EtIndonesia. Sebuah kasus lama yang selama ini sengaja ditutup rapat kembali digulirkan ke permukaan. Kematian mendadak mantan Perdana Menteri Partai Komunis Tiongkok, Li Keqiang, yang selama ini dianggap sebagai insiden tertutup, kini diangkat lagi ke panggung politik nasional.
Isu ini kembali memanas setelah seorang narasumber membongkar pernyataan mengejutkan melalui kanal video Lao Deng, mengklaim memiliki rekaman lengkap seluruh proses kematian Li Keqiang—mulai dari siapa yang memerintah, siapa yang mengeksekusi, hingga siapa yang menutupi jejak setelahnya. Narasi yang diangkat bahkan menggambarkan insiden ini sebagai operasi “pembersihan terarah”, bukan sekadar kecelakaan atau kematian alamiah.
Mengapa Isu Ini Diangkat Sekarang?
Kematian Li Keqiang terjadi pada Oktober 2023. Menurut tradisi politik Partai Komunis Tiongkok (PKT), kasus semacam ini biasanya sudah lenyap dari memori publik setelah setengah tahun berlalu. Namun, menjelang Sidang Paripurna Keempat PKT pada Juni 2025—sebuah peristiwa politik krusial—isu ini justru sengaja dihidupkan kembali. Yang diangkat bukan sekadar rumor, melainkan tudingan terarah yang menyasar eksekutor, prosedur persetujuan, hingga kontrol di lapangan.
Langkah ini tidak mungkin terjadi tanpa ada “restu” atau bahkan dorongan dari kelompok berkepentingan di internal elite PKT. Siapa yang berani menggali isu kematian seorang mantan perdana menteri, jika tidak ada jaminan atau perlindungan politik dari dalam? Isu ini secara tersirat menjadi peringatan keras kepada Presiden Xi Jinping: “Jika Anda tidak mundur secara sukarela, maka Anda akan dijatuhkan dengan cara yang jauh lebih memalukan.”
Inilah bagian dari perang informasi yang terorganisir rapi: pertama, akun-akun pembocor di luar negeri melempar isu sebagai “bom emosi”; selanjutnya, narasi itu bergulir liar di media sosial domestik, sementara media partai memilih bungkam. Efeknya pun cepat terasa—legitimasi kepemimpinan mulai goyah, dan emosi publik menjadi sangat mudah digerakkan.
Kini, Li Keqiang bukan sekadar sosok yang telah tiada, melainkan telah diubah menjadi instrumen politik—sebagai “bom pembuka” untuk mengguncang struktur kekuasaan Tiongkok. Bahkan jika kebenaran isinya diragukan, efek politik yang dihasilkan dari pola operasi seperti ini tidak dapat diabaikan. Jika seorang perdana menteri saja dapat “dilenyapkan” secara teknis, adakah lagi batasan bagi rezim yang sedang berkuasa?
Arwah Li Keqiang bukan datang menuntut balas, melainkan dijadikan senjata politik yang diarahkan tepat ke jantung kekuasaan di Zhongnanhai, pusat pemerintahan Tiongkok.
Pergolakan Besar: Perpecahan dan Rombakan Militer
Namun sesungguhnya, pertarungan besar justru terjadi di ranah militer. Sejak awal Juni, Zhang Youxia—Wakil Ketua Komisi Militer Pusat (CMC)—memimpin serangkaian rapat tertutup yang sangat intens selama lebih dari sepuluh hari berturut-turut. Rapat ini bukan pertemuan biasa; seluruh pimpinan inti dari setiap matra (AD, AL, AU, dan Pasukan Roket) diwajibkan hadir langsung. Sumber seperti Yao Cheng, seorang mantan perwira yang kini aktif di media sosial, menyebut ini sebagai “perang besar reformasi militer” yang sesungguhnya.
Anehnya, tidak satu pun kepala dari lima Komando Wilayah (wilayah perang) diundang. Padahal, sistem wilayah perang adalah “mahkota” reformasi militer Xi Jinping. Ia membubarkan tujuh distrik militer besar, lalu membentuk lima wilayah perang, dengan dalih efisiensi dan sentralisasi kekuatan, padahal tujuan utamanya memperkuat kontrol pusat dan melemahkan kekuatan daerah.
