Tanggal 3 Juni 1989, adalah malam berdarah bagi para pengunjuk rasa mahasiswa pro-demokrasi. Kala itu, tank-tank meluncur menuju ke Lapangan Tiananmen, Beijing untuk memusnahkan orang-orang dan apapun di jalanan. Gas air mata dan peluru tajam membanjiri alun-alun.
Para pengunjuk rasa yang panik menyandarkan tubuh-tubuh yang lemas ke sepeda, bus, dan ambulans untuk mengangkut mereka pergi. Ribuan pengunjuk rasa tak bersenjata diperkirakan tewas.
Pembunuhan massal tersebut mengejutkan dunia. Sebagai tanggapan, kala itu Presiden AS George H.W. Bush mengutuk pembantaian tersebut. Kemudian menangguhkan pengiriman senjata ke Tiongkok dan memberlakukan beberapa sanksi.
“Tapi mereka segera beralih,” kata Li Hengqing, mantan pemimpin mahasiswa 1989 yang sekarang tinggal di Washington. Li menunjukkan bahwa sebagian besar sanksi langsung dicabut dan hubungan ekonomi kembali dilanjutkan.
“Kebetulan saya percaya bahwa kontak komersial telah memimpin, pada esensinya adalah pencarian lebih banyak terhadap kebebasan ini,” kata Bush pada konferensi pers yang diadakan sehari setelah pembantaian Tiananmen.
“Saya pikir karena orang memiliki insentif komersial, apakah itu di Tiongkok atau sistem totaliter lainnya, langkah menuju demokrasi menjadi lebih tak terhindarkan,” katanya.
Teori itu digambarkan “sangat konyol,” kata Yuan Hongbing, seorang cendikiawan Tiongkok yang kemudian diskors dari tugasnya karena berpartisipasi dalam aksi protes Tiananmen. Ia mengatakan kebijakan keterlibatan Washington dengan Tiongkok menguntungkan PKT. Bahkan, membantu rezim komunis mengumpulkan kekuatan ekonomi selama tiga dekade.
“[Respon] Barat menguatkan PKT,” kata Chen Weijian, seorang komentator Tiongkok yang meninggalkan daratan Tiongkok ke Selandia Baru dua tahun setelah tindakan keras Tiananmen.
Setelah 33 tahun, “pembangunan ekonomi tak mengarah ke Tiongkok yang bebas,” kata Chen, yang merupakan pendiri majalah pro-demokrasi Tiongkok dan diselidiki karena mendukung demonstrasi 1989. Sebaliknya, PKT berusaha menggunakan kekuatan ekonomi untuk “mengubah aturan komunitas internasional” dan mengekspor model kontrol penindasannya ke seluruh dunia.
Chen mengutip percakapan antara Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden.
Selama pidato baru-baru ini di kelas kelulusan Akademi Angkatan Laut, Biden mengatakan bahwa Xi mengatakan kepadanya bahwa demokrasi akan jatuh dan “otokrasi akan menjalankan dunia.”
“Ketika dia menelepon saya untuk memberi selamat kepada saya pada malam pemilihan, dia mengatakan kepada saya apa yang dia katakan berkali-kali sebelumnya,” kata Biden pada 27 Mei, merujuk pada Xi.
“Dia berkata, ‘Demokrasi tidak dapat dipertahankan di abad ke-21. Otokrasi akan menjalankan dunia. Mengapa? Hal-hal berubah begitu cepat. Demokrasi membutuhkan konsensus, dan itu membutuhkan waktu, dan Anda tidak punya waktu.’
“Dia salah,” kata Biden.
Disensor di Tiongkok
Hong Kong, sebagai tempat terakhir untuk memperingati para korban pembantaian 1989 di pulau yang dikuasai PKT, melarang peringatan massal sejak tiga tahun lalu, dengan alasan pandemi, di tengah pengekangan kebebasan Hong Kong yang lebih luas di tangan rezim komunis.
Para pemimpin kelompok di balik acara nyala lilin tahunan ditahan setelah didakwa melakukan subversi di bawah undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan PKT. Mereka termasuk di antara lebih dari 150 orang yang didakwa atau dihukum berdasarkan Undang-Undang kejam yang telah digunakan untuk menghapus perbedaan pendapat di pusat demokrasi yang pernah berkembang pesat.
Pada peringatan tahun ini, puluhan polisi berpatroli di Victoria Park, tempat acara penyalaan lilin tahunan yang pernah digelar sebelumnya.
Di daratan Tiongkok, aksi protes Lapangan Tiananmen, sebuah gerakan dipimpin oleh pemuda yang mengadvokasi reformasi demokrasi, masih merupakan topik yang tabu. Sampai hari ini, rezim partai komunis Tiongkok tidak akan mengungkapkan jumlah atau nama mereka yang terbunuh akibat kekejamannya.
Rezim mencoba untuk menghapus semua kenangan pembantaian berdarah dengan menghapus setiap penyebutan peristiwa dari internet negara. Lebih parah lagi, kerap menekan para kerabat korban untuk memastikan agar mereka tetap bungkam. Akibatnya, generasi muda Tionghoa tidak menyadari apa yang terjadi pada malam itu.
Meskipun rezim terus menekan kenangan pada hari itu, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan Amerika Serikat akan “terus berbicara dan mempromosikan akuntabilitas atas kekejaman rezim Tiongkok dan pelanggaran hak asasi manusianya termasuk yang terjadi di Hong Kong, Xinjiang, dan Tibet.”
“Kepada rakyat Tiongkok dan mereka yang terus menentang ketidakadilan dan mencari kebebasan, kami tidak akan melupakan 4 Juni,” katanya dalam pernyataan 3 Juni.
Pandemi
Tahun ini, Lapangan Tiananmen dilockdown beberapa minggu sebelum 4 Juni, sebagai langkah pencegahan pandemi di bawah kebijakan “nol-COVID” rezim.
Pendekatan kejam, yang dimaksudkan untuk menghilangkan setiap kasus infeksi dalam komunitas dengan memberlakukan lockdown dan karantina wajib, menyebabkan terjadinya kekurangan makanan dan penundaan perawatan medis bagi jutaan orang yang dilockdown di seluruh Tiongkok.
“[PKT] ingin mengendalikan virus melalui pendekatan yang tidak menghormati hak asasi manusia, yang sama seperti yang dilakukan pada 4 Juni,” kata Chen.
Bagi Chen, kasus Li Wenliang, seorang dokter yang termasuk orang pertama memperingatkan tentang wabah COVID-19 awal di Wuhan, adalah alarm bagi dunia tentang bagaimana penindasan PKT dapat mempengaruhi mereka. Dokter tersebut ditegur oleh polisi pada Januari 2020 ketika pihak berwenang meremehkan tingkat keparahan wabah. Li kemudian meninggal dunia karena virus.
Chen mengatakan pandemi saat ini akan berbeda jika rezim tidak menyensor whistleblower dan pihak lain yang mencoba membunyikan alarm. “Akhirnya dunia mulai memahami PKT sekarang.”
EtIndonesia. Beberapa tahun lalu, orang-orang di Three Little Pitties Rescue (TLP) di Texas menerima panggilan minta tolong yang membuat jantung berdebar-debar. Penelepon itu menceritakan bahwa dia menemukan seekor anjing liar di dekat rodeo yang ramai dengan velg mobil tersangkut di lehernya — dan dia menjadi semakin gelisah dari menit ke menit.
“Dia benar-benar dalam kesulitan,” kata Kelly Russel dari TLP kepada The Dodo dalam sebuah video baru-baru ini. “Dia ketakutan. Mereka pikir dia mungkin mengejar tupai atau sesuatu dan kepalanya tersangkut seperti itu.”
Tim penyelamat TLP bergegas ke tempat kejadian dan hampir menangis setelah melihat anak anjing malang yang tak berdaya itu dalam situasi yang mengerikan.
“Kepalanya bengkak, dan saya tahu bahwa jika kami tidak segera membawanya ke dokter hewan, dia mungkin tidak akan selamat,” kata Russel.
Tanpa ragu, tim tersebut dengan hati-hati membius anjing itu untuk mencegah cedera lebih lanjut saat membawanya ke dokter hewan. Begitu mereka tiba di klinik, staf dokter hewan yang berdedikasi mulai bekerja melepaskan velg dari kepalanya.
“Mereka menutupinya dengan handuk karena dia sangat takut, dan dia tidak mengizinkan kami menyentuhnya,” kata Russel.
Meskipun sudah berusaha sebaik mungkin, tim dokter hewan tidak dapat menemukan cara untuk melepaskan velg dari kepala anjing tersebut, jadi mereka memanggil bala bantuan tambahan.
“Akhirnya, kami harus memanggil petugas pemadam kebakaran,” kata Russel. “Mereka juga belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya dan menggunakan rahang kehidupan untuk mematahkan velg ban.”
Setelah satu jam, anjing manis itu akhirnya terbebas dari velg — dan dia segera diberi nama yang cocok.
