EtIndonesia. Media militer resmi Partai Komunis Tiongkok (PKT) tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda adanya “perhitungan” atau upaya mempertanggungjawabkan serangkaian kebijakan yang diambil oleh Xi Jinping. Sejumlah laporan investigatif mulai beredar, membeberkan berbagai titik balik yang menjadi kunci hilangnya pengaruh dan kekuasaan Xi di tengah krisis global yang terus berkembang. Situasi ini diyakini menjadi titik awal dari perubahan besar dalam hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok.
Perang Timur Tengah Memanas: Israel Serang Iran, Dunia di Ambang Krisis Baru
Di tengah ketegangan yang terus meningkat di kawasan Timur Tengah, dunia dikejutkan oleh langkah dramatis Israel yang, pada dini hari 13 Juni, melancarkan serangan udara terkoordinasi ke berbagai sasaran strategis di Iran. Serangan ini dinilai sebagai salah satu operasi militer terbesar dan paling berani Israel dalam beberapa dekade terakhir.
Bagi para analis geopolitik, situasi ini memberikan celah penting bagi Donald Trump— Presiden AS yang kembali mendominasi panggung politik dunia—untuk menekan Tiongkok melalui jalur baru. Dalam perundingan intens antara AS dan Tiongkok yang digelar di London, terlihat jelas bagaimana Beijing berusaha menekan komunitas global dengan ancaman pemanfaatan pasokan logam tanah jarang sebagai senjata diplomasi dan ekonomi. Namun, strategi ini dinilai hanya efektif dalam jangka waktu singkat.
Di saat yang sama, baik Rusia maupun Ukraina kini cenderung merapat ke AS dalam urusan logam tanah jarang. Sejak Maret lalu, Presiden Rusia, Vladimir Putin telah secara terbuka menawarkan kerjasama di bidang mineral strategis tersebut kepada AS. Di sisi lain, Ukraina juga telah menandatangani perjanjian pertambangan logam tanah jarang dengan Washington.
Strategi Trump: Redam Perang Dagang, Bangun Rantai Pasok Baru
Trump tampaknya memilih untuk meredakan eskalasi perang dagang dengan Tiongkok—sementara fokus membangun kembali rantai pasok tanah jarang yang lebih stabil. Para pengamat menilai, jika AS mampu mengamankan posisi di Iran melalui manuver strategis Israel, maka salah satu “lengan” penting Tiongkok dalam geopolitik dunia akan benar-benar diputus.
Sebelum eskalasi terbaru, Israel telah berhasil menumpas sejumlah kekuatan yang berafiliasi dengan Iran—termasuk Hamas di Gaza, kelompok milisi di Pulau Mutiara, dan pemberontak Houthi di Yaman. Semua keberhasilan ini membuka jalan strategis bagi Israel untuk akhirnya melakukan serangan langsung ke jantung kekuatan Iran. Trump disebut-sebut memberikan “lampu hijau” bagi langkah Israel tersebut.
Pada dini hari 13 Juni, Israel melancarkan Operasi Rising Lion —sebuah operasi militer besar-besaran yang menggabungkan serangan rudal, drone, dan jet tempur ke sejumlah target di Iran. Serangan udara besar pertama dilaporkan menghantam kawasan sekitar Teheran tepat pukul 3 pagi. Cuplikan video di media sosial menampilkan langit malam yang diterangi kobaran api dan asap pekat membumbung tinggi, menandakan dampak serangan yang sangat dahsyat.
Hanya dalam beberapa jam, Angkatan Udara Israel tercatat telah melakukan sedikitnya lima gelombang serangan berturut-turut, menargetkan instalasi-instalasi vital Iran.
Fasilitas Uranium Natanz Lumpuh, Tiga Tokoh Kunci Iran Jadi Sasaran
Pejabat dari Badan Energi Atom Iran mengkonfirmasi pada 13 Juni bahwa fasilitas pengayaan uranium Natanz mengalami kerusakan parah. Fasilitas ini adalah pusat pengayaan uranium terbesar dan paling vital di Iran—bukan reaktor nuklir konvensional biasa, melainkan jantung dari seluruh program nuklir Iran yang selama ini menjadi sorotan dunia. Natanz secara historis memang telah lama menjadi target utama operasi rahasia Israel dan sekutunya.
