Trump Restui Pasukan Uighur di Suriah: Ancaman Baru Menghantui Beijing!

EtIndonesia. Konflik Suriah kembali menjadi pusat perhatian dunia internasional setelah kebijakan mengejutkan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun perang saudara, Washington secara resmi memberikan restu kepada rezim baru Suriah, dipimpin Presiden Ahmed al-Sharaa, untuk melakukan restrukturisasi total di bidang militer. Namun, keputusan paling kontroversial adalah terbentuknya Divisi Darat ke-84, pasukan baru yang sebagian besar diisi oleh relawan dari etnis Uighur, bekas petempur yang sebelumnya telah terlibat dalam berbagai pertempuran berdarah di Suriah, termasuk perebutan Kota Aleppo.

Divisi Darat ke-84: Kombinasi Eks Pejuang Uighur dan Kelompok Ekstremis Asia Tengah

Divisi ini bukanlah unit biasa. Dengan kekuatan sekitar 3.500 personel, pasukan tersebut merupakan gabungan dari relawan Uighur dan berbagai kelompok ekstremis dari Asia Tengah yang selama ini berperan dalam konflik Suriah. Jejak mereka di Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, memperkuat reputasi mereka sebagai salah satu kelompok petempur paling militan di kawasan. Kini, dengan legitimasi politik dan militer dari rezim Sharaa, mereka mendapatkan tempat resmi di tubuh militer Suriah.

Kebijakan ini segera memicu gelombang reaksi keras di dunia internasional. Banyak yang menilai langkah Amerika ini menandai pergeseran besar dalam kebijakan luar negeri Washington terhadap Suriah—dari sanksi keras dan blokade internasional, kini berbalik arah dengan pencabutan sanksi, menyambut rezim baru, hingga memberi ruang bagi kelompok bersenjata Uighur untuk berkembang. Namun, Gedung Putih memberikan satu syarat utama: Suriah di bawah Ahmed al-Sharaa harus membersihkan seluruh milisi asing di wilayahnya.

Imbalan Politik dan Ekonomi: Kontrol Minyak dan Gas Suriah untuk Amerika

Sebagai bentuk balasan atas restu Amerika, rezim Ahmed al-Sharaa dikabarkan memberikan akses penuh kepada perusahaan-perusahaan Amerika dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas di Suriah. Langkah ini dianggap sebagai transaksi politik yang saling menguntungkan namun memicu reaksi negatif dari negara-negara besar lain, terutama Tiongkok.

Tiongkok Resah: Peringatan di Dewan Keamanan PBB

Tak butuh waktu lama bagi Beijing untuk menyatakan sikap. Di awal Juni, Wakil Tetap Tiongkok untuk PBB, Fu Cong, secara terbuka menyampaikan keprihatinan mendalam dalam sidang Dewan Keamanan. Beijing menyoroti secara khusus kebijakan Suriah yang merekrut kelompok ekstremis asing, terutama para anggota Kelompok Turkistan Timur (ETIM) atau Uighur Xinjiang. Menurut Tiongkok, kehadiran kelompok ini bukan hanya mengancam stabilitas Suriah, namun juga menimbulkan ancaman lintas batas bagi kawasan Asia Tengah, khususnya keamanan nasional Tiongkok sendiri.

Suriah: Transit dan Basis Baru Kelompok ETIM

Sejak lama, ETIM memang menjadikan Suriah sebagai basis transit dan tempat rekrutmen. Namun, sejak awal 2025, kelompok ini semakin mendapatkan perlindungan dan legitimasi, baik secara politik maupun militer dari pemerintah baru Suriah. Para ahli menilai, hal ini mengukuhkan posisi kelompok Uighur sebagai aktor penting di panggung konflik kawasan, sekaligus membuka peluang baru bagi jaringan ekstremis lintas negara.

Amerika dan Rusia Mundur, Suriah Masuk Zona Abu-abu

Di tengah perubahan besar ini, Amerika Serikat dan Rusia hampir bersamaan mengumumkan penarikan pasukan dari Suriah. Kedua negara hanya menyisakan beberapa pos militer di wilayah strategis. Kekosongan kekuasaan yang terjadi membuka peluang baru bagi kelompok-kelompok bersenjata lokal dan asing untuk memperkuat posisi mereka.

Respons Tiongkok: Perkuat Keamanan, Bangun Aliansi

Menyadari ancaman yang semakin nyata, Pemerintah Tiongkok merespons dengan memperketat pengamanan di wilayah perbatasan Xinjiang. Langkah-langkah yang diambil antara lain:

  • Meningkatkan sistem anti-terorisme dan memperkuat patroli di sepanjang perbatasan,
  • Membangun kemampuan intelijen dan sistem peringatan dini untuk mencegah infiltrasi kelompok ekstremis,
  • Mempererat koordinasi multilateral melalui forum-forum internasional seperti PBB dan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) bersama Rusia dan Iran untuk mengatasi ancaman lintas batas secara bersama.

Para analis menilai, Tiongkok kini berada dalam posisi sulit, menghadapi tekanan politik dan ekonomi ganda—di luar negeri harus berhadapan dengan kebijakan negara-negara besar seperti Amerika, sementara di dalam negeri juga menghadapi kritik dan protes dari kelompok masyarakat sipil yang menyoroti masalah penindasan terhadap etnis Uighur di Xinjiang.

Ancaman Langsung terhadap Beijing

Yang membuat Beijing semakin waspada, Divisi ke-84 berbasis Uighur ini secara terbuka pernah menyatakan keinginan untuk “kembali ke Tiongkok” dan membawa perlawanan bersenjata melawan pemerintah pusat. Bagi Partai Komunis Tiongkok, pernyataan ini menjadi peringatan nyata bahwa ancaman ekstremisme bersenjata dapat sewaktu-waktu masuk ke wilayah mereka sendiri—sebuah tantangan terbesar dalam satu dekade terakhir.

Kesimpulan:
Situasi terbaru di Suriah memperlihatkan pergeseran dramatis dalam peta geopolitik regional. Langkah Amerika Serikat memberi legitimasi kepada kelompok Uighur dan restrukturisasi militer Suriah di bawah Bashar al-Shara dinilai akan mengubah keseimbangan kekuatan di Timur Tengah dan Asia Tengah. Tiongkok, yang selama ini menaruh perhatian besar terhadap isu Xinjiang, kini dihadapkan pada ancaman baru yang nyata, baik secara politik, ekonomi, maupun keamanan nasional. Seluruh perkembangan ini diprediksi akan menjadi topik panas di berbagai forum internasional dalam waktu dekat.

FOKUS DUNIA

NEWS