“Kami mulai memanggilnya Pickles karena dia masuk ke dalam velg,” kata Russel.
Pickles terbangun tak lama setelah velgnya dilepas, tampak bingung dengan perubahan itu tetapi secara keseluruhan bersyukur telah terbebas. Setelah beristirahat selama beberapa hari, Pickles pergi bersama Russel ke rumah asuh barunya, dan dia segera mulai berkembang.
“Beberapa hari kemudian, dia mulai terbuka,” kata Russel. “Saya melihatnya berseri-seri di sekitar anjing asuh saya yang lain. Mereka menerimanya begitu saja. Ia seperti anak anjing lagi.”
Tak lama kemudian, Pickles berubah dari anjing yang penakut dan tertekan menjadi anjing yang riang gembira dengan jiwa muda. Sementara tim menandatangani velg Pickles untuk mengenang penyelamatannya, mereka mulai mencari rumah selamanya yang sempurna untuknya.
Tak lama kemudian Pickles diadopsi, dan dia menikmati hidupnya sejak saat itu. Meskipun para penyelamatnya merindukannya, mereka sangat gembira bahwa Pickles akhirnya menerima perawatan yang selalu layak diterimanya.
“Dia memberikan ciuman terbaik, dan dia penuh cinta,” kata Russel. “Dia punya waktu untuk pulih dan sekarang belajar bagaimana menjadi anjing normal.” (yn)
Untuk menghadapi perang tarif dengan Amerika Serikat dan kondisi ekonomi domestik yang lesu, pemerintah Partai Komunis Tiongkok (PKT) melonggarkan kebijakan bebas pajak (tax refund) bagi wisatawan asing yang berbelanja di Tiongkok. Tujuannya adalah untuk merangsang konsumsi wisatawan asing. Namun para akademisi menilai, kondisi ketenagakerjaan dalam negeri yang tidak stabil serta penurunan harga properti yang melemahkan efek kekayaan membuat peningkatan konsumsi turis asing pun tidak mampu menutupi penurunan konsumsi secara nasional.
EtIndonesia. Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan PKT bersama lima lembaga lainnya mengeluarkan pemberitahuan tentang “Optimalisasi Kebijakan Pengembalian Pajak Keluar Negeri untuk Memperluas Konsumsi Masuk”, dengan menurunkan ambang batas bebas pajak dari RMB.500 menjadi RMB.200 dan langsung diberlakukan.
Pemberitahuan tersebut juga mendorong penambahan toko bebas pajak di pusat perbelanjaan besar, jalan-jalan pejalan kaki, destinasi wisata, museum, bandara, pelabuhan, hotel, dan lainnya. Selain itu, juga dilonggarkan syarat pendaftaran toko bebas pajak dan disederhanakan proses pengurusan pengembalian pajak.
Batas maksimal pengembalian pajak tunai dinaikkan dari RMB.10.000 menjadi RMB.20.000 , sedangkan metode pengembalian pajak lain tidak memiliki batasan jumlah.
Kebijakan ini ditujukan untuk warga asing dan penduduk Hong Kong, Makau, dan Taiwan yang tinggal di Tiongkok tidak lebih dari 183 hari.
Ekonom asal AS, Huang David, mengatakan bahwa Beijing sedang berupaya meningkatkan belanja turis asing di Tiongkok sebagai cara untuk mengkompensasi lemahnya permintaan domestik.
“Secara permukaan tampak seperti untuk mendorong belanja wisata, namun pada dasarnya ini adalah upaya mendesak untuk mengatasi lemahnya ekonomi domestik, penurunan ekspor, dan menurunnya jumlah pengunjung asing. Ini adalah strategi jangka pendek yang tidak biasa, bukan strategi terbuka jangka panjang yang penuh percaya diri,” katanya.
Sejak tahun lalu, pemerintah Tiongkok terus memperluas cakupan negara yang mendapat bebas visa sepihak. Namun jumlah wisatawan asing yang masuk belum kembali ke tingkat sebelum pandemi.
Baru-baru ini, sejumlah blogger mengunggah kondisi bandara yang sepi seperti di Bandara Hongqiao Shanghai, Bandara Internasional Xian Xianyang, Bandara Ibu Kota Beijing, dan Bandara Internasional Zhoushuizi Dalian, yang menunjukkan lesunya sektor pariwisata asing.
Data juga menunjukkan bahwa pengeluaran turis asing di Tiongkok pada tahun 2024 mencapai 94,2 miliar dolar AS, masih jauh di bawah angka 131,3 miliar dolar AS pada tahun 2019.
Pemerintah menyebut kebijakan bebas pajak baru ini sebagai “undangan hangat kepada wisatawan global”. Tarif bebas pajak sebesar 11% untuk barang umum dianggap sebagai potongan harga yang bisa merangsang minat belanja wisatawan asing dan mendukung kebangkitan “Belanja di Tiongkok”.
Profesor Sun Guoxiang dari Departemen Urusan Internasional dan Bisnis di Universitas Nanhua Taiwan menyatakan bahwa tempat utama wisatawan asing membeli barang mewah di Asia Pasifik adalah Jepang, Korea Selatan, dan Asia Tenggara. Kebijakan bebas pajak Tiongkok lebih ditujukan pada produk lokal seperti sutra, teh, keramik, dan barang budaya.
“Sebagian besar turis asing kurang familiar dengan produk nasional atau tren produk dari Tiongkok, dan daya tarik merek juga rendah. Kebijakan ini menargetkan turis yang tinggal tidak lebih dari 183 hari, sehingga cakupannya terbatas. Kebijakan ini mungkin hanya meningkatkan konsumsi masuk di kota tertentu seperti Shenzhen atau Shanghai, namun tidak cukup untuk mendorong permintaan domestik secara keseluruhan atau menjadi mesin utama peningkatan konsumsi,” ujarnya.
Biro Statistik Nasional Tiongkok merilis data terbaru pada 10 April yang menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (CPI) nasional turun selama dua bulan berturut-turut pada Februari dan Maret.
Nilai penjualan barang konsumsi di Beijing pada Maret mengalami penurunan 9,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Pendapatan dari sektor kuliner turun 3,1%, sementara penjualan ritel barang mengalami penurunan tajam sebesar 10,6%.
“Ekspektasi pendapatan masyarakat Tiongkok menurun, pekerjaan tidak stabil, utang rumah tangga yang tinggi membatasi ruang konsumsi, dan penurunan harga rumah memperlemah efek kekayaan. Kepercayaan konsumen rendah, mereka enggan mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Kelas menengah mulai beralih ke konsumsi hemat dan praktis. Jadi, meski belanja turis asing meningkat, itu tetap tidak cukup untuk mengimbangi penyusutan konsumsi nasional Tiongkok secara keseluruhan,” katanya.
Selama libur panjang Hari Buruh tahun ini, masyarakat dalam negeri cenderung memilih perjalanan jarak dekat atau destinasi dengan biaya rendah untuk menghemat pengeluaran.
Data dari Trip.com menunjukkan bahwa pencarian kota kecil meningkat 25% dibanding tahun lalu, lebih tinggi 11% dibanding kota besar. Beberapa daerah terpencil dengan biaya akomodasi rendah seperti Bortala di Xinjiang dan Pu’er di Yunnan menjadi pilihan populer bagi wisatawan beranggaran terbatas, dengan lonjakan pencarian lebih dari 50%.
Ekonom senior Bloomberg untuk Asia Pasifik, Zhu Yi, menilai bahwa data ekonomi terbaru menyoroti tekanan deflasi yang dihadapi Tiongkok. Seiring meningkatnya ketegangan dalam perang dagang Tiongkok-AS, risiko deflasi diperkirakan akan semakin memburuk. (Hui)
EtIndonesia. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada Sabtu (3 Mei) menyatakan bahwa Ukraina akan memberlakukan sanksi baru terhadap entitas di negara ketiga yang membantu Rusia. Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin pada Minggu menyatakan bahwa Rusia memiliki kekuatan untuk mengakhiri konflik Rusia-Ukraina dan ia berharap tidak perlu menggunakan senjata nuklir.
“Kami sedang menyusun paket sanksi—khususnya terhadap entitas dan program dari negara ketiga yang, sayangnya, membantu Rusia menghindari sebagian sanksi,” katanya.
Zelenskyy juga menyampaikan dalam pengarahan hariannya pada Sabtu bahwa Ukraina akan segera menerima solusi pertahanan penting dan akan menjalin kerja sama lebih lanjut dengan negara-negara kunci.
Ia menambahkan bahwa jika Rusia bersedia mengambil langkah yang setara untuk mencapai gencatan senjata minimal 30 hari, Ukraina siap “segera” menuju gencatan senjata.
Pada Jumat (2 Mei), Zelenskyy mengungkapkan bahwa ia sempat bertemu singkat dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Vatikan, dan mereka membahas sistem pertahanan udara serta sanksi terhadap Rusia. Keduanya sepakat bahwa kesepakatan gencatan senjata selama 30 hari bisa menjadi langkah awal untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin dalam wawancara terbarunya di televisi nasional pada Minggu (4 Mei) menyatakan bahwa ia berharap tidak akan pernah ada kebutuhan untuk menggunakan senjata nuklir.
