EtIndonesia. Pada Sabtu, 15 Juni, dunia menyaksikan eskalasi dramatis dalam konflik Israel-Iran. Angkatan Udara Israel secara terbuka mengumumkan rencana strategis untuk merebut keunggulan udara penuh di seluruh wilayah Iran—sebuah langkah berani yang menandai babak baru dalam sejarah militer Timur Tengah. Langkah konkret langsung diambil dengan serangan presisi ke pesawat pengisian bahan bakar di Bandara Mashhad, Iran timur laut, yang berjarak sekitar 2.300 kilometer dari Israel. Serangan ini menjadi salah satu operasi udara terjauh dalam sejarah Israel, sekaligus membuktikan jangkauan serta kecanggihan kemampuan militer negara tersebut.
Iran Merespons dengan Pernyataan Perang dan Serangan Rudal
Tak butuh waktu lama bagi Iran untuk membalas. Pemerintah Iran segera mengeluarkan pernyataan perang resmi dan meluncurkan rudal balistik ke wilayah Israel. Rudal-rudal tersebut mampu menembus sistem pertahanan Iron Dome, terutama di wilayah utara dan tengah Israel. Situasi darurat pun diberlakukan: ruang udara Israel ditutup untuk hari ketiga berturut-turut, dengan sirene peringatan serangan udara terus meraung di kota-kota besar seperti Yerusalem dan Haifa. Di Teheran, ibu kota Iran, ledakan besar terdengar hingga ke pusat kota. Rekaman warga menunjukkan asap hitam pekat membumbung tinggi dari dekat Lapangan Malayas. Kantor berita mahasiswa Iran melaporkan bahwa markas polisi di Teheran terkena serangan drone, menyebabkan kerusakan dan melukai beberapa anggota kepolisian.
Fasilitas Nuklir dan Target Strategis Iran Dibombardir
Fasilitas nuklir Iran tetap menjadi salah satu fokus utama serangan Israel. Militer Israel mengonfirmasi bahwa sejumlah instalasi nuklir vital di Isfahan menjadi sasaran. Selain itu, Israel juga melancarkan serangan “pemenggalan”—operasi terfokus untuk menargetkan para komandan tinggi militer dan ilmuwan nuklir Iran.
Pada hari yang sama, Pemerintah Iran secara resmi mengonfirmasi bahwa serangan Israel menewaskan Kepala Intelijen Iran, Jenderal Kazemi, beserta wakilnya. Data dari Reuters per 15 Juni menunjukkan bahwa setidaknya 20 perwira tinggi militer Iran tewas, termasuk Panglima Garda Revolusi, Kepala Staf Gabungan, serta para pejabat senior di bidang angkatan luar angkasa dan intelijen. Tak kalah penting, antara 8 hingga 14 ilmuwan nuklir Iran juga dilaporkan gugur dalam serangan ini. Jumlah korban tersebut menjadi pukulan sangat telak bagi kemampuan komando dan pengembangan program nuklir Iran.
Strategi Baru Israel: Membidik Otak di Balik Rezim
Sejumlah pengamat dan ahli militer menyoroti, operasi udara Israel kali ini sangat berbeda dibandingkan operasi besar sebelumnya. Jika biasanya Israel melancarkan serangan masif, kini mereka menerapkan strategi “surgical strike”—serangan presisi berdasarkan intelijen mendalam, yang menargetkan langsung otak-otak strategis, baik dari kalangan militer maupun sipil (ilmuwan nuklir). Strategi ini serupa dengan operasi drone terhadap para komandan Hizbullah beberapa tahun terakhir, dan terbukti efektif melumpuhkan sistem komando musuh.
Para analis juga menilai, jatuhnya banyak otak utama dan figur sentral di berbagai institusi strategis Iran dalam waktu singkat menimbulkan efek domino yang sulit diatasi oleh sistem diktator. Dalam rezim otoriter, sistem suksesi cenderung tertutup dan lambat, sehingga kehilangan satu-dua tokoh kunci saja sudah membuat sistem goyah. Israel dinilai telah sukses menargetkan “tumit Achilles” musuhnya.