Setelah beberapa tahun berjalan, semua menyadari: wilayah perang hanyalah “stempel karet”—tidak lagi punya kekuatan operasional. Sebelumnya, misalnya, distrik militer Nanjing mengendalikan operasi militer dan personel di enam provinsi besar layaknya “pemerintahan kecil”. Namun setelah reformasi, semua rantai komando diputus dan dialihkan ke pusat; wilayah perang kini tak lebih dari harimau ompong yang harus menunggu izin pusat untuk bertindak—dan biasanya, ketika izin datang, perang sudah kalah lebih dulu.
Lebih buruk lagi, struktur empat markas besar (Staf Umum, Politik Umum, Logistik Umum, Perlengkapan Umum) juga dibubarkan dan dipisah menjadi 15 departemen terfragmentasi, menambah lapisan birokrasi dan kekacauan.
Hasilnya: Tentara PKT ibarat bubur kacau yang kehilangan tulang punggung.
Kini, Zhang Youxia bergerak melawan arus. Ia mengabaikan struktur wilayah perang dan secara langsung mengumpulkan pimpinan tiap matra untuk membahas kemungkinan membubarkan sistem wilayah perang, mengembalikan tujuh distrik militer besar, membangun kembali empat markas besar, dan menyusun ulang rantai komando tempur. Ini bukan sekadar penyesuaian organisasi, melainkan penolakan terang-terangan terhadap “legitimasi” inti reformasi militer Xi Jinping.
Mengapa Zhang Youxia berani? Karena di internal militer sudah tercapai konsensus: wilayah perang adalah hambatan politik, bukan unit tempur efektif. Empat markas besar adalah struktur tempur sejati. Bila sebelumnya “loyalitas politik mutlak” kepada Xi adalah syarat utama, kini yang dibutuhkan adalah “efisiensi militer mutlak”.
Uniknya, mekanisme pengambilan keputusan dalam rapat ini lebih terbuka: rancangan dipaparkan, masukan dan saran didengar. Para perwira senior mulai aktif memberikan pendapat soal promosi, personalia, dan struktur organisasi—bahkan ada mekanisme bawahan memberi saran terbuka pada atasan. Ini menandai cikal bakal “mekanisme semi-demokratis” dalam tubuh militer. Praktik lama, di mana istri Xi, Peng Liyuan, bisa bertindak sebagai “ahli personalia militer”, diam-diam sudah dicabut.
Langkah Zhang Youxia ini bukan sekadar soal struktur, tapi juga pesan kuat: Tentara adalah alat bersenjata partai, bukan milik keluarga Xi. “Jangan gunakan dalih reformasi untuk melumpuhkan tentara!”
Akar Masalah: Krisis Ekonomi dan Legitimasi
Akar seluruh permasalahan terletak pada krisis ekonomi yang kian parah. Dulu, pada era Deng Xiaoping, reformasi dan pemangkasan besar-besaran di tubuh militer dilakukan karena yakin tidak ada ancaman perang dunia dalam waktu dekat, sehingga sumber daya negara dapat dialihkan ke sektor ekonomi.
Kini, ekonomi Tiongkok nyaris kolaps: rakyat semakin banyak yang kelaparan, gaji pegawai negeri sipil tidak terbayar, stabilitas sosial berada di ujung tanduk. Implikasi politiknya sangat jelas—Sidang Paripurna Keempat diprediksi akan mengubah strategi nasional dengan menempatkan pemulihan ekonomi sebagai prioritas mutlak, menggantikan agenda militerisasi yang selama ini digembar-gemborkan.
Isu lain yang tak kalah penting adalah “pemulihan kehormatan”. Dalam rapat besar militer, dibahas juga peninjauan ulang terhadap kasus perwira yang dikorbankan atau difitnah selama operasi anti-korupsi era Xi. Banyak keluarga jenderal dari AL, AU, dan satuan internal yang berulang kali mengadu ke pusat, bahkan sampai nekat menuntut keadilan di depan markas militer. Zhang Youxia kini turun tangan sendiri.
Siapa yang Memberi Lampu Hijau untuk Zhang Youxia?
Zhang Youxia, sebagai Wakil Ketua Komisi Militer, meskipun anak jenderal legendaris, tidak mungkin mengambil keputusan sebesar ini—menghapus sistem wilayah perang dan membangun ulang struktur lama—tanpa restu langsung dari pemimpin tertinggi PKT.