“Rusia tidak perlu menggunakan senjata nuklir. Saya berharap situasi yang mengharuskan penggunaan nuklir tidak akan pernah terjadi,” ujarnya.
Putin menegaskan bahwa Rusia memiliki kekuatan dan cara untuk memastikan konflik dengan Ukraina berakhir sesuai dengan tuntutan Rusia, dan hal itu hanya soal waktu.
Sebelumnya, Rusia telah mengusulkan gencatan senjata selama tiga hari. Namun, pada Minggu, Ukraina menuduh Rusia kembali melancarkan serangan drone ke Kyiv pada dini hari, yang menyebabkan setidaknya 11 orang terluka, termasuk 2 anak-anak. Zelensky mengecam bahwa Rusia terus melakukan serangan setiap hari, dan menyebut tawaran gencatan senjata tiga hari itu sebagai tidak tulus.
EtIndonesia. Pada Minggu (4 Mei), pemberontak Houthi dari Yaman menembakkan sebuah rudal hipersonik ke arah Israel. Rudal tersebut jatuh di dekat bandara internasional yang sibuk di Tel Aviv, menyebabkan penerbangan sempat dihentikan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah akan melakukan tindakan balasan terhadap milisi Houthi.
Rekaman pengawas menunjukkan ledakan rudal yang menimbulkan asap hitam tebal membumbung ke udara.
“Kamu bisa melihat lubang besar di belakang kami, diameternya mencapai puluhan meter, dan kedalamannya juga puluhan meter,” kata Komandan distrik pusat Kepolisian Israel, Yair Herzroni.
Pada Minggu pagi, sebuah rudal balistik hipersonik jatuh di jalan raya dekat terminal utama Bandara Internasional Ben Gurion, Israel. Di lokasi terlihat puing-puing rudal dan tanah yang terhambur di jalan. Menurut otoritas darurat, ledakan ini menyebabkan 4 orang mengalami luka ringan, namun tidak ada korban jiwa atau kerusakan besar.
Saat ledakan terjadi, alarm meraung di udara bandara dan para penumpang diarahkan ke area aman. Meskipun bandara kembali beroperasi tak lama setelah penutupan sementara, sebagian besar maskapai dari Eropa dan Amerika Serikat membatalkan penerbangan mereka pada hari itu, menyebabkan banyak penumpang terlantar.
“Saya baru saja tiba di bandara dan mendapati penerbangan saya dibatalkan. Lufthansa, Swiss Air, dan Brussels Airlines semua membatalkan penerbangannya, jadi saya tidak bisa transit,” ujar Wisatawan asal Prancis, Skayms.
Pada hari yang sama, kelompok militan Houthi di Yaman mengklaim bertanggung jawab atas serangan rudal ke Bandara Ben Gurion tersebut.
Menurut sumber militer yang dikutip oleh The Times of Israel, sistem pertahanan udara jarak jauh Arrow milik Angkatan Udara Israel dan sistem pertahanan rudal THAAD milik AS gagal mencegat rudal tersebut—sebuah kejadian yang sangat jarang terjadi.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah akan bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk melancarkan serangan balasan terhadap kelompok Houthi, dan juga mengeluarkan peringatan kepada Iran, yang disebut sebagai dalang di balik aksi tersebut.
“Kami tidak akan mentolerir ini. Kami akan mengambil tindakan keras terhadap mereka (Houthi). Dan kami memberikan peringatan tegas kepada Iran: situasi ini tidak bisa terus berlanjut,” kata Netanyahu.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, juga menyatakan bahwa militer Israel akan membalas serangan ini dengan kekuatan tujuh kali lipat.
Kelompok Houthi di Yaman adalah organisasi pemberontak Syiah yang didukung oleh Iran. Sejak pecahnya perang Hamas-Israel, mereka mulai menyerang Israel dan kapal-kapal dagang di Laut Merah sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina di Gaza. Sejak Maret tahun ini, kelompok Houthi telah menjadi target serangan udara besar-besaran oleh Amerika Serikat. (Hui)
Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) pada 1 Mei secara langka merilis dua video berbahasa Mandarin yang secara terbuka mengajak para pejabat Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk membelot. Ini memicu perhatian luas publik. Mantan pejabat tinggi PKT, Du Wen, mengatakan bahwa dengan langkah besar ini dari AS, diyakini banyak pejabat tinggi PKT ingin membelot
EtIndonesia. CIA mempublikasikan dua video berbahasa Mandarin di platform media sosial, masing-masing menyoroti kegelisahan pejabat tinggi PKT karena konflik internal, serta ketidakpuasan pegawai level bawah terhadap sistem PKT. Video itu mendorong para pejabat membelot dan memberikan informasi rahasia PKT kepada CIA untuk mengubah hidup mereka.
Ini bukan pertama kalinya CIA melakukan hal serupa. Oktober tahun lalu, CIA juga merilis video dalam berbagai bahasa untuk merekrut informan dari empat negara yang disebut sebagai “poros kejahatan”: Tiongkok, Rusia, Iran, dan Korea Utara. Video tersebut mengajarkan cara berkomunikasi aman dengan CIA dan mendorong berbagi intelijen.
AS Membutuhkan Informasi Tingkat Tinggi dari PKT
Dalam suasana tegang perang dagang AS-Tiongkok, langkah CIA ini menarik perhatian internasional. Mantan Kepala Kantor Penasihat Hukum Pemerintah Daerah Mongolia Dalam, Du Wen, mengatakan kepada Epoch Times bahwa jika CIA dapat menjamin keamanan keluarga para pejabat PKT, maka diyakini banyak dari mereka akan membelot secara berkelompok.
Du Wen adalah mantan Direktur Eksekutif Kantor Penasihat Hukum Pemerintah Daerah Otonomi Mongolia Dalam (NTD)
Menurut Du Wen, langkah CIA kali ini memiliki dua tujuan: pertama, AS benar-benar membutuhkan intelijen dari PKT; kedua, ini adalah bentuk perang psikologis.
Ia menyatakan bahwa AS benar-benar perlu memahami Tiongkok karena PKT kini menggunakan pola pikir perang melawan AS. Sejak Perang Korea, belum pernah ada ketegangan seintens ini. Namun, sejak serangan 11 September 2001, fokus strategi AS beralih ke Timur Tengah dan terorisme, sementara PKT menggunakan seluruh sumber daya terbaiknya untuk melawan intelijen AS.
Pada 2010, jaringan intelijen utama CIA di Beijing sempat dibongkar.
Du Wen menambahkan, “Saya sering berhubungan dengan pihak AS dan mendapati bahwa mereka sangat kurang memahami PKT. Bahkan para akademisi ternama masih mempertanyakan apakah PKT adalah rezim otoriter atau otoritatif, padahal jelas itu adalah kediktatoran.”
CIA Memberi Jalan Keluar bagi Pejabat PKT
Banyak analis melihat bahwa video CIA tidak menekankan nilai-nilai demokrasi AS atau seruan revolusi, melainkan langsung menyentuh titik sensitif bagi pejabat di bawah rezim Xi Jinping—bagaimana menyelamatkan diri dan keluarga mereka. CIA bahkan menyampaikan bahwa membelot ke AS adalah bentuk ‘mengabdi’ pada tanah air, suatu strategi psikologis yang memicu keraguan terhadap sistem PKT di kalangan pejabat yang gelisah.
Du Wen menjelaskan bahwa video CIA juga merupakan strategi psikologis dalam permainan kekuatan antara AS dan Tiongkok. Menurutnya, tekanan antikorupsi yang ekstrem membuat pejabat hidup dalam ketakutan, bahkan di antara sesama pejabat.
“CIA memanfaatkan efek ketakutan dari pembersihan internal PKT,” katanya.
Ia menyatakan bahwa banyak pejabat sangat tidak puas dengan Xi Jinping, tetapi hanya bisa marah dalam hati karena masih harus pura-pura loyal.
“Saya bertemu banyak pejabat—yang masih aktif maupun yang sudah jatuh—semuanya benci Xi. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Dia masih berkuasa.”
Du Wen mengisahkan seorang teman pejabat setingkat wakil kepala kejaksaan provinsi yang mengeluh bahwa pekerjaannya hanya dipenuhi pertemuan dan pelajaran politik, tanpa waktu untuk memproses kasus. Semua hal harus dilakukan sendiri, tak bisa diwakilkan sekretaris, dan terus diawasi.
“Akan Ada Banyak Pejabat Tinggi Membelot”
Sejak masa “reformasi dan keterbukaan”, banyak pejabat tinggi PKT kabur ke luar negeri. Pada tahun 2011, media resmi melaporkan bahwa dalam 30 tahun terakhir, sekitar 4.000 pejabat kabur dengan rata-rata membawa RMB.100 juta per orang.
