktu lalu muncul di Selat Inggris. Meskipun secara resmi adalah kapal riset oseanografi, kapal ini diyakini memiliki misi intelijen: memata-matai dan mengidentifikasi infrastruktur bawah laut milik negara-negara yang dianggap target strategis oleh Rusia.

Sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina, telah terjadi lebih dari 10 kasus pemutusan kabel bawah laut di Laut Baltik, yang diyakini bukan insiden biasa, melainkan perluasan konflik darat ke bawah laut. Samudra kini menjadi arena strategis yang diperebutkan, tak hanya untuk tujuan militer, tetapi juga untuk eksplorasi sumber daya mineral yang masih tersembunyi di palung terdalam.

“Tembok Bawah Laut” Tiongkok dan Ambisi Globalnya

Tiongkok tidak mau ketinggalan. Dengan angkatan laut yang berkembang pesat, Beijing sedang membangun apa yang disebut sebagai “Tembok Bawah Laut” untuk menghalangi masuknya kapal asing ke perairannya. Seorang narasumber yang tidak ingin disebut namanya mengatakan bahwa Tiongkok kini memiliki sejumlah kapal seperti Yantar, yang diam-diam melakukan pemetaan dasar laut di berbagai kawasan.

Selain itu, Tiongkok terus memperluas jaringan kabel bawah laut secara agresif. Menurut narasumber tersebut:

·        Amerika Serikat masih merupakan pemilik jaringan kabel bawah laut terbesar di dunia.

·        Prancis berada di posisi ketiga.

·        Tiongkok saat ini berada di peringkat ke-10, dan merasa peringkat ini tidak mencerminkan statusnya sebagai kekuatan global.

Amerika Serikat dan Senjata Rahasia Laut Dalam

Meskipun informasi mengenai operasi bawah laut di kawasan Pasifik sangat terbatas, AS diyakini memiliki “senjata rahasia”—kapal selam nuklir kelas Sea Wolf, USS Jimmy Carter, yang mampu mengirim drone laut dalam atau pasukan khusus ke lokasi rahasia.

Namun, detail operasionalnya sangat dirahasiakan. Para ahli menyatakan bahwa hingga kini belum memungkinkan untuk “melihat” drone laut dalam bertenaga nuklir yang berfungsi sebagai sistem pencegah baru. Namun, dengan perkembangan pesat teknologi AI dan kendaraan bawah air nirawak, kemungkinan itu suatu hari akan menjadi kenyataan—entah dalam hitungan tahun atau beberapa dekade ke depan.

Kesimpulan: Ekologi dan Strategi Bertabrakan di Laut Dalam

Sementara Konferensi Laut PBB berusaha menyelamatkan ekosistem laut dan membangun komitmen internasional untuk keanekaragaman hayati, kenyataannya dasar samudra telah berubah menjadi ** medan persaingan strategis** yang dipenuhi kapal mata-mata, operasi intelijen, hingga ekspansi jaringan bawah laut oleh negara-negara besar.

Laut dalam kini bukan hanya tentang ikan, karang, dan terumbu, tapi tentang data, kekuasaan, dan dominasi geopolitik. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS