EtIndonesia. Situasi geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah sejumlah media Israel mengungkap informasi sensitif terkait transaksi penjualan senjata dan teknologi siber antara Israel dan Qatar. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, disebut-sebut pernah menyetujui penjualan senjata dan perangkat siber senilai lebih dari 100 juta dolar AS kepada Qatar, hanya beberapa bulan sebelum serangan besar-besaran Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.
Yang menarik, transaksi ini terjadi meski kedua negara secara resmi tidak memiliki hubungan diplomatik. Sejumlah analis menilai langkah tersebut merupakan bagian dari upaya Israel memperluas pengaruh regionalnya sekaligus memperkuat jaringan keamanan melalui “jalur belakang” diplomasi, terutama dalam konteks dinamika Timur Tengah yang sangat cair. Namun, seluruh proses transaksi disebut telah dihentikan segera setelah pecahnya perang di Gaza, sebagai respons langsung atas memburuknya situasi keamanan dan semakin kerasnya sikap politik kedua negara.
Perang Gaza: Tekanan Politik AS terhadap Israel
Sementara itu, dinamika hubungan Israel dan Amerika Serikat juga mengalami tekanan tinggi. Sumber di lingkaran pemerintahan Amerika Serikat melaporkan bahwa Presiden Donald Trump, yang kini kembali menjadi tokoh sentral dalam dinamika politik AS, secara pribadi mendesak Netanyahu untuk segera mengakhiri operasi militer Israel di Gaza. Trump juga menekan agar Israel tidak melancarkan serangan langsung ke Iran, demi mendukung tercapainya negosiasi pengendalian nuklir yang saat ini masih berjalan alot.
Tekanan ini tidak hanya datang dari ranah diplomatik, melainkan juga berdampak pada struktur pengambilan kebijakan luar negeri Israel. Gedung Putih dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa sejak intensitas konflik Gaza meningkat, pengambilan keputusan strategis Israel di bidang luar negeri kini diambil alih langsung oleh presiden—bukan lagi di bawah kendali penuh Kementerian Luar Negeri. Langkah ini dinilai sebagai upaya Amerika Serikat untuk memperkuat kontrol terhadap sekutu utamanya di Timur Tengah, sekaligus menjaga stabilitas kawasan di tengah ketidakpastian global.
Insiden Deportasi Greta Thunberg: Ketegangan Diplomatik Baru
Di tengah memuncaknya tensi geopolitik, Israel kembali menjadi sorotan setelah aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, dideportasi oleh otoritas Israel. Peristiwa ini terjadi usai Thunberg bersama tim relawan internasional berupaya menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui jalur laut. Pemerintah Israel menuding aksi tersebut melanggar prosedur dan berpotensi menimbulkan insiden internasional yang lebih besar. Kementerian Luar Negeri Israel pun segera mengambil langkah tegas dengan menahan dan memulangkan Thunberg ke negara asalnya.
Insiden ini segera menarik perhatian dunia internasional. Pihak Kementerian Luar Negeri Israel menyampaikan kekhawatiran mereka atas kemungkinan munculnya kecaman global dan potensi krisis diplomatik baru akibat tindakan tersebut. Sementara itu, Donald Trump yang selama ini dikenal kritis terhadap gerakan lingkungan, dengan tajam mengomentari Greta Thunberg. Dalam pernyataannya, Trump menyebut Thunberg sebagai “orang aneh dan pemarah” yang dianggap tidak membawa solusi nyata atas masalah dunia.
Greta Thunberg sendiri merespons tindakan Israel dengan pernyataan keras di media sosial. Dia menyebut pemulangan paksa yang dialaminya sebagai “penculikan,” dan menegaskan bahwa dunia saat ini justru sangat membutuhkan lebih banyak perempuan muda yang berani bersuara dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan lingkungan. Pernyataan Thunberg ini mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan aktivis di Eropa dan Amerika Serikat.
Dampak dan Analisis: Babak Baru Hubungan Diplomatik Timur Tengah
Sejumlah analis internasional menilai rangkaian peristiwa ini sebagai bukti makin rapuhnya fondasi diplomasi dan aliansi di kawasan Timur Tengah. Penjualan senjata ke Qatar, meski sudah dihentikan, dinilai memperlihatkan rumitnya peta hubungan Israel dengan negara-negara Teluk, terutama saat menghadapi ancaman bersama dari kelompok bersenjata seperti Hamas. Sementara itu, tekanan dari Amerika Serikat, khususnya melalui figur Trump, menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Israel tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Washington.
Di sisi lain, insiden deportasi Greta Thunberg menambah daftar panjang krisis kemanusiaan yang masih terjadi di Gaza. Tindakan tegas Israel menuai pro dan kontra, baik di tingkat domestik maupun internasional, dan dikhawatirkan semakin memperlebar jurang perbedaan antara Barat dan Timur Tengah dalam menyikapi isu kemanusiaan dan lingkungan.
Penutup
Hingga saat ini, perang di Gaza belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Tekanan internasional terhadap Israel semakin kuat, baik terkait kebijakan militernya maupun respons terhadap bantuan kemanusiaan. Di tengah situasi yang semakin kompleks, dunia menanti langkah konkret dari para pemimpin kawasan dan komunitas internasional untuk menuntaskan konflik, membangun perdamaian, serta memastikan bahwa tragedi kemanusiaan tidak lagi berulang di tanah yang penuh sejarah ini.