EtIndonesia. Serangan presisi yang dilancarkan Israel terhadap sejumlah fasilitas nuklir vital di Iran telah menimbulkan efek destruktif yang jauh melampaui sekadar dampak militer. Sejumlah analis internasional menilai, program nuklir Iran untuk beberapa tahun ke depan hampir mustahil dipulihkan akibat kerusakan masif pada infrastruktur dan hilangnya sejumlah tokoh kunci di bidang sains nuklir.
Salah satu korban paling menonjol adalah Dr. Fereydoun Abbasi-Davani, mantan Kepala Organisasi Energi Atom Iran, yang dilaporkan tewas dalam serangan tersebut. Kepergiannya dianggap sebagai kehilangan tak tergantikan, bukan hanya untuk komunitas ilmiah Iran, tetapi juga bagi masa depan teknologi nuklir nasional mereka. Para pengamat menegaskan, ini bukan sekadar operasi militer, melainkan sebuah pukulan telak terhadap daya saing strategis dan kemerdekaan energi Iran yang mungkin sulit pulih dalam waktu dekat.
Tiongkok “Angkat Kaki”: Beijing Menjaga Jarak, Iran Ditinggalkan Sendirian
Di tengah krisis yang mengguncang Iran, perhatian global tertuju pada reaksi Tiongkok. Selama ini Beijing dikenal sebagai mitra utama sekaligus sekutu diplomatik Iran dalam menghadapi tekanan Barat. Namun kali ini, sikap Tiongkok dinilai sangat dingin dan formalistik.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok berulang kali hanya mengimbau semua pihak untuk “menahan diri” dan “menghindari eskalasi”, tanpa memberikan dukungan konkret atau langkah nyata untuk Iran. Lebih jauh, Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Qiang hanya mengirimkan ucapan duka cita atas insiden kecelakaan pesawat di Iran, sama sekali menghindari pembahasan soal konflik militer yang tengah berkecamuk.
Menurut analisis portal independen Kan Zhongguo, respons Tiongkok yang sangat pasif ini menandakan bahwa Iran telah “dibebaskan” oleh Beijing. Secara ekonomi dan militer, Tiongkok memang tengah menghadapi tekanan berat: produksi massal alutsista canggih belum siap, sistem pertahanan udara belum layak ekspor, teknologi navigasi BeiDou belum stabil, dan kendala pasokan chip akibat sanksi Barat masih membelit. Dalam situasi seperti ini, Iran pun hanya mampu membeli beberapa prototipe senjata dari Tiongkok, tanpa nilai tempur riil di lapangan.
Lebih lanjut, analis menyimpulkan bahwa Tiongkok bukan dengan sukarela mundur dari Timur Tengah, melainkan terpaksa “angkat kaki di tengah malam” akibat situasi yang tak lagi terkendali. Krisis ini diyakini akan menjadi titik balik bagi ambisi Beijing membangun “poros perlawanan global anti-Amerika”. Negara-negara sekutu seperti Myanmar, Korea Utara, Venezuela, bahkan Rusia, disebut berpotensi menjadi “anak buangan” berikutnya di mata Beijing.
Iran Babak Belur, Warganet Tiongkok Menjadi Penonton Kritis
Sejak Israel melancarkan serangan mendadak pada 13 Juni, reputasi Iran sebagai kekuatan utama di Timur Tengah mulai runtuh di mata publik internasional. Meskipun Pemerintah Tiongkok secara formal menyatakan dukungan terhadap Iran, realitas di ranah digital Tiongkok menunjukkan atmosfer yang sangat berbeda.
Di media sosial, terutama di platform seperti Weibo, warganet Tiongkok ramai-ramai menyindir dan menertawakan kegagalan Iran, bahkan membandingkannya dengan situasi politik di Beijing. Salah satu fokus utama adalah lemahnya sistem pertahanan udara Iran yang selama ini dipromosikan sebagai “tak tertembus”. Fakta di lapangan justru membuktikan sebaliknya: sistem pertahanan Iran rapuh, dan tak mampu mencegah gelombang serangan Israel yang begitu cepat.