Dalam beberapa tahun terakhir, pelarian pejabat lebih terkait dengan penindakan politik rezim Xi. Untuk mencegah pelarian, pemerintah menarik paspor pejabat dan memeriksa koneksi luar negeri mereka, bahkan guru sekolah dasar dan menengah pun tak luput.
Du Wen menyebut bahwa saat ini seluruh sistem partai dan militer sedang diperiksa: siapa yang memiliki anak di luar negeri, paspor, dan hubungan asing.
Maret lalu, Du Wen bahkan membuat video YouTube berjudul “Panduan Kabur bagi Pejabat PKT.”
“Saya bisa bilang, jika CIA bisa mengatur keluarga para pejabat ini dengan baik, maka saya yakin akan ada gelombang besar pejabat tinggi yang membelot,” katanya.
Namun, ia mengakui bahwa secara teknis pelarian sangat sulit. Kebanyakan pejabat tua tidak bisa menggunakan teknologi untuk berkomunikasi aman, seperti menggunakan dark web. Banyak dari mereka menyimpan uang di rumah atau rumah sewaan karena tak bisa memindahkannya ke luar negeri, dan anak-anak mereka pun tak bisa keluar.
“Masalahnya sekarang, berapa banyak pejabat yang bisa diterima AS? Yang ingin lari banyak, tapi yang punya informasi berharga sangat sedikit,” ujarnya.
Informasi yang dicari adalah data militer, teknologi senjata, strategi pertahanan, bukan laporan ekonomi dari pejabat lokal seperti wakil gubernur provinsi. Bahkan informasi ekonomi pun perlu dianalisis oleh tim riset khusus.
Du Wen juga mengatakan bahwa sekarang banyak pejabat sengaja menghindari AS dan memilih kabur ke Australia, Selandia Baru, atau Kanada karena khawatir terlalu mencolok jika ke AS.
Runtuhnya PKT Butuh Kekuatan Eksternal
Menanggapi strategi CIA ini, Du Wen mengatakan dalam video YouTube-nya bahwa ini adalah “langkah mematikan terhadap Xi.”
Menurutnya, “benteng paling mudah runtuh dari dalam.” Ancaman terbesar bagi PKT berasal dari internal karena hanya orang dalam yang tahu kelemahannya.
Namun, ia menyatakan bahwa saat ini belum ada jalan keluar nyata, dan mengutip sejarah bahwa perubahan rezim di Tiongkok selalu dipicu oleh kekuatan luar.
Kata kuncinya, menurut Du Wen, adalah sikap pemerintah AS—apakah akan terus bersikap lunak dan permisif, atau mengambil sikap tegas demi tanggung jawab terhadap dunia dan rakyatnya sendiri. (Hui)
EtIndonesia. Rezim Komunis Tiongkok kini menghadapi tekanan luar biasa dari berbagai arah, sementara sekutu terdekatnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin, menunjukkan sinyal-sinyal melunak terhadap Amerika Serikat dan Ukraina. Ketegangan geopolitik ini memperlihatkan babak baru dalam dinamika global, dengan Donald Trump merancang strategi menghantam Rusia dan Tiongkok sekaligus.
Putin Bicara Damai: Taktik atau Sinyal Nyata?
Pada 4 Mei, saluran televisi nasional Rusia menayangkan film dokumenter khusus dalam rangka memperingati 25 tahun kepemimpinan Vladimir Putin.
Dalam tayangan itu, Putin menyampaikan pernyataan mengejutkan: “Rekonsiliasi dengan Ukraina tidak terhindarkan, hanya soal waktu.”
Pernyataan ini segera memicu spekulasi di kalangan analis politik. Banyak yang menilai ini sebagai manuver politik untuk menguji tanggapan dari Ukraina dan Amerika Serikat—apakah mereka bersedia memberikan konsesi, khususnya soal wilayah yang telah dikuasai Rusia.
Namun media Jerman Bild melaporkan bahwa para pemimpin Barat meyakini Putin tidak akan benar-benar menghentikan perang. Alasannya sangat mendalam dan sistemik.
Mengapa Putin Tak Bisa Hentikan Perang
Ada dua alasan utama yang membuat penghentian perang dianggap mustahil oleh para analis:
Tujuan Militer Belum Tercapai Gencatan senjata di tahap ini akan secara de facto dianggap sebagai kekalahan Rusia. Rezim Putin belum mendapatkan apa yang mereka targetkan secara strategis.
Ketergantungan Ekonomi terhadap Perang Ekonomi Rusia kini sangat bergantung pada industri pertahanan. Ratusan ribu warga Rusia, termasuk kelas menengah, kini hidup dari bayaran perang. Ini membentuk kelompok kepentingan tersendiri yang menjadikan konflik sebagai sumber penghidupan. Jika perang berakhir, seluruh struktur ekonomi dan sosial bisa runtuh.
Dengan demikian, perang menjadi alat Putin untuk mempertahankan kekuasaan dan menjustifikasi kontrol ketat terhadap rakyat Rusia.
Red Square 9 Mei: Ancaman Terbuka dan Pertahanan Udara Total
Menjelang parade militer besar Rusia di Lapangan Merah pada 9 Mei—yang kemungkinan akan dihadiri Presiden Xi Jinping—seruan keras muncul di media sosial agar Ukraina “menghabisi” para pemimpin yang hadir di lokasi tersebut. Meskipun tidak ada bukti bahwa seruan ini berasal dari otoritas resmi, dampaknya menimbulkan gelombang kecemasan besar.
Mengutip laporan dari Newtalk (belum terverifikasi), Rusia disebut telah menempatkan lebih dari 280 sistem pertahanan udara di sekitar Moskow, antara lain:
S-400
Pantsir-S1
Tor-M2
Buk-2N
Nebo-M
Bahkan pasukan dari Kazan dan Grozny dikabarkan telah dikerahkan ke ibu kota. Keadaan ini menciptakan atmosfer mencekam, seolah Rusia tengah bersiap menghadapi serangan skala penuh dari udara.
Trump Balik Arah: Rusia dan Tiongkok Kini Musuh Bersama
Menurut analis senior Wu Jialong, perubahan besar dalam strategi Amerika mulai terlihat jelas. Perjanjian baru antara Amerika Serikat dan Ukraina mengenai eksplorasi serta ekspor mineral strategis menjadi tanda bahwa Trump tidak lagi berusaha merangkul Rusia untuk melawan Tiongkok, melainkan menggabungkan keduanya sebagai musuh bersama dalam satu paket strategi global.
“Trump tidak lagi melihat Rusia sebagai alat melawan Beijing. Sekarang, keduanya adalah target bersamaan,” ungkap Wu.
CIA bahkan mengambil langkah ekstrem dengan merilis video perekrutan terbuka untuk agen intelijen di Tiongkok—sesuatu yang jarang terjadi secara publik. Langkah ini dianggap sebagai upaya memecah kesatuan internal Partai Komunis Tiongkok (PKT), menabur benih keretakan dari dalam.
Gejolak Internal di Tubuh PKT: Xi Jinping Tersudut
Sementara itu, krisis internal dalam elite Partai Komunis Tiongkok semakin dalam. Brigadir Jenderal (Purn.) Brian Holter dari Angkatan Udara AS, dalam tulisannya untuk Newsweek, menyebut bahwa PKT sedang menuju kehancuran dan Xi Jinping bisa jadi adalah pemimpin terakhir partai tersebut.
Menurut Holter, kampanye “pemberantasan korupsi” yang dijalankan Xi mulai berbalik arah dan justru menyasar faksi loyalisnya sendiri. Hingga kini, lebih dari 1.300 perwira dan 80 jenderal telah disingkirkan, termasuk tokoh-tokoh kunci di militer.
Salah satu nama yang muncul dalam pusaran ini adalah Jenderal Zhang Youxia, yang disebut-sebut sebagai otak di balik manuver pembersihan ini.
Ramalan Kuno dan Kudeta yang Ditakuti
Menariknya, Holter juga menyinggung “Tui Bei Tu”, kitab ramalan kuno dari Tiongkok, yang secara metaforis seolah menggambarkan skenario kudeta atau pembunuhan terhadap pemimpin tertinggi.
Salah satu baitnya berbunyi: “Seorang prajurit membawa busur… dari gerbang timur muncul panah emas… ksatria menyerbu istana dari belakang.”
Kalangan spekulan politik menafsirkan “busur” sebagai simbol Zhang Youxia, sementara “panah emas” diyakini sebagai simbol pemberontakan dari kalangan elite militer.
Strategi Ekonomi Trump: Runtuhkan PKT dari Dalam
Trump dikabarkan sedang menyusun strategi untuk menghantam Tiongkok bukan dengan senjata, tapi dengan melumpuhkan fondasi ekonominya. Holter mencatat, sejak masa jabatan sebelumnya, Trump berhasil memaksa lebih dari 10.000 pabrik di Tiongkok tutup, terutama di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou—yang kini dijuluki sebagai “kota mati.”
