EtIndonesia. Pada 10 Juni 2025, dunia internasional dikejutkan dengan sebuah fenomena langka di halaman utama People’s Daily, media resmi Partai Komunis Tiongkok (PKT). Wawancara eksklusif dengan Ren Zhengfei—pendiri dan CEO Huawei—dimuat besar-besaran. Ren menyatakan secara terbuka bahwa Huawei “tidak sehebat itu”, bahkan mengaku tertinggal satu generasi dan masih harus banyak berbenah.
Bukan hanya isi pernyataan yang mencuri perhatian, melainkan juga timing dan konteks kemunculannya. Dulu, pernyataan seperti ini bisa mengundang interogasi dari otoritas. Namun kini, justru dipajang di media nasional dengan tajuk mencolok: “Semakin Terbuka Negara, Semakin Mendorong Kami untuk Maju.”
Apa makna di balik narasi ini? Mengapa People’s Daily mengangkatnya ke halaman utama? Dan apa kaitannya dengan perkembangan geopolitik serta dinamika internal di Beijing? Laporan khusus ini mengurai lapis demi lapis drama di balik layar kekuasaan Tiongkok.
Propaganda Baru—“Surat Terbuka” untuk Trump atau Sinyal Krisis?
Sinkronisasi Narasi
Tidak lama sebelum wawancara Ren dipublikasikan, Presiden Trump di Washington secara terang-terangan menuntut keterbukaan dari Tiongkok: “We want to open up China.” Seolah menjawab langsung, keesokan harinya People’s Daily menyorot tema keterbukaan, kali ini bukan lewat pernyataan pejabat pemerintah, melainkan pengusaha.
Apakah ini murni wawancara eksklusif atau sebenarnya surat terbuka terselubung dari PKT kepada AS, yang “ditandatangani” Ren Zhengfei? Sebab, bagi Partai, membiarkan Ren bicara “lembut” di ranah publik jauh lebih elegan ketimbang mengakui kelemahan lewat pejabat negara.
Ren Zhengfei: Antara “Merendah” dan Menjaga Muka
Pernyataan Ren menjadi “topeng” baru: mengaku ketinggalan satu generasi, menepis kecemasan AS, namun tetap menegaskan bahwa Huawei masih punya potensi. Ini strategi komunikasi klasik: self-deprecation—merendahkan diri agar tak lagi dianggap ancaman utama, sembari menanti kelengahan lawan.
Pertarungan di London—Arena Negosiasi AS-Tiongkok
Pertemuan Puncak di Lancaster House
Pada hari yang sama, di Lancaster House, London,Inggris, dua delegasi ekonomi dari AS dan Tiongkok bertemu dalam atmosfer tegang. Delegasi AS dipimpin Menteri Keuangan, Scott Bessent dan Menteri Perdagangan, Howard Lutnick, dengan tim elit negosiator Gedung Putih. Sementara itu, kubu Tiongkok dipimpin Wakil Perdana Menteri, He Lifeng dan Menteri Perdagangan, Bao Wentao.
Trump tidak hadir secara fisik, tetapi tetap mengendalikan arah negosiasi dari Gedung Putih.
“Maybe we won’t do anything, and they’ll kneel,” ucapnya, menegaskan bahwa Tiongkok kini ada di posisi defensif.
Fokus Negosiasi: Rare Earth dan Semikonduktor
Isu utama perundingan adalah logam tanah jarang dan chip semikonduktor. AS mendesak kelonggaran ekspor logam tanah jarang dari Tiongkok, sementara Tiongkok ingin pembatasan teknologi chip dicabut. Namun, AS kali ini mengisyaratkan, bahkan tanpa aksi frontal, Tiongkok pasti akan mengalah pada tekanan pasar.
Tiongkok kini mengubah strategi total: tak lagi mengedepankan slogan “mandiri teknologi”, tetapi memunculkan Ren Zhengfei untuk memberikan sinyal “kami lemah, jangan khawatirkan kami.”
Evolusi Propaganda dan Ilusi Kekuasaan
Pembalikan 180 Derajat dalam Narasi
Dua tahun lalu, saat Huawei meluncurkan Mate 60, propaganda “Tiongkok jauh di depan Amerika” menggema di seluruh negeri. Saat itu, Huawei diangkat menjadi simbol perlawanan dan kebanggaan nasional.
