Trump Tak Percaya Janji Xi Jinping! Hari Kedua Perundingan AS-Tiongkok di London Ungkap Retakan “Perang Dingin Baru”

EtIndonesia. Pada 9 Juni, delegasi dagang dari Amerika Serikat dan Tiongkok memulai babak baru perundingan langsung di Lancaster House, London, Inggris,  sebagai tindak lanjut dari pembicaraan telepon antara Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping. Meski kedua negara masih terjebak dalam berbagai perbedaan struktural yang dalam, mereka menunjukkan sinyal niat kompromi terbatas, terutama terkait ekspor logam tanah jarang dan pelonggaran pengendalian teknologi tinggi.

Menurut pejabat pemerintahan Trump, AS bersedia mempertimbangkan pelonggaran ekspor teknologi tertentu sebagai imbalan jika Tiongkok melonggarkan pembatasan ekspor logam tanah jarang dan produk magnet turunannya.

Hari Kedua: Logam Tanah Jarang Jadi Kartu Tawar, Trump: “Mereka Tidak Mudah Dihadapi”

Delegasi AS dipimpin oleh Menteri Keuangan, Scott Bessent, Menteri Perdagangan, Howard Lutnick, dan Perwakilan Dagang, Jamieson Greer. Sementara dari pihak Tiongkok, delegasi dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri, He Lifeng. Meskipun pertemuan hari pertama berlangsung lebih dari enam jam dan digambarkan “beratmosfer positif”, tidak ada kesepakatan resmi yang ditandatangani.

Pada 10 Juni, Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick menyatakan kepada media bahwa pembicaraan hari kedua berjalan lancar, dengan fokus pada upaya menghindari eskalasi menuju babak baru perang dagang.

“Kemarin kami berbicara sepanjang hari, dan saya rasa hari ini pun akan sama. Pembicaraan terus berlangsung positif,” ujar Lutnick.

Presiden Trump sendiri menyatakan dalam wawancara di Gedung Putih: “Kami mencatat beberapa kemajuan dengan Tiongkok. Mereka memang sulit diajak berunding, tapi saya pikir pembicaraan kali ini akan berjalan cukup baik.”

Namun, Trump menolak membeberkan rincian kesepakatan, sementara penasihat ekonomi utamanya, Kevin Hassett, secara terbuka menyatakan bahwa AS siap melonggarkan beberapa kontrol ekspor, asalkan Tiongkok sepenuhnya memulihkan pasokan tanah jarang.

“Kami berharap usai ‘jabat tangan’ di London, akan ada pelonggaran dari pihak kami, dan pembukaan ekspor dari pihak mereka,” ujar Hassett.

Meski demikian, Hassett menegaskan bahwa chip AI canggih seperti Nvidia H20 tetap berada dalam daftar larangan ekspor, sementara chip dan produk teknologi lainnya mungkin akan dipertimbangkan untuk dilepas.

Pelonggaran Tiongkok Masih Terbatas, AS Khawatir “Pemberian Izin Pilihan”

Pihak Tiongkok menyatakan telah mengeluarkan beberapa izin ekspor logam tanah jarang, namun tidak mengungkapkan rincian secara terbuka. Media resmi Tiongkok, Xinhua, menegaskan bahwa kontrol ekspor tersebut “sah dan rasional”, bukan upaya balasan terhadap AS.

Kementerian Perdagangan Tiongkok mengklaim bahwa langkah tersebut didasari oleh peningkatan permintaan global dalam industri energi baru dan teknologi pintar.

Namun, menurut sejumlah pejabat AS, Tiongkok masih menjalankan strategi “persetujuan selektif”, yakni menyetujui ekspor hanya untuk perusahaan atau produk tertentu, dengan batas waktu pendek dan volume terbatas. Reuters melaporkan bahwa izin ekspor hanya diberikan kepada beberapa pemasok perusahaan AS seperti GM, Ford, dan Stellantis, dengan masa berlaku hanya enam bulan.