Pelabuhan-pelabuhan utama mengalami stagnasi. Protes pekerja meluas. Bahkan sejumlah pabrik dibakar oleh buruh karena upah tak dibayarkan selama berbulan-bulan.
Holter menyimpulkan bahwa senjata paling ampuh AS terhadap Tiongkok adalah menghentikan peran sebagai pasar utama bagi ekspor Tiongkok. Tanpa pasar Amerika, ekonomi Tiongkok dapat mengalami kehancuran lebih parah daripada efek Perang Dunia II.
Peringatan Terakhir: PKT Bisa Bertindak Gila
Meski strategi ekonomi dinilai efektif, Holter tetap memberi peringatan keras. Ketika rezim totaliter seperti PKT berada di ujung tanduk, tindakan nekat seperti meluncurkan serangan militer bisa saja dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dari keruntuhan dalam negeri.
Dengan tekanan dari luar dan dalam, serta ancaman dari rival-rival internal, posisi Xi Jinping dan rezim PKT saat ini benar-benar terjepit. Dunia kini menanti apakah Beijing akan bertahan, tunduk, atau justru meledak.
EtIndonesia. Pada 3 Mei, media India seperti Press Trust of India (PTI) dan Business Frontline melaporkan bahwa Menteri Pertahanan India, Rajnath Singh—yang sebelumnya dijadwalkan mewakili Perdana Menteri Narendra Modi dalam parade peringatan Hari Kemenangan Rusia pada 9 Mei—juga akan absen karena “kesibukan urusan dalam negeri”. Sebagai gantinya, Menteri Negara di Kementerian Pertahanan India, Sanjay Seth, akan menghadiri acara tersebut.
Menurut Business Frontline, seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri India menyebutkan bahwa meningkatnya ketegangan antara India dan Pakistan setelah serangan bersenjata di wilayah Kashmir yang dikuasai India—yang menewaskan 26 turis dan melukai 17 orang—merupakan salah satu alasan pembatalan. Singh juga dikabarkan tengah bersiap menghadiri pertemuan pertahanan bilateral dengan Jepang pada 5 Mei.
Sumber resmi pemerintah mengatakan kepada PTI pada 3 Mei bahwa Sanjay Seth kemungkinan besar akan berangkat ke Moskow untuk menghadiri peringatan tersebut mewakili Rajnath Singh.
Undangan Putin dan Sikap India
Rusia sebelumnya telah mengundang para pemimpin dari negara-negara sahabat untuk menghadiri parade militer besar-besaran dalam rangka memperingati kemenangan dalam Perang Patriotik Raya. PM Narendra Modi pun menerima undangan tersebut, namun memutuskan membatalkannya menyusul insiden penembakan di Kashmir. Bahkan, Modi mempersingkat kunjungan dua harinya ke Arab Saudi dan langsung pulang ke India untuk mengevaluasi situasi serta merumuskan respons nasional.
Insiden tersebut terjadi pada 22 April di daerah Pahalgam, Kashmir. India menuduh Pakistan terlibat dalam serangan tersebut. Sehari kemudian, India mengumumkan serangkaian langkah untuk “menurunkan” hubungan bilateral, termasuk menangguhkan Perjanjian Pemanfaatan Air Sungai Indus (ditandatangani tahun 1960), menutup pos perbatasan, dan mengusir staf diplomatik Pakistan. Sebagai respons, Pakistan juga mengumumkan tindakan balasan terhadap India.
Ketegangan di Perbatasan India–Pakistan
Dalam hampir dua pekan terakhir, hubungan India–Pakistan terus memburuk. Pada 4 Mei, militer India mengklaim bahwa tentara Pakistan menembaki pos penjagaan di sepanjang Garis Kendali (LoC) di Kashmir dari malam hingga pagi hari. India mengaku telah memberikan “respon yang setimpal”. Media India menyebut bahwa kontak senjata telah berlangsung selama 10 hari berturut-turut. Selain itu, The Times of India melaporkan bahwa kedua negara juga menggelar latihan militer dengan amunisi sungguhan di Laut Arab.
Diplomasi dan Reaksi Rusia
Hindustan Times melaporkan bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin merupakan salah satu kepala negara pertama yang mengutuk insiden penembakan tersebut. Pada 2 Mei, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengadakan pembicaraan melalui telepon dengan Menteri Luar Negeri India S. Jaishankar. Mereka membahas sejumlah isu penting dalam hubungan Rusia–India, termasuk meningkatnya ketegangan antara India dan Pakistan.
Lavrov menyerukan agar kedua negara menyelesaikan perbedaan melalui jalur diplomatik dan politik, berdasarkan Perjanjian Simla 1972 dan Deklarasi Lahore 1999. Dalam pembicaraan tersebut, Lavrov dan Jaishankar juga membahas agenda kunjungan tingkat tinggi mendatang antara kedua negara.
Diketahui bahwa Modi telah dua kali mengunjungi Rusia tahun lalu—pada Juli untuk kunjungan kenegaraan, dan Oktober untuk menghadiri KTT BRICS ke-16. Pada Desember, Rajnath Singh juga melakukan kunjungan ke Moskow dan bertemu dengan Menteri Pertahanan Rusia, Andrei Belousov untuk memperkuat kerja sama bilateral.
Modi telah secara resmi mengundang Presiden Putin untuk mengunjungi India tahun ini. Menurut kantor berita Sputnik, Juru Bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, menyatakan pada 17 April bahwa kunjungan Putin ke India sedang dipersiapkan, dan Moskow menaruh harapan besar terhadap pertemuan tersebut. Jika terlaksana, ini akan menjadi kunjungan pertama Putin ke India sejak meletusnya perang Rusia–Ukraina pada Februari 2022.
Pakistan Serukan Investigasi Internasional
Terkait insiden penembakan di Kashmir pada 22 April, Pakistan telah beberapa kali meminta penyelidikan internasional yang kredibel, transparan, dan netral. Pada 2 Mei, Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif menyatakan bahwa Pakistan tidak terlibat dalam serangan itu, dan menuduh India menuding tanpa bukti. DIa menyatakan bahwa Pakistan sedang berkomunikasi dengan negara-negara sahabat untuk menjelaskan posisinya.
Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Asif, dalam wawancara dengan media Rusia minggu lalu, mengusulkan agar Rusia dan Tiongkok dilibatkan dalam investigasi internasional atas serangan tersebut.
Menanggapi hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun, menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik segala upaya yang dapat meredakan ketegangan saat ini. Tiongkok mendukung penyelidikan yang adil dan sesegera mungkin. Sebagai negara tetangga yang bersahabat dengan India dan Pakistan, Beijing berharap kedua belah pihak menahan diri, saling mendekat, serta menyelesaikan perbedaan melalui dialog demi menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.(jhn/yn)
EtIndonesia. Di era globalisasi seperti sekarang, bepergian ke luar negeri telah menjadi bagian dari gaya hidup banyak orang. Bagi sebagian orang, bepergian sudah semudah pergi ke pasar. Namun, ada satu negara di dunia yang justru melarang wanita untuk ke luar negeri—negara itu adalah Belarus.
Nama “Belarus” mungkin mengingatkan kita pada “Rusia”, namun jangan salah, meskipun hanya berbeda satu kata, kedua negara ini sama sekali tidak sama. Belarus adalah negara merdeka dengan identitas tersendiri. Negara ini tidak sebesar Rusia, penduduknya pun relatif sedikit. Namun, satu hal yang membuat Belarus terkenal di mata dunia adalah: negaranya penuh dengan wanita cantik.
Wanita-wanita di Belarus dikenal memiliki ciri khas wajah yang sangat menawan—dagu runcing, hidung mancung, mata besar, kulit putih bersih—semua itu tampak alami tanpa perlu polesan makeup tebal. Kecantikan mereka sering membuat orang lain iri. Mengapa wanita Belarus begitu memesona? Jawabannya terletak pada darah “Slavia Asli” yang mereka miliki. Kata “putih” dalam nama Belarus bukan hanya merujuk pada warna kulit, tetapi juga melambangkan kemurnian dan keagungan bangsa ini.
Namun, meskipun mereka cantik alami, wanita-wanita Belarus tidak dengan mudah bisa bepergian ke luar negeri. Dahulu, wanita Belarus bebas bepergian, tetapi sejak tahun 2005, situasinya berubah.
Awal Mula Larangan Keluar Negeri
Kisahnya bermula pada tahun 2005. Saat itu, Presiden Belarus Alexander Lukashenko sedang melakukan inspeksi di ibu kota Minsk. Dia memperhatikan bahwa seluruh papan iklan di sepanjang jalan menampilkan wajah-wajah model asing. Dia pun bertanya kepada Wali Kota: “Kemana perginya wanita-wanita cantik kita?”
Sang Wali Kota menjawab: “Mereka pergi ke luar negeri untuk bekerja karena gaji yang ditawarkan perusahaan asing lebih tinggi.”
Lukashenko langsung mengambil keputusan: “Tidak! Wanita kita tidak perlu pergi ke luar negeri untuk mencari uang. Di dalam negeri juga banyak peluang.”