Namun tahun 2025, narasi itu berbalik tajam. Kini, People’s Daily justru menampilkan pengakuan kelemahan. Ini adalah langkah sadar, bukan tanda menyerah, tetapi upaya menurunkan tensi dan mengelabui lawan—agar AS dan kapitalis global tetap mau berbisnis di Tiongkok.
Menghapus Jejak Xi dan Partai
Menariknya, dalam wawancara Ren Zhengfei, kata “Partai Komunis Tiongkok”, “Xi Jinping”, maupun “Sekretaris Jenderal” sengaja dihilangkan dari narasi utama. Hanya sekali, di ujung, disebut “negara di bawah kepemimpinan Partai”—itu pun sangat formal dan nyaris tanpa makna. Ini adalah manuver untuk mengaburkan wajah otoritas: agar tampak bahwa perubahan sudah dimulai, bahwa yang bicara bukan lagi politbiro, melainkan “warga sipil”.
Drama Politik—Kemunculan Xi Mingze dan Ilusi Jamuan Keluarga
Xi Mingze: Simbol atau Sandiwara?
Sementara Ren “merendah” di hadapan publik internasional, media Belarus mengabarkan kemunculan Xi Mingze—putri Xi Jinping yang selama ini seperti “bayangan”—dalam jamuan makan malam keluarga menyambut Presiden Lukashenko.
Narasi yang dibangun: Xi Jinping masih sehat dan memegang kendali, keluarganya tampil utuh dan harmonis. Namun, ketika ditelusuri, jamuan makan keluarga itu ternyata tidak pernah benar-benar terjadi. Rekaman hanya menunjukkan pertemuan formal pagi hari; tidak ada dokumentasi jamuan malam, dan kehadiran Xi Mingze pun tak pernah dikonfirmasi media resmi Tiongkok.
Opini dan Realitas: Pengaburan Fakta
Mengapa perlu sandiwara “jamuan keluarga”? Karena di saat bersamaan, di AS beredar kabar bahwa Xi Mingze tinggal di Amerika, bahkan masih dalam pengawasan otoritas AS. Ini adalah permainan opini untuk menutupi krisis internal di Zhongnanhai—seolah kekuasaan Xi masih kokoh, padahal justru sedang tergerus dari dalam.
Bocoran Intelijen—Xi Jinping Sudah Tersingkir?
Informasi Rahasia dari Rusia
Pada 9 Juni 2025, akun Telegram yang diklaim terafiliasi dengan intelijen luar negeri Rusia, SVR General, membocorkan bahwa Xi Jinping diduga mengalami serangan jantung beberapa waktu lalu dan dua kali kambuh di awal Juni. Lebih jauh, disebutkan bahwa elite PKT mulai menyiapkan transisi kekuasaan.
Moskow sendiri dikabarkan sudah “menghapus” Xi dari daftar mitra negosiasi dan mulai mencari figur pengganti untuk berurusan dengan Beijing.
Washington dan Moskow Sepakat: Era Xi Sudah Berakhir
Trump, bahkan tanpa tindakan nyata, kini merasa cukup percaya diri untuk mengatakan: “Biarkan mereka berubah sendiri.”
Amerika dan Rusia, meski berseberangan secara strategis, tampaknya sepakat—Tiongkok sedang memasuki fase baru tanpa kepastian siapa pemimpinnya.
Penutup—Akhir Ilusi, Awal Babak Baru
Era Xi Jinping telah selesai—bukan lewat pengumuman resmi, melainkan lewat penghapusan namanya dari narasi, media, dan percakapan diplomatik tingkat tinggi.
Kini, wajah-wajah “baru” seperti Ren Zhengfei dan Xi Mingze hanyalah topeng bagi sistem yang sedang berusaha bertahan di tengah badai perubahan global. Tiongkok tengah berupaya mempertahankan stabilitas dan kredibilitas, meski fondasi kekuasaan mereka sudah mulai runtuh dari dalam.
Wawancara di halaman utama People’s Daily, drama jamuan keluarga, hingga pembocoran data intelijen hanyalah potongan-potongan dari skenario besar untuk mengatur transisi kekuasaan tanpa kekacauan terbuka. Tapi satu hal pasti: dunia sedang menyaksikan babak baru sejarah Tiongkok, di mana ilusi tak lagi cukup untuk menutupi krisis nyata di jantung kekuasaan.