Selain Natanz, terdapat tiga tokoh kunci Iran yang dilaporkan menjadi target langsung:
- Hossein Salami – Komandan Garda Revolusi Iran (IRGC)
- Mohammad Bagheri – Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran
- Brigjen Amir Ali Hajizadeh – Komandan Pasukan Dirgantara IRGC
Kabar yang beredar menyebutkan bahwa ketiganya menjadi korban “serangan pemenggalan kepala” (decapitation strike) oleh Israel—yaitu operasi militer terarah untuk membunuh para tokoh utama musuh. Netizen internasional pun menyoroti kehebatan Israel dalam melaksanakan pembunuhan presisi terhadap target-target penting. Salah satu gelombang serangan Israel juga dilaporkan secara khusus menargetkan sistem radar serta pertahanan udara yang tersebar di seluruh Iran, mengakibatkan kebutaan sementara sistem pertahanan Iran dari serangan susulan.
Respons Amerika Serikat dan Ancaman Balasan Iran
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak terlibat dalam serangan langsung ke Iran dan memperingatkan Teheran agar tidak mencoba membalas kepada AS. Namun, Iran tetap bersumpah akan membuat Israel dan Amerika membayar mahal atas agresi ini. Pernyataan keras dari berbagai pejabat Iran mengindikasikan bahwa kawasan Timur Tengah masih jauh dari stabilitas, dan justru akan memasuki fase krisis yang lebih eksplosif dalam waktu dekat.
Dalam pidato nasional di televisi, Letjen Emil Zamir selaku Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel memperingatkan bahwa respons Iran kali ini bisa sangat berbeda dari yang sebelumnya.
“Bangsa Yahudi kini kembali berada dalam perang untuk kelangsungan hidup. Kita sedang menghadapi pertempuran bersejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tegasnya.
Keseimbangan Kekuatan Militer: Siapa Lebih Unggul?
Jika berbicara soal jumlah rudal, Iran memang punya keunggulan numerik—rudal mereka mampu menjangkau seluruh wilayah Israel, bahkan berpotensi membanjiri sistem pertahanan udara lawan. Namun, dalam hal akurasi, teknologi, dan presisi, rudal Iran masih tertinggal jauh dari Israel. Sistem pertahanan udara milik Iran sendiri juga terbukti belum mampu menahan serangan jet tempur Israel yang menggunakan teknologi stealth mutakhir.
Selain itu, Israel memiliki cadangan “senjata pamungkas”: kekuatan nuklir yang menjadi deterrent utama di kawasan.
Kini, perhatian dunia terfokus pada satu pertanyaan besar: Jika Iran membalas, apakah Amerika Serikat akan turun tangan langsung membantu Israel? Skenario inilah yang tengah dicermati oleh seluruh pemangku kepentingan global.
Beberapa analis menyebut, serangan Israel kali ini melibatkan penggunaan jet tempur F-35 dengan misi membunuh para ilmuwan nuklir serta tokoh-tokoh militer Iran secara terarah. Langkah ini menandai perubahan besar dalam pola hubungan AS-Israel sejak era Trump. Jika konflik terus bereskalasi, tidak menutup kemungkinan AS akan kembali menambah kekuatan militer secara besar-besaran di kawasan Timur Tengah.
Namun, menurut Su Tzu-yun, Direktur Institut Strategi dan Sumber Daya Pertahanan, kemungkinan besar konflik ini tidak akan berlangsung lebih dari dua hingga tiga hari, meski tetap berpotensi memicu perubahan geopolitik besar. Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional Taiwan, Chen Shih-min, juga menyampaikan analisis serupa tentang kemungkinan perkembangan situasi.
Dampak Terhadap Tiongkok: Kegelisahan di Beijing dan Ketakutan Para Jenderal
Krisis di Timur Tengah ini tidak hanya membuat Iran dan Israel waspada, namun juga mengguncang Beijing. Banyak netizen bertanya-tanya, bagaimana mungkin begitu banyak jenderal tinggi Iran bisa terdeteksi dan dilenyapkan dalam satu malam—apakah intelijen Barat sudah sedemikian canggih? Kekhawatiran ini kini juga menghantui para jenderal Tiongkok, yang mendadak merasa rentan di tengah ketidakpastian situasi global. Bahkan, ada yang berseloroh, Xi Jinping pun mungkin mulai merasa “dingin di sauna” melihat perkembangan situasi.
Di sisi lain, pukulan terhadap Iran berpotensi memecah konsentrasi strategi Beijing—terutama karena Tiongkok sangat bergantung pada pasokan minyak dari Iran. Jika rantai pasok minyak terganggu, strategi pertahanan dan ekspansi militer Beijing bisa menjadi berantakan.
Lebih jauh lagi, serangkaian bocoran informasi dari internal Partai Komunis Tiongkok mengindikasikan bahwa di dalam negeri sendiri, sedang berlangsung perubahan besar. Militer dan elite partai kini sibuk dengan agenda masing-masing, menambah ketidakpastian di tengah pusaran krisis global.