Berbagai media mengonfirmasi bahwa sejumlah komandan tinggi Garda Revolusi dan ilmuwan nuklir Iran tewas dalam serangan tersebut. Meski Teheran sempat mengancam akan membalas, reaksi Iran dinilai sangat lambat dan “terlalu lembek” oleh banyak analis internasional.
Bahkan di dunia maya yang terkenal sangat diawasi pemerintah, tetap saja muncul komentar-komentar pedas dari netizen Tiongkok. Banyak yang menyebut sistem pertahanan udara Iran “bolong seperti saringan”, hingga tidak sadar sama sekali akan datangnya ancaman.
Siaran Langsung Kantor Berita Iran Diserang, Dunia Menyaksikan “Live” Kekacauan
Pada 16 Juni sore, gedung kantor pusat Radio dan Televisi Nasional Iran di Teheran menjadi salah satu target serangan Israel. Peristiwa ini terjadi saat siaran langsung sedang berlangsung. Suara ledakan keras terdengar jelas di layar kaca, disusul pecahan batu berjatuhan dari plafon studio. Seorang pembawa acara wanita yang kala itu tengah membacakan kecaman terhadap Israel, terlihat panik dan langsung melarikan diri ke luar studio, menyebabkan siaran terputus mendadak.
Sementara itu, di platform Weibo milik CCTV (media Pemerintah Tiongkok), kolom komentar justru dipenuhi candaan dan cemoohan.
“Seharusnya yang dihancurkan dulu pusat propaganda Iran,” tulis salah satu warganet.
Ada pula yang menulis: “Setiap hari cuma bisa pamer, giliran perang malah tamat. Lawan Amerika saja tidak berani.”
Beberapa netizen juga menyoroti perubahan politik di Iran. Ada yang berpendapat, kelompok pro-Amerika kini telah mendominasi parlemen, sementara jumlah rudal balasan yang dimiliki Iran semakin menipis. Dengan lumpuhnya program nuklir, Iran dinilai tak lagi punya kartu as untuk meningkatkan eskalasi konflik—bahkan isu pergantian rezim pun dianggap bukan mustahil.
Komentar Aktivis dan Prediksi: Iran Hancur, Rezim Otoriter Lain Menunggu Giliran?
Menariknya, pengamat prodemokrasi asal Tiongkok, Tang Baiqiao, ikut menanggapi fenomena serangan Israel ke Iran dan reaksi warganet Tiongkok.
“Bayangkan jika suatu hari CCTV Tiongkok juga dibom saat sedang siaran langsung mengoceh propaganda, pasti rezim Beijing tamat. Bukan bom yang menghancurkan PKT (Partai Komunis Tiongkok), tapi setelah itu tak akan ada orang berani jadi alat kekuasaan lagi,” ungkapnya.
Dia menambahkan: “Mungkin bahkan tak perlu menunggu sampai hari itu. Tiongkok bisa berubah jauh lebih cepat dari dugaan. Ketika propaganda negara runtuh, kepercayaan publik akan kolaps. Inilah yang sekarang mulai terjadi di Iran, dan bisa menjadi pelajaran bagi negara-negara otoriter lain di dunia.”
Kesimpulan: Era Baru Timur Tengah dan Dunia yang Berubah
Serangan Israel ke Iran tidak hanya memporak-porandakan infrastruktur dan program nuklir Teheran, tapi juga memicu efek domino yang merembet ke hubungan internasional, tatanan politik kawasan, serta opini publik di negara-negara besar seperti Tiongkok.
Iran kini menghadapi kenyataan pahit: lumpuhnya program nuklir, kehilangan ilmuwan terpenting, pelemahan kekuatan militer, serta makin terasing di panggung diplomasi dunia. Sementara itu, Tiongkok—yang selama ini dianggap sebagai “saudara tua” dan benteng pertahanan bagi Iran—perlahan menjauh dan mulai “mencuci tangan” dari krisis ini.
Dari internet hingga panggung politik dunia, kehancuran Iran kini menjadi tontonan dan bahan peringatan bagi semua rezim otoriter: ketika kekuasaan dibangun di atas propaganda dan sekutu palsu, maka kehancuran bisa datang dari luar maupun dalam, lebih cepat dari yang dibayangkan.