Seiring dengan penurunan ekonomi Tiongkok, tingginya biaya membesarkan anak, biaya pernikahan yang mahal, serta tekanan ekonomi yang berat, semakin banyak anak muda yang memilih untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak. Akibatnya, angka kelahiran bayi baru terus menurun, memicu penutupan massal taman kanak-kanak di Tiongkok. Statistik terbaru menunjukkan bahwa dalam setahun, lebih dari 20.000 TK tutup dan jumlah sekolah swasta juga berkurang sebanyak 15.000.
EtIndonesia. Pada Juni 2025, Kementerian Pendidikan Tiongkok merilis “Laporan Statistik Perkembangan Pendidikan Nasional Tahun 2024,” yang menunjukkan bahwa pada 2024, terdapat 253.300 taman kanak-kanak (TK) secara nasional, di mana 221.000 di antaranya merupakan TK dengan layanan terjangkau, mencakup 87,26% dari total TK. Jumlah anak usia prasekolah yang terdaftar sebanyak 35,84 juta.
Jika dibandingkan dengan laporan tahun 2023 yang mencatat 274.400 TK dan 40,93 juta anak terdaftar, maka pada 2024 jumlah TK turun lebih dari 20.000, dan jumlah anak berkurang lebih dari 5 juta.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa pada 2024, terdapat 152.800 sekolah swasta dari berbagai jenjang pendidikan, mencakup 32,52% dari total sekolah di seluruh negeri. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 167.200 sekolah, terdapat penurunan hampir 15.000 sekolah, lebih besar dari penurunan tahun 2023 yang mencapai lebih dari 11.000 sekolah.
Karena pemerintahan Partai Komunis Tiongkok (PKT) kerap memanipulasi data, kondisi sebenarnya diperkirakan lebih parah.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak taman kanak-kanak di Tiongkok terpaksa tutup karena kekurangan murid. Masalah ini diyakini berkaitan langsung dengan penurunan jumlah kelahiran dan tingkat fertilitas.
Biro Statistik Nasional Tiongkok pada Januari tahun ini merilis laporan kondisi ekonomi nasional 2024, menyebutkan bahwa jumlah kelahiran selama tahun 2024 sebanyak 9,54 juta jiwa, dengan tingkat kelahiran 6,77‰. Jumlah kematian sebanyak 10,93 juta jiwa, menghasilkan tingkat pertumbuhan alami -0,99‰. Ini menandai penurunan jumlah penduduk untuk tahun ketiga berturut-turut.
Menurut laporan Reuters sebelumnya, tingkat kelahiran yang sangat rendah, ditambah gelombang kematian selama pandemi COVID-19, mempercepat penyusutan populasi yang akan berdampak jangka panjang pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir, angka pengangguran kaum muda di Tiongkok mencapai rekor tertinggi. Banyak pekerja kantoran mengalami penurunan gaji, dan krisis properti menyebabkan kekayaan keluarga menyusut. Semua faktor ini semakin melemahkan keinginan anak muda untuk memiliki anak. Selain itu, tingginya biaya membesarkan dan mendidik anak membuat semakin banyak anak muda yang tidak ingin pacaran, menikah, atau punya anak.
Data dari Kementerian Urusan Sipil Tiongkok untuk kuartal pertama 2025 menunjukkan jumlah pasangan yang menikah secara nasional hanya 1,81 juta, turun 8% dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 1,969 juta. Angka ini menegaskan bahwa krisis struktur demografi di Tiongkok masih terus memburuk.
Seorang doktor ekonomi dan pekerja lepas bernama Tuan Zhang sebelumnya mengatakan kepada Epoch Times bahwa model pembangunan ekonomi Tiongkok tidak hanya menyebabkan harga properti yang tinggi, tetapi juga biaya kesehatan, pendidikan, dan pengasuhan anak yang sangat tinggi, yang akhirnya membuat anak muda enggan menikah dan punya anak.
Menurut Zhang, rendahnya angka pernikahan dan kelahiran di kalangan anak muda Tiongkok saat ini tidak akan terselesaikan dalam waktu dekat, karena Partai Komunis Tiongkok (PKT) tidak mungkin mengubah sistem otoriter mereka atau model pembangunan yang salah. Penghasilan masyarakat akar rumput juga tidak akan meningkat.
Lembaga konsultan MyCOS melakukan analisis terhadap puncak angka kelahiran di berbagai provinsi selama 20 tahun terakhir dan membandingkannya dengan data 2024. Hasilnya menunjukkan bahwa puncak angka kelahiran terjadi pada 2016–2017, dan sejak itu terus mengalami penurunan. Di Provinsi Shandong, yang dikenal sebagai provinsi “paling subur”, penurunan mencapai 63%. Penurunan di provinsi besar lainnya seperti Hunan 60%, Hubei 58%, Anhui 57%, Jilin 55%, Jiangxi 53%, dan Fujian 50%.
Seorang perempuan kelahiran tahun 1980-an bernama Wang Li (nama samaran) mengatakan kepada Epoch Times bahwa tekanan hidup saat ini sangat besar. Jika kondisi sosial masih seperti sekarang dan tidak bisa memberikan kehidupan yang layak bagi anak, lebih baik tidak punya anak agar tidak membuat mereka ikut menderita.
Seorang warga Jinan bernama Jin Yan (nama samaran), lahir tahun 1990-an, mengatakan bahwa ia dan suaminya sedang menganggur dan berjuang keras bekerja serabutan demi membayar cicilan rumah agar tidak disita. Ia mengatakan, “Di kelas saya, lebih dari setengah teman sekelas masih lajang, tidak mampu menikah. Bahkan yang sudah menikah pun jarang yang punya anak. Teman-teman dan kolega saya juga berpikiran seperti itu—tidak berani punya anak. Kalau kami berkumpul, kami sering mengeluh soal tekanan hidup. Mereka yang sudah punya anak juga mengeluh soal mahalnya biaya membesarkan anak. Banyak orang benar-benar tidak berani punya anak.”
Pengamat politik Yan Dan dalam artikelnya pada April 2025 di Epoch Times menyatakan bahwa pemerintah memberikan subsidi uang tunai untuk anak kedua dan ketiga demi meningkatkan angka kelahiran. Namun, menurutnya, pemberian uang tunai itu justru menunjukkan kelemahan dan pengakuan tidak langsung bahwa rakyat benar-benar tidak punya uang dan tidak sanggup membesarkan anak.
Yan Dan juga menambahkan bahwa masalah anak muda di Tiongkok bukan hanya soal tidak bisa mendapatkan pekerjaan untuk sementara, melainkan karena harapan mereka terhadap masa depan perlahan-lahan telah pupus. Jika tidak ada harapan, tentu tidak akan ada yang mau menikah atau punya anak. (Hui/asr)
Laporan oleh: Li Enzhen / Editor: Zhu Xinrui