Artinya, jika benar Zhang Youxia menjalankan rencana besar ini, pasti ada kekuatan “senjata pamungkas” yang memberinya jaminan. Namun, hampir pasti orang itu bukan Xi Jinping, sebab reformasi militer adalah “mahkota karya” Xi sendiri. Hanya jika Xi Jinping sudah kehilangan kekuasaan nyata, Zhang Youxia bisa bertindak sebebas ini.
Inilah yang menjadi fokus pengamat politik dalam beberapa minggu terakhir: tanda-tanda kehilangan kekuasaan nyata di tangan Xi Jinping.
Pemakaman yang Membongkar Perpecahan Elit
Akar perpecahan militer dan politik ini nyata terlihat dalam upacara pemakaman jenderal senior Xu Qiliang pada 8 Juni di Beijing. Dalam budaya politik Tiongkok, upacara semacam ini biasanya menjadi ajang persatuan: para senior pamit, kubu baru memberi hormat. Namun yang terjadi justru kekacauan: mantan Presiden Hu Jintao menolak hadir, Peng Liyuan dilarang muncul, dan Xi Jinping berdiri sendiri di depan peti jenazah, menangis sendirian.
Bagi pengamat politik, ini bukan sekadar duka, tapi simbol kehancuran politik yang terbuka:
- Xi kehilangan tumpuan di militer sepeninggal “saudara tua”-nya,
- Di partai, ia sudah tidak punya pijakan, para senior menjauh, junior tak sudi menoleh,
- Penyesalan mendalam karena tak mengambil tindakan tegas pada Kongres XX, hingga kini situasi benar-benar di luar kendali.
Xu Qiliang bukan sekadar mantan Wakil Ketua Komisi Militer berlatar belakang AU; ia juga jembatan keluarga Xi di militer—membawa Zhong Shaojun ke Zhongnanhai, mendukung Peng Liyuan ke posisi strategis. Kini seluruh jaringan itu putus: Zhong Shaojun tersingkir, Peng Liyuan disingkirkan, Xu Qiliang wafat mendadak—struktur kekuasaan keluarga benar-benar runtuh.
Manuver “Kudeta Dingin” dan Strategi Krisis
Hu Jintao memilih absen bukan demi mempermalukan Xi, melainkan demi menjaga “momen elegan” dan menahan gejolak. Hu tahu, ini bukan waktu membalas dendam atau menggulingkan Xi secara brutal, sebab itu justru memicu keruntuhan sistem secara total. Strateginya: biarkan Xi tetap jadi kepala negara “boneka” untuk urusan diplomasi, sementara semua kendali partai, militer, dan keuangan diserahkan ke sistem. Ini bukan soal belas kasihan, melainkan perhitungan politik matang demi stabilitas.
Sebagian orang menganggap Hu akhirnya membalas dendam setelah dipermalukan di Kongres XX. Kenyataannya, yang menyelamatkan kapal merah PKT agar tidak karam adalah Hu, bukan sebagai “pendendam”, melainkan “teknisi” krisis internal yang menstabilkan tekanan—satu sisi membongkar kekuasaan Xi, sisi lain menopang keseimbangan baru militer dan pemerintahan.
Itulah sebabnya Zhang Youxia bisa menggelar rapat militer besar, Hu Chunhua kembali ke panggung politik, Wang Yang serta para pensiunan senior mulai aktif lagi. Ini bukan sekadar “comeback”, tetapi terbentuknya “tim intervensi krisis”.
Tujuan utama mereka sederhana: jangan biarkan kapal ini tenggelam, meski harus membiarkan Xi Jinping tampil sebagai presiden “bayangan”.
Kesimpulan: Tiongkok di Persimpangan Jalan
Drama politik kematian Li Keqiang hanyalah permukaan dari pergolakan yang jauh lebih dalam di tubuh Partai Komunis dan militer Tiongkok. Dalam pusaran krisis legitimasi, runtuhnya struktur reformasi, dan anjloknya ekonomi, negeri tirai bambu kini berada di persimpangan jalan paling berbahaya sejak era Tiananmen. Jika Xi Jinping benar-benar telah kehilangan kendali riil, maka babak baru sejarah Tiongkok siap ditulis, diwarnai oleh manuver-manuver “kudeta dingin” tanpa kekerasan terbuka, namun dengan efek yang tak kalah dahsyat.
Kasus kematian Li Keqiang—benar atau salah—telah menjadi simbol: siapapun bisa dikorbankan, sistem bisa dibongkar ulang, dan sejarah bisa berubah arah secara dramatis hanya dalam hitungan bulan. (***)