Reaksi Dunia: Seruan Revolusi dan Tekanan Internasional
Dampak serangan besar-besaran ini bukan hanya terasa di Iran, tapi juga menggemparkan politik internasional. Donald Trump, Presiden AS ke-45, pada Minggu lalu menyerukan agar kedua pihak segera kembali ke meja perundingan. Namun, suara di Israel lebih keras. Anggota Parlemen Israel, Tal, dalam wawancara dengan Fox News, secara terang-terangan menyebut bahwa ancaman terbesar dari rezim Iran bukan hanya untuk Israel, tetapi juga bagi Amerika dan dunia.Â
“Jika kita tidak menggulingkan rezim jahat Iran, mustahil ada perdamaian atau kesepakatan yang dapat dicapai,” tegasnya.
Tal menegaskan: “Ini adalah perang sejarah. Untuk pertama kalinya, ada harapan nyata bagi rakyat Iran dan dunia untuk membebaskan diri dari ancaman rezim jahat tersebut. Satu-satunya jalan adalah menggulingkan kepemimpinan mereka.”
Dia juga memperingatkan: “Jika Iran sampai memperoleh senjata nuklir, dunia akan menghadapi ancaman global yang nyata. Karena itu, kami berharap Amerika tetap mendukung kami dalam menyingkirkan ancaman Iran.”
Netanyahu dan Petinggi Israel Serukan Perlawanan Rakyat Iran
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam wawancara dengan Fox News pada 15 Juni 2025, menegaskan bahwa posisi rezim Iran kini sangat lemah.Â
“Delapan puluh persen rakyat Iran ingin menjatuhkan pemimpin mereka. Rakyat sudah lelah 46 tahun hidup dalam penindasan,” ujarnya.Â
Netanyahu secara terbuka mengajak rakyat Iran untuk bangkit dan melawan rezim. Dia menyatakan bahwa serangan militer Israel ke Iran kemungkinan masih akan berlanjut selama beberapa pekan ke depan, hingga ancaman benar-benar dihentikan.
Sementara itu, Mayjen (Purn) Amos Yadlin, mantan Kepala Intelijen Militer Israel sekaligus arsitek serangan ke reaktor nuklir Iran tahun 1981, menyampaikan bahwa Israel kini harus mulai menggeser fokus dari target-target militer ke sasaran politik.Â
“Sudah saatnya kita mengakhiri kekuasaan poros kejahatan di kawasan ini,” katanya dengan nada tegas.
Kondisi Iran: Tekanan Internal dan Ketakutan Rezim
Di sisi lain, tekanan dari dalam negeri Iran semakin terasa. Serangan-serangan presisi yang membidik pusat-pusat komando, fasilitas strategis, dan tokoh-tokoh kunci telah membuat banyak pejabat Iran dikabarkan membahas rencana evakuasi darurat. Aparat keamanan meningkatkan pengamanan di ibu kota, sementara propaganda pemerintah berusaha meredam kepanikan rakyat.
Namun, situasi sosial di lapangan justru menunjukkan gejala perlawanan. Di media sosial, video-video protes, spanduk anti-pemerintah, dan seruan revolusi makin marak. Banyak pihak menilai, jika gelombang tekanan eksternal ini bersamaan dengan perlawanan rakyat di dalam negeri, rezim Iran benar-benar berada di ujung tanduk.
Kesimpulan: Babak Baru Krisis Timur Tengah
Gelombang serangan udara Israel ke Iran pada pertengahan Juni 2025 menandai fase baru dalam krisis Timur Tengah. Dengan strategi baru yang fokus pada pemenggalan otak rezim, Israel telah berhasil membuat guncangan besar di jantung kekuasaan Iran. Korban di kalangan jenderal dan ilmuwan strategis telah membuat sistem pertahanan Iran lumpuh dalam waktu singkat. Sementara itu, dunia internasional mulai menyuarakan tekanan dan seruan revolusi dari luar maupun dari dalam Iran.
Apakah gelombang serangan ini akan benar-benar mengakhiri kekuasaan rezim Iran? Atau justru membuka babak baru perang berkepanjangan di kawasan? Jawabannya kini tergantung pada respons rakyat Iran dan arah intervensi internasional dalam waktu dekat.