Peta Kekuatan Berubah: Hizbullah Tak Berkutik, Suriah Ikut Israel, Iran Terpojok!

EtIndonesia. Situasi di Timur Tengah terus memanas setelah serangan Israel ke Iran meluas dan mengguncang stabilitas kawasan. Berbagai kelompok pro-Iran di Timur Tengah kini dihadapkan pada pilihan sulit, bahkan sebagian memilih diam, menarik diri dari konfrontasi, atau justru berbalik arah. Perubahan geopolitik yang terjadi dinilai paling dramatis dalam satu dekade terakhir, menandai babak baru dalam percaturan kekuatan di kawasan.

Hizbullah dan Milisi Irak Memilih “Diam”, Menahan Diri dari Konflik Langsung

Laporan terbaru dari Associated Press menyebutkan bahwa Hizbullah di Lebanon—yang selama ini dikenal sebagai perpanjangan tangan Iran di perbatasan utara Israel—tampak memilih langkah diam sejak serangan Israel mulai meluas ke wilayah Iran. Padahal, sebelumnya Hizbullah dikenal sangat vokal dan kerap terlibat dalam konflik bersenjata melawan Israel di wilayah perbatasan.

Tak hanya Hizbullah, milisi-milisi pro-Iran di Irak pun menunjukkan kehati-hatian yang sama. Mereka menahan diri dari aksi balasan besar, diduga karena khawatir akan menjadi target berikutnya dalam daftar serangan Israel. Pengamat militer dan peneliti senior dari Chatham House London, Renad Mansour, mengonfirmasi hal ini.

“Milisi-milisi di Irak sangat menghindari konflik terbuka. Mereka belajar dari peristiwa terbaru, melihat bagaimana Iran dan Hizbullah menjadi sasaran empuk kekuatan militer Israel. Kini, mereka memilih bertahan dan tidak mencari masalah baru,” ujar Mansour.

Sementara itu, kelompok Houthi di Yaman masih melakukan serangan rudal secara sporadis ke wilayah Israel, namun tekanan strategis yang dihasilkan dinilai sangat minim. Serangan Houthi lebih bersifat simbolik, tidak cukup untuk mengubah keseimbangan kekuatan atau memaksa Israel mengalihkan fokus militernya.

Kondisi ini, menurut sejumlah analis, mencerminkan suasana penuh kehati-hatian di antara kelompok pro-Iran. Masing-masing lebih sibuk mempertahankan eksistensi dan menghindari pukulan balasan yang bisa mematikan organisasi mereka. 

“Semua pihak kini benar-benar menghitung risiko, tidak ada yang ingin menjadi korban berikutnya,” lanjut Mansour.

Suriah: Sikap Geopolitik Berubah Tajam, Buka Wilayah Udara untuk Israel

Salah satu kejutan besar justru datang dari Suriah. Presiden Ahmed al-Sharaa secara terbuka mengumumkan bahwa wilayah udara Suriah kini digunakan untuk melacak dan menembak jatuh drone maupun rudal yang datang dari arah Iran. Dalam praktiknya, langkah ini sama saja dengan memberi “lampu hijau” bagi Israel untuk melancarkan operasi militer pencegatan atas ancaman Iran melalui ruang udara Suriah.

Keputusan al-Sharaa ini dianggap sebagai perubahan sikap geopolitik yang sangat signifikan. Selama bertahun-tahun, Suriah dikenal sebagai sekutu dekat Iran dan Rusia dalam berbagai konflik di kawasan. Namun dalam situasi terbaru, Suriah justru memberikan dukungan teknis kepada Israel dalam menghadapi ancaman udara dari Iran.

“Ini bukan hanya manuver taktis, tapi perubahan strategis yang luar biasa,” ujar seorang diplomat Timur Tengah yang tak ingin disebut namanya. “Suriah secara de facto kini membantu Israel meminimalisir ancaman Iran di wilayah udara kawasan, dan itu belum pernah terjadi sebelumnya.”

Langkah al-Sharaa dinilai sebagai bentuk upaya menjaga kestabilan internal, mengingat Suriah tidak ingin terseret dalam konflik terbuka antara Iran dan Israel yang justru bisa memicu gelombang serangan balasan di dalam negerinya sendiri.

Respons AS: Trump dan Flynn Berikan Sinyal Tegas kepada Iran

Sementara di Amerika Serikat, respons keras kembali disuarakan oleh Presiden Donald Trump. Dalam wawancara eksklusif, Trump menegaskan bahwa Iran tidak akan pernah bisa memenangkan konflik ini. Dia juga mengungkapkan bahwa pihak Iran sempat mengajukan negosiasi damai di masa lalu, namun kesempatan itu telah lewat.

“Saya dulu memberi Iran waktu 60 hari untuk berunding. Namun, di hari ke-61 kesepakatan langsung saya batalkan. Kalau Iran mau negosiasi, sekaranglah saatnya—lakukan sebelum semuanya terlambat,” tegas Trump, mengisyaratkan bahwa pintu diplomasi hampir tertutup sepenuhnya.

Tak hanya Trump, mantan Kepala Badan Intelijen Pertahanan AS (DIA), Jenderal Michael Flynn, juga menyuarakan strategi yang cukup tajam. Dalam diskusi bersama mantan penasihat Gedung Putih, Steve Bannon, Flynn menekankan bahwa Amerika sebaiknya membiarkan Israel menyelesaikan “tugas berat” di Timur Tengah, sementara AS bisa fokus menghadapi tantangan global lainnya, khususnya dari Tiongkok.

“Jika Iran akhirnya tumbang dan digantikan pemerintahan baru yang pro-Barat, itu akan menjadi kemenangan geopolitik terbesar bagi AS di Timur Tengah dalam 20 tahun terakhir. Amerika Serikat akan mendapatkan kartu as yang bisa digunakan untuk menghadapi Tiongkok dan sekutu-sekutunya di kancah global,” ujar Flynn.

Flynn meyakini, keberhasilan Israel dalam menundukkan ancaman Iran tidak hanya akan memulihkan dominasi AS di Timur Tengah, tetapi juga mengubah peta kekuatan global secara dramatis.

Peta Kekuatan Timur Tengah: Babak Baru Dimulai

Para analis menilai, gelombang perubahan yang kini terjadi di Timur Tengah merupakan respons berantai atas eskalasi konflik Israel-Iran. Sikap diam Hizbullah dan milisi Irak, keengganan Houthi, serta perubahan posisi Suriah menjadi indikator bahwa “deterrence” atau efek jera dari kekuatan militer Israel benar-benar bekerja.

Di sisi lain, tekanan Amerika dan perubahan perimbangan kekuatan di lapangan juga mempercepat munculnya dinamika baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Banyak negara kini menunggu dengan was-was, sebab setiap langkah yang diambil oleh Israel, Iran, atau Amerika Serikat dapat memicu reaksi domino ke seluruh kawasan—bahkan meluas ke ranah global.

Situasi tetap sangat cair, namun satu hal pasti: Timur Tengah telah memasuki babak baru, dengan risiko, peluang, dan kejutan yang masih akan terus berkembang.

FOKUS DUNIA

NEWS