Ditambah lagi, Belarus saat itu sedang menghadapi tren pertumbuhan populasi negatif. Jika terlalu banyak wanita Belarus yang pergi ke luar negeri, jumlah populasi nasional akan semakin menyusut. Maka sejak saat itulah, wanita Belarus menjadi korban utama dari kebijakan “negara tertutup”.
Untuk pergi ke luar negeri, mereka harus mendapatkan izin khusus dari pemerintah.
Hukum dan Larangan Kaum Wanita Menikah dengan Warga Asing
Dalam peraturan resmi Belarus, para wanota dilarang keluar negeri tanpa izin khusus, dan tidak diizinkan menikah dengan warga negara asing untuk kemudian pindah ke luar negeri. Aturan ini terdengar sangat ketat bagi banyak orang, bahkan tak masuk akal di era modern. Namun, pemerintah Belarus punya alasan historis dan budaya yang mereka anggap sah.
Menurut mereka, kebijakan ini bertujuan melindungi hak dan keselamatan wanita Belarus, agar mereka tidak menjadi korban eksploitasi oleh individu atau sindikat di luar negeri.
Efek Langsung dari Kebijakan Ini
Meskipun terkesan kejam, larangan ini berhasil menurunkan kasus perdagangan manusia. Pada masa krisis ekonomi Belarus, banyak wanita tertipu oleh iming-iming pekerjaan di luar negeri, dan akhirnya terjebak dalam industri pelacuran karena tekanan ekonomi. Namun, sejak aturan diberlakukan tahun 2005, jumlah kasus perdagangan manusia turun drastis. Pada tahun pertama reformasi, jumlah kasus turun menjadi kurang dari 200, dan pada 2008, masalah ini nyaris sepenuhnya terkendali.
Ketimpangan Gender dan Harapan Pemerintah
Namun, kebijakan ini juga memunculkan masalah baru: ketimpangan gender yang serius. Populasi wanita di Belarus jauh melebihi laki-laki. Karena itu, meskipun wanita dilarang menikah dan tinggal di luar negeri, pemerintah Belarus justru mengundang pria asing untuk datang ke Belarus, menikah dengan wanita lokal, tinggal dan bekerja di sana, serta membentuk keluarga.Tujuan utamanya adalah meningkatkan angka kelahiran laki-laki, menjaga keseimbangan populasi, dan secara tidak langsung mendukung pembangunan nasional melalui stabilitas demografis.(jhn/yn)
“Menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pengambilan organ secara paksa adalah kewajiban moral,” kata salah satu sponsor rancangan undang-undang tersebut
Eva Fu – The Epoch Times
Pada 5 Mei 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat secara bulat menyetujui sebuah rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mengakhiri penganiayaan terhadap kelompok spiritual Falun Gong oleh rezim Tiongkok.
Rancangan undang-undang tersebut, yang diberi nama Falun Gong Protection Act (HR 1540), disahkan dengan dukungan bipartisan yang luas dan memuat ketentuan untuk menjatuhkan sanksi terhadap individu yang terlibat dalam pengambilan organ secara paksa dari praktisi Falun Gong.
Menurut isi undang-undang, sanksi akan dijatuhkan terhadap daftar warga negara asing “yang oleh Presiden ditetapkan telah secara sadar dan langsung terlibat atau memfasilitasi pengambilan organ tanpa persetujuan di Republik Rakyat Tiongkok.“
Sanksi tersebut meliputi larangan masuk ke wilayah Amerika Serikat, pembatalan visa, serta hukuman pidana berupa denda hingga 1 juta dolar AS dan hukuman penjara hingga 20 tahun, di antara sanksi lainnya.
Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Scott Perry selaku sponsor utama Falun Gong Protection Act, menyatakan bahwa “harus ada konsekuensi terhadap perilaku yang biadab dan mengerikan ini.”
“Amerika Serikat harus menjadi pemimpin dan menunjukkan jalan bagi dunia,” katanya kepada The Epoch Times. “Kita harus bertindak dan memaksa dunia untuk mengakuinya.”
Falun Gong adalah sebuah praktik spiritual yang melibatkan meditasi dan ajaran yang berlandaskan pada prinsip Sejati, Baik, Sabar . Sejak tahun 1999, Falun Gong mengalami penindasan keras di Tiongkok. Rezim Tiongkok menganggap popularitas Falun Gong sebagai ancaman, dan sekitar 70 hingga 100 juta praktisinya telah mengalami penangkapan, penahanan jangka panjang, kerja paksa, dan berbagai bentuk penyiksaan.
(Kiri) Dua orang polisi Tiongkok menangkap seorang praktisi Falun Gong di Lapangan Tiananmen di Beijing pada 10 Januari 2000. (Kanan) Polisi Tiongkok menahan seorang praktisi Falun Gong di Lapangan Tiananmen di Beijing, dalam foto ini. Chien-Min Chung / AP Photo, Minghui
Undang-undang Perlindungan Falun Gong mengarahkan Amerika Serikat untuk bekerja sama dengan sekutu dan lembaga multilateral guna meningkatkan kesadaran akan penganiayaan ini, serta mengoordinasikan sanksi dan pembatasan visa secara internasional.
Undang-undang ini juga menetapkan bahwa kebijakan AS adalah untuk tidak bekerja sama dengan Tiongkok dalam hal transplantasi organ selama Partai Komunis Tiongkok (PKT) masih berkuasa.
UU ini mengharuskan Menteri Luar Negeri AS, Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, serta Kepala Lembaga Kesehatan Nasional AS (NIH) untuk menyerahkan laporan dalam waktu satu tahun yang merinci kebijakan dan praktik transplantasi organ di Tiongkok.
Pada tahun 1999, praktisi Falun Gong ditangkap dengan kekerasan saat melakukan protes damai di Lapangan Tiananmen. (Minghui.org)
Laporan tersebut harus mencakup bagaimana kebijakan tersebut diterapkan terhadap praktisi Falun Gong dan tahanan hati nurani lainnya, termasuk estimasi jumlah transplantasi tahunan, waktu tunggu untuk memperoleh organ, dan sumber organ tersebut.
Laporan juga harus mencantumkan hibah dari AS selama satu dekade terakhir yang mendanai penelitian transplantasi organ di Tiongkok atau kerja sama antara lembaga Tiongkok dan AS.
Laporan itu juga akan menilai apakah penganiayaan terhadap Falun Gong oleh Beijing memenuhi syarat sebagai “kekejaman” di bawah Elie Wiesel Genocide and Atrocities Prevention Act of 2018.
“HR 1540 adalah langkah bersejarah—komitmen mengikat pertama dari Kongres untuk mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap penganiayaan dan pengambilan organ paksa terhadap praktisi Falun Gong,” kata Perry dalam pidatonya di sidang Kongres.
“RUU ini membuka jalan bagi akuntabilitas, sanksi, hukuman, dan pengakuan—pengakuan terhadap mereka yang turut serta dalam kekejaman ini.”
Perry mengatakan, dengan adanya penyelidikan, AS tidak akan lagi berpaling dari kenyataan.
“Kita tahu angka-angka itu tidak masuk akal,” ujarnya. “Segala bukti mengarah pada apa yang mereka lakukan, tetapi selama ini terlalu mudah bagi semua negara, termasuk AS, untuk menutup mata terhadap apa yang sebenarnya sedang terjadi—dan itu mengerikan.”
“RUU ini mengakhiri semua itu,” lanjutnya. “Ini menyatakan tidak ada lagi pembiaran, tidak ada lagi berdiam diri sambil terus membeli barang dan jasa dari komunis Tiongkok. Cukup sudah.”
‘Kewajiban Moral’
Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Gus Bilirakis, salah satu co-sponsor RUU dan anggota Komite DPR AS tentang Partai Komunis Tiongkok, menyebut undang-undang ini “sangat penting, mengingat catatan hak asasi manusia Partai Komunis Tiongkok yang mengerikan serta perlakuannya yang terus berlanjut terhadap Falun Gong dan kelompok agama minoritas lainnya.”
Rep. Gus Bilirakis (R-Fla.) berbicara pada pengarahan tentang penganiayaan terhadap Falun Gong di Capitol Hill di Washington pada 23 Mei 2023. (Madalina Vasiliu/The Epoch Times)
“Menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pengambilan organ paksa adalah kewajiban moral,” ujar Bilirakis kepada The Epoch Times. “Dengan melakukan hal ini, kita dapat mengambil sikap tegas terhadap kejahatan mengerikan yang melanggar kesucian hidup dan martabat manusia.”
Ia berharap undang-undang ini dapat membantu “mengubah perilaku PKT yang keji dan memberikan perlindungan yang lebih besar bagi mereka yang ditindas dan mengalami penyiksaan berat.”
“Dengan mempertanggungjawabkan para pelaku, kita tidak hanya melindungi mereka yang paling rentan, tetapi juga menegaskan hak dasar atas otonomi tubuh dan nilai-nilai kemanusiaan yang kita bagi bersama.”
Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Pat Ryan juga co-sponsor, mengatakan bahwa ia “bangga melihat dukungan bipartisan yang luas terhadap upaya ini.”
Perwakilan Pat Ryan (D-N.Y.) berbicara dalam sebuah rapat umum yang menyerukan diakhirinya penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong yang telah berlangsung selama 25 tahun oleh Partai Komunis Tiongkok di Tiongkok di National Mall di Washington pada 11 Juli 2024. Madalina Vasiliu / The Epoch Times
“Saya akan melakukan segala daya saya untuk membuat para pelaku perdagangan organ bertanggung jawab atas kejahatan mereka yang tak terkatakan,” ujarnya.
“Saya akan terus menyuarakan penolakan tanpa kompromi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan penganiayaan terhadap kelompok agama, di mana pun hal itu terjadi.”
Anggota Kongres AS dari Partai Republik Tom Tiffany menyatakan pentingnya untuk meminta pertanggungjawaban rezim Tiongkok.
“Penganiayaan PKT terhadap Falun Gong, termasuk penyiksaan dan pengambilan organ paksa, adalah tindakan biadab,” ujarnya. “Amerika Serikat tidak boleh mentoleransi kekejaman ini.”
Para anggota parlemen lainnya juga menyampaikan keterkejutannya atas penderitaan yang ditimbulkan oleh rezim tersebut.
“Selama 25 tahun, Partai Komunis Tiongkok telah menjalankan kampanye brutal terhadap praktisi Falun Gong—ditandai dengan penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan, dan praktik tercela berupa pengambilan organ paksa—semata-mata karena mereka menjalankan kepercayaan agamanya secara damai,” kata Anggota Kongres dari Partai Republik, Lance Gooden.
“Ini bukan hanya serangan besar terhadap kebebasan beragama, tetapi juga salah satu krisis hak asasi manusia paling mendesak di zaman kita.”
UU ini, lanjut Gooden, akan “menghadapi kekejaman ini secara langsung.”
“Tidak ada kelompok keagamaan mana pun yang seharusnya dianiaya dan diperlakukan sebagai bank organ bagi rezim totaliter.”
“Amerika Serikat harus memimpin dengan kejelasan moral dan berdiri tegas menentang kejahatan kemanusiaan PKT.”
Anggota Kongres dari Partai Republik, Burgess Owens menyebut pelanggaran hak asasi manusia yang menargetkan kelompok ini sebagai “mengerikan dan benar-benar jahat.”
Dengan mendukung dan ikut mensponsori UU ini, katanya kepada The Epoch Times, berarti *“berdiri membela kebebasan beragama dan martabat manusia”—*sebuah tindakan yang ia banggakan.
Kewajiban untuk Bertindak
Sesaat sebelum pengesahan Falun Gong Protection Act, DPR juga membahas RUU lain terkait penyalahgunaan pengambilan organ paksa.
Anggota Parlemen Chris Smith (R-N.J.) berbicara selama konferensi pers tentang Hong Kong di House Triangle di Capitol Hill di Washington pada 19 November 2024. Madalina Vasiliu/The Epoch Times
Anggota Kongres AS dari Partai Republik Chris Smith sponsor utama dari Stop Forced Organ Harvesting Act (HR 1503), menyatakan bahwa pemimpin komunis Tiongkok Xi Jinping dan rezimnya harus “memikul tanggung jawab atas salah satu kekejaman hak asasi manusia paling mengerikan di zaman kita—perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ, membantai dan membunuh mereka dalam prosesnya.”
“Pengambilan organ paksa adalah pembunuhan yang menyamar sebagai pengobatan,” katanya kepada The Epoch Times.
“Bayangkan apa yang akan Anda pikirkan jika Anda seorang pemuda Uighur atau praktisi Falun Gong yang diikat di ranjang operasi, digiring ke ruang pembantaian yang steril.”
“Dari semua kekejaman yang tak dapat dibayangkan yang dilakukan oleh PKT, ini adalah yang paling keji.”
RUU Stop Forced Organ Harvesting Act memiliki cakupan yang lebih luas untuk memerangi perdagangan organ internasional. Tujuannya termasuk mendorong sistem donor organ sukarela dengan mekanisme penegakan hukum yang efektif dalam perundingan bilateral dan forum kesehatan internasional, serta menghukum para pelaku—termasuk anggota Partai Komunis Tiongkok—atas tindakan ilegal tersebut.
RUU ini mengharuskan otoritas AS untuk mengevaluasi di setiap negara asing “pengambilan organ paksa dan perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ,” yang dapat melibatkan paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau pembelian persetujuan dengan uang, sebagaimana dijabarkan dalam undang-undang.
Di hadapan DPR AS, Smith mengutip Sir Geoffrey Nice, yang melakukan analisis hukum independen pertama di dunia atas kekejaman ini di Tiongkok. Analisis tersebut menemukan bahwa pengambilan organ paksa “terjadi di seluruh Tiongkok dalam skala yang signifikan.”
“Kejahatan terhadap kemanusiaan ini sangat kejam dan menyakitkan; antara dua hingga enam organ internal dari setiap korban diambil,” kata Smith.
Ia juga menyoroti bahwa korban bisa berasal dari komunitas Uighur yang sedang mengalami genosida di Xinjiang, serta dari praktisi Falun Gong “yang praktik meditasi damai dan kesehatan luar biasa membuat organ mereka sangat diincar.”
Beberapa anggota parlemen lain turut menyuarakan dukungannya terhadap RUU Smith.
“Ini adalah pasar gelap bernilai miliaran dolar yang dibangun dari pembunuhan,” kata Anggota Kongres dari Partai Republik, Brian Mast , ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR AS. “Ini adalah serangan langsung terhadap setiap prinsip martabat dan kemanusiaan.”
“Kepada para pelaku dalam industri biadab ini,” tambahnya, “RUU ini mengirim pesan: Kami akan memburu kalian.”
“Tubuh manusia bukanlah mata uang. Bukan komoditas. Tidak untuk diperjualbelikan. Pengambilan organ paksa adalah kejahatan murni—jika kita tidak bertindak, kita akan dianggap turut serta.”
Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Johnny Olszewski menyerukan rekan-rekannya untuk mendukung kedua RUU tersebut.
“Mengungkap kejahatan ini dan para pelakunya, serta mendorong akuntabilitas, sangat penting,” katanya.
Ia mencatat bahwa kewajiban pelaporan dalam Falun Gong Protection Act akan membantu Kongres memahami “cakupan kekejaman ini” dan menanganinya secara lebih efektif.
Meski kedua RUU ini pernah disahkan DPR pada periode Kongres sebelumnya, Senat tidak mengambil tindakan.
Anggota DPR Scott Perry (R-Pa.) berbicara kepada The Epoch Times setelah DPR dengan suara bulat mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Falun Gong, di Washington pada 5 Mei 2025.
Foto: Madalina Vasiliu/The Epoch Times
Perry dan Smith telah lama menyuarakan isu pengambilan organ paksa, dan merasa kecewa atas lambannya proses di Kongres.
“Dalam kurun waktu yang sama ini, kita tidak tahu berapa banyak orang yang telah menjadi korban program pengambilan organ paksa oleh Partai Komunis Tiongkok,” kata Perry. “Kita mungkin tidak akan pernah tahu.”
“Ini bukanlah solusi akhir, tapi Amerika Serikat harus bersuara lantang soal ini, dan ini adalah langkah menuju ke sana.”
Ia menyebutkan bahwa butuh waktu untuk mengedukasi orang tentang apa yang sedang terjadi. Namun, setiap kali ia mengangkat isu ini, semakin banyak koleganya yang mulai sadar.
“Reaksi pertama Anda pasti horor, bahwa ini benar-benar terjadi,” katanya. “Lalu, reaksi berikutnya adalah, mengapa tidak ada yang melakukan sesuatu? Bagaimana bisa ini dibiarkan? Maka, pada titik tertentu, itu menjadi kewajiban Anda.”
Perry dan Smith mendesak Senat untuk segera mengesahkan undang-undang tersebut.
“Apa yang kalian tunggu?” ujar Perry. “Apa alasan untuk menolaknya? Jika kalian khawatir terhadap hubungan Amerika dengan Partai Komunis Tiongkok, apakah itu berarti kalian ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kalian tidak masalah mereka membunuh orang dan mengambil organ mereka hanya karena mereka bisa?”
Jika Senat mengesahkan RUU ini, Perry yakin Presiden Donald Trump akan menandatanganinya dan “menciptakan ruang diskusi yang layak akan topik ini.”
“Ia akan memahami bahwa pengambilan organ seseorang secara paksa adalah hal yang tidak dapat diterima di level mana pun,” katanya. “Tidak ada penjelasan apa pun yang bisa membenarkannya.” (asr)
EtIndonesia. Pada tanggal 8 Mei, para duta besar dari Ukraina serta negara-negara lain dijadwalkan menghadiri upacara peringatan berakhirnya Perang Dunia II. Namun tahun ini, diplomat dari Rusia dan Belarus secara tegas tidak diundang untuk hadir dalam acara tersebut.