Ekspor Dijadikan Senjata: Strategi “Cekik Leher” Beijing

Banyak analis menilai bahwa Tiongkok telah menjadikan ekspor sebagai alat tekanan geopolitik, dengan logam tanah jarang sebagai senjata utama dalam konflik perdagangan.

Andrew Gilholm, analis senior di perusahaan “Control Risks”, menyebut: “Tiongkok kini memiliki posisi tawar yang luar biasa melalui kontrol ekspor. Mereka bisa menekan negara-negara tertentu secara selektif. Ini kekuatan negosiasi yang belum pernah ada sebelumnya.”

Tiongkok menguasai sekitar 90% produksi global magnet tanah jarang, bahan vital bagi motor mobil listrik, radar militer, hingga smartphone. Menurut laporan Gavekal Dragonomics, Beijing telah membangun rantai pasok terintegrasi dari penambangan hingga aplikasi teknologi tinggi, yang kini digunakan sebagai kartu tawar strategis.

AS Pertimbangkan Longgarkan Embargo Teknologi—Kecuali untuk AI Canggih

Pemerintahan Trump juga mengisyaratkan perubahan taktis dalam kebijakan pembatasan teknologi ekspor. Menurut Hassett, AS dapat mencabut larangan terhadap perangkat lunak desain chip, material industri, dan produk energi dalam beberapa minggu ke depan.

Namun, chip AI canggih seperti Nvidia H20 tetap masuk dalam daftar hitam, karena dikhawatirkan dapat memperkuat kapabilitas militer dan AI Tiongkok. Dalam laporan The Wall Street Journal, disebutkan bahwa AS juga menekan Jepang dan Belanda untuk membatasi penjualan peralatan fabrikasi chip ke Tiongkok, menambah ketegangan dalam dialog dagang ini.

Pemerintah dan media resmi Tiongkok menyebut langkah-langkah AS sebagai “tidak tulus” dan “unilateral”, serta mengecam penggunaan kontrol ekspor sebagai alat politik.

Perselisihan Struktural Tak Kunjung Reda

Selain isu logam tanah jarang dan teknologi, masih banyak titik konflik lain antara AS dan Tiongkok, seperti tarif, keamanan data, pengawasan keuangan, dan subsidi industri.

Meski dalam pertemuan Mei di Jenewa kedua negara menyepakati gencatan senjata tarif sementara, dengan penurunan tarif AS dari 145% ke 30% dan Tiognkok dari 25% ke 10%, krisis kepercayaan masih membayangi.

Daniel Russel, Wakil Presiden Asia Society Policy Institute untuk Keamanan Internasional, menilai bahwa Beijing akan menuntut AS melonggarkan ekspor semikonduktor canggih dan teknologi kedirgantaraan untuk program pesawat komersial C919.

Perundingan ini digelar di tengah memburuknya hubungan ekonomi bilateral. Menurut data Biro Sensus AS, perdagangan langsung AS-Tiongkok dari Januari hingga April tahun ini turun seperempat dibanding periode sama 2022. Sementara itu, jumlah visa bisnis dan turis yang dikeluarkan Kedubes AS di Beijing hanya 19.109, turun 45% dibandingkan April 2017.

Jabat Tangan Mungkin Terjadi, Tapi Kolaborasi Tetap Sulit

Seiring berjalannya hari kedua perundingan, apakah konsensus teknis terkait pelonggaran ekspor dan normalisasi pasokan rare earth dapat tercapai masih menjadi tanda tanya besar.

Namun secara fundamental, kedua negara masih terjebak dalam konfrontasi struktural yang mendalam. Bahkan jika terjadi “jabat tangan”, peluang kerja sama jangka panjang tetap suram.

Pertarungan di bidang rare earth dan teknologi hanyalah permukaan dari kompetisi strategis AS-Tiongkok yang semakin luas. Di tengah persaingan geopolitik, perbedaan sistem, dan perebutan pengaruh global yang semakin tajam, perundingan London mungkin bisa meredakan ketegangan sesaat—tetapi belum tentu dapat mengakhiri “Perang Dingin Baru” yang kini tengah berlangsung. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS