Legacy Abadi Trump di Timur Tengah

Letjen (Purn) Michael T. Flynn dan Frank J. Gaffney

Serangan total Israel terhadap infrastruktur senjata nuklir dan kepemimpinan Iran telah menciptakan sebuah momen pilihan bersejarah: Akankah Israel diberi kesempatan untuk secara tegas mengalahkan ancaman eksistensial yang selama ini ditimbulkan oleh rezim tiranik Iran—bukan hanya terhadap rakyat Israel, tetapi juga terhadap kita—dan dengan itu membuka era stabilitas strategis yang sejajar dengan peradaban Barat, yang sangat jarang terjadi di Timur Tengah dan dunia bebas?

Atau justru Amerika Serikat akan kembali mengintervensi—sebagaimana yang sering terjadi di masa lalu—untuk mencegah kemenangan yang jelas dan menentukan, serta memastikan bahwa musuh Israel, dan juga musuh kita, dapat hidup untuk bertempur kembali di hari esok?

Jawaban atas pertanyaan itu pada dasarnya berada di tangan Presiden Donald Trump. Sikap yang akan diambilnya mungkin bergantung pada sejauh mana ia menerima informasi yang tepat mengenai opsi dan peluang yang tersedia, berikut risiko-risiko yang menyertainya. Ataukah justru dia sedang diselewengkan oleh pihak-pihak yang mengaku mewakili gerakan America First, namun dalam praktiknya malah tampak lebih memprioritaskan Iran dan Qatar?

Untungnya, seperti biasanya, Trump tampaknya telah memahami inti persoalan. Dalam komentarnya pada 14 Juni menanggapi kritik Tucker Carlson yang menyatakan bahwa dukungan AS terhadap Israel dalam serangannya ke Iran tidak sejalan dengan prinsip America First, Trump mengatakan kepada Michael Scherer dari The Atlantic:

“Yah, mengingat bahwa sayalah yang menciptakan ‘America First’, dan bahwa istilah itu tidak digunakan sebelum saya hadir, saya rasa sayalah yang berhak menentukannya.

“ Bagi mereka yang mengaku menginginkan perdamaian—Anda tidak bisa mendapatkan perdamaian jika Iran memiliki senjata nuklir.”

“Jadi, untuk semua orang baik yang tidak ingin melakukan apa pun terhadap kepemilikan senjata nuklir oleh Iran—itu bukanlah perdamaian.”

Pernyataan lugas tersebut tampaknya akan diterjemahkan sebagai bentuk dukungan lanjutan terhadap upaya Israel untuk menghancurkan total program senjata nuklir Iran dan menumpas kapasitas tempur rezim tersebut, yang kini bisa saja berada di tangan tokoh-tokoh lapis kedua atau ketiga—banyak di antaranya bahkan diduga memiliki kecenderungan lebih psikopat dan apokaliptik dibanding para pejabat tinggi yang telah dinetralisasi sejauh ini.

Namun, apakah Trump benar-benar akan menempuh jalan itu sangat bergantung pada kualitas nasihat yang ia terima. Selain para komentator politik dan influencer tidak resmi, bisa jadi dia juga mendapat masukan keliru dari komunitas intelijen, yang selama ini salah menyimpulkan bahwa Iran tidak memiliki program senjata nuklir, serta dari kalangan yang mengklaim dirinya sebagai “nasionalis”, “realis”, dan pendukung prinsip “pengendalian diri”.

Padahal, mereka sesungguhnya sedang mendorong formula bagi perang tanpa akhir di Timur Tengah. Menghalangi Israel menyelesaikan tugasnya—baik dengan memutus pasokan senjata yang dibutuhkannya atau dengan bentuk intervensi lainnya—berarti membiarkan sisa-sisa program nuklir tetap berada di tangan para supremasis syariah, yang masih bercokol dan bertekad menghancurkan baik Israel maupun Amerika Serikat. Militer AS pada akhirnya akan dipaksa menghadapi bencana lanjutan yang pasti akan datang.

Dengan kata lain, alih-alih menerapkan Doktrin Trump secara paripurna—yang mendukung para sekutu untuk cukup kuat membela kepentingan mereka dan kepentingan kita sendiri di lingkungan mereka yang berbahaya, dengan dukungan AS dalam bentuk intelijen, amunisi, perlindungan politik, dan bukan keterlibatan militer langsung—kita justru berisiko terjebak dalam lumpur konflik yang memakan biaya sangat mahal.

Kini adalah saat di mana Trump harus mendapatkan nasihat militer terbaik, termasuk dari Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Daniel “Razin” Caine dan Komandan CENTCOM Jenderal Michael “Erik” Kurilla, mengenai berbagai peluang dan risiko terkait pemberian waktu, sumber daya, dan ruang diplomatik yang diperlukan Israel untuk meraih kemenangan yang menentukan.

Tak kalah penting, presiden juga berhak mendengar bahwa penghancuran total sekutu regional terpenting Partai Komunis Tiongkok oleh sekutu kita dapat menjadi langkah paling penting yang bisa kita ambil saat ini untuk menghalangi agresi Beijing di kawasan lain. Langkah itu bahkan bisa berdampak terhadap keputusan anggota BRICS, terutama Afrika Selatan, yang mungkin akhirnya menyadari bahwa bukan kepentingan mereka untuk terus mendorong agenda penggulingan dolar sebagai mata uang cadangan global.

Yang kami sampaikan hanyalah: berikan kesempatan nyata bagi perdamaian, dengan menjadikan Legacy Trump di Timur Tengah sebagai satu-satunya yang layak dikenang—yakni dengan memastikan bahwa Israel dan Amerika Serikat menang secara tegas atas rezim supremasi syariah yang telah terlalu lama memperbudak rakyat Iran dan mengancam, bahkan membunuh, rakyat kita dan rakyat negara Yahudi .


Pandangan dalam artikel ini merupakan opini penulis dan tidak mencerminkan posisi resmi The Epoch Times.

  • Letnan Jenderal Purnawirawan Angkatan Darat AS Michael T. Flynn pernah menjabat sebagai penasihat keamanan nasional Presiden Donald J. Trump. Ia juga pernah bertugas di Angkatan Darat AS selama lebih dari 33 tahun, memiliki tiga gelar master, dan telah menerima berbagai penghargaan dan penghormatan dari kalangan sipil, militer, intelijen, dan penegak hukum
  • Frank Gaffney pernah menjabat sebagai Asisten Menteri Pertahanan di bawah Presiden Ronald Reagan. Saat ini, ia menjabat sebagai Presiden Institute for the American Future (USFuture.org)

FOKUS DUNIA

NEWS