Meskipun tidak diundang, Duta Besar Rusia untuk Jerman, Sergey Nechayev, tetap datang. Dia membawa karangan bunga berwarna merah, biru, dan putih—warna bendera Rusia—dengan pita emas bertuliskan: “Kedutaan Besar Federasi Rusia”. Dia juga berusaha untuk menyampaikan pidato, namun pemerintah Jerman tidak mengizinkannya.
Padahal, pekan lalu Nechayev masih diizinkan meletakkan karangan bunga dalam acara peringatan 80 tahun pertemuan pasukan Soviet dan Amerika di Kota Torgau—sebuah konsesi yang diberikan dengan rasa berat oleh para pejabat kota. Kontroversi bahkan sudah dimulai sebelum Nechayev tiba. Pihak Rusia mengklaim telah “menerima undangan dari Kota Torgau”, namun pemerintah kota kemudian mengklarifikasi bahwa mereka tidak pernah mengirimkan undangan tersebut.
Larangan dari Pemerintah Jerman
Kementerian Luar Negeri Jerman sebelumnya telah memberikan rekomendasi untuk tidak mengundang perwakilan dari Rusia maupun Belarus. Dalam dokumen resmi yang bersifat rahasia, Kementerian Luar Negeri memberikan pedoman bagi pemerintah federal, negara bagian, dan kota untuk tidak mengundang perwakilan dari Rusia dan Belarus dalam acara peringatan. Selain itu, diplomat dari kedua negara tersebut juga tidak diizinkan menghadiri peringatan di Bundestag (parlemen Jerman) pada 8 Mei.
Jika perwakilan Rusia atau Belarus tetap muncul dalam acara resmi di wilayah Jerman tanpa pemberitahuan sebelumnya, maka pihak penyelenggara berhak mengambil tindakan yang dianggap perlu, termasuk pengusiran.
Namun, apakah larangan umum seperti itu benar-benar diperlukan?
Perdebatan Publik di Jerman
Mantan Presiden Bundestag, Norbert Lammert (dari partai CDU), menyampaikan keraguannya dalam program Berlin Direkt yang disiarkan ZDF, televisi nasional Jerman. Dia mengatakan bahwa keputusan akhir seharusnya berada di tangan panitia penyelenggara acara, meskipun arahan dari pemerintah pusat patut diperhatikan.
Lammert mengakui bahwa para penyelenggara memang harus mempertimbangkan perasaan tamu lain—khususnya warga Ukraina yang terdampak langsung oleh invasi Rusia.
“Sulit dibayangkan mereka harus memperingati akhir perang bersama para penyerang di masa kini,” katanya.
Namun, dia juga menekankan bahwa apa pun kondisi politik saat ini, seberapa menyakitkan atau brutal sekalipun, para korban perang tetap layak dihormati.
Rusia Mengecam, Medvedev Mencibir
Tanggapan dari media pemerintah Rusia pun langsung muncul. Mereka menunjukkan kemarahan dan mengejek keputusan pemerintah Jerman. Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, menyebut pengecualian terhadap Rusia dari peringatan di Bundestag sebagai “tindakan yang sangat sinis”.
Dalam pernyataannya yang kasar, Medvedev bahkan mengatakan: “Namun, para pengikut Nazi Bandera—yang berkembang biak seperti larva tifus—malah diperbolehkan hadir.”
Berlin Tetapkan 8 Mei sebagai Hari Libur Khusus
Sebagai bagian dari peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II, pemerintah Kota Berlin untuk pertama kalinya menetapkan tanggal 8 Mei sebagai hari libur resmi—meski hanya untuk satu kali. Langkah ini dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban perang dan penegasan terhadap nilai-nilai demokrasi yang lahir dari tragedi global tersebut.(jhn/yn)
EtIndonesia. Dalam catatan geologi, para ilmuwan telah menemukan bukti adanya beberapa kali kepunahan massal besar yang nyaris memusnahkan seluruh kehidupan di Bumi. Bukti-bukti tersebut mengindikasikan bahwa Bumi pernah mengalami bencana periodik yang sangat merusak, dan menjadi penyebab kehancuran peradaban-peradaban yang telah ada sebelumnya.
Kehancuran Peradaban Pra-Sejarah
Berdasarkan sejumlah temuan, diketahui bahwa peradaban manusia purba pernah beberapa kali musnah akibat bencana besar seperti gempa bumi, banjir besar, letusan gunung berapi, hantaman benda langit, pergeseran lempeng benua, perubahan iklim mendadak, bahkan ada dugaan akibat ledakan nuklir purba. Fakta ini memperkuat catatan dalam kitab suci Buddha yang menyebutkan bahwa peradaban di Bumi secara berkala akan musnah karena akumulasi karma kolektif umat manusia.
Dalam pandangan ilmiah modern, kemunculan tulisan dianggap sebagai penanda penting suatu peradaban. Umumnya, sejarah manusia dimulai dari saat tulisan ditemukan, sementara masa sebelum itu disebut sebagai masa pra-sejarah. Namun sejak abad ke-20, berbagai negara di dunia gencar melakukan penggalian arkeologis terhadap kebudayaan kuno, dan dari hasil selama lebih dari satu abad, ditemukan bahwa usia tulisan tertua yang diketahui tidak lebih dari 6000 tahun.
Ditemukannya Banyak Situs Pra-Sejarah
Dengan kemajuan teknologi, metode arkeologi pun semakin canggih. Hal ini memungkinkan para peneliti menemukan banyak situs purba di tempat-tempat yang sebelumnya tidak diperhatikan. Meski hingga kini kita belum sepenuhnya memahami arti dari benda dan situs-situs tersebut, satu hal yang pasti: apa yang ditemukan sangat bertolak belakang dari pandangan sejarah tradisional.
Sebagai contoh, lukisan gua bison di Gua Altamira, Spanyol Utara, menggunakan empat jenis warna dari pigmen mineral yang tidak mudah pudar meski telah berusia lebih dari 16.000 tahun. Penggunaan pigmen besi untuk warna merah, kuning, coklat, dan mangan dioksida untuk hitam, menunjukkan kemampuan artistik tinggi manusia kala itu serta ketersediaan alat dan teknologi yang canggih untuk zamannya.
Tahun 1938, arkeolog Tiongkok, Ji Putai dan timnya menemukan 716 cakram granit purba di Pegunungan Bayan Har, Qinghai, berusia puluhan ribu tahun. Tiap cakram setebal 2 cm memiliki pola melingkar menyerupai cakram laser modern, dengan simbol-simbol yang belum bisa dipecahkan.
Di Austria, California, dan Irlandia, ditemukan paku besi tertanam dalam lapisan geologi berusia lebih dari 10.000 tahun.
Peta dari Turki tahun 1559 secara akurat menggambarkan garis pantai Benua Antartika dan Samudra Pasifik Amerika Utara, serta hubungan geografis Siberia dengan Alaska, yang kini dikenal sebagai Selat Bering—wilayah yang terbentuk lebih dari 10.000 tahun lalu.
Kota-Kota yang Tenggelam di Dasar Laut
Di landas kontinen Kuba, ditemukan struktur bangunan purba seluas 5 hektare yang telah tenggelam hampir 10.000 tahun, lengkap dengan jalanan batu, pintu, ukiran, bahkan peti batu, layaknya dunia yang seluruhnya terbuat dari batu.
Tahun 1919, ditemukan kota bawah laut di wilayah Nan Madol yang masih terawat. Terdapat jalan, tiang, dan rumah batu berlumut karang, dibangun dari sekitar 400.000 blok batu basal yang masing-masing panjangnya 3,6–8 meter dan berat lebih dari 10 ton. Dinding sepanjang 875 meter dan tinggi 14 meter membentengi kota ini—yang telah tenggelam lebih dari 10.000 tahun lalu.
Ilmu Astronomi dari Suku Terasing
Pada 1930-an, ilmuwan Prancis menemukan suku Dogon di Mali, Afrika Barat. Meski hidup sangat primitif, suku ini mengetahui bahwa bintang Sirius memiliki dua satelit alami, salah satunya adalah Sirius B (disebut “Po Tolo” oleh mereka), yang merupakan bintang terkecil namun terberat, dan pernah meledak lalu memudar. Mereka juga tahu bahwa bintang itu berputar setiap 50 tahun dan memiliki bintang ketiga bernama Sirius C, terdiri dari air, ¼ massa Sirius B, dan juga berputar tiap 50 tahun. Pengetahuan astronomi mereka ini bahkan melampaui sains modern saat itu—dari mana mereka belajar?
Teknologi yang Bukan Milik Peradaban Kita
Sastrawan Inggris abad ke-18, Jonathan Swift, menulis bahwa Mars memiliki dua satelit, lebih dari 150 tahun sebelum astronom benar-benar menemukannya.
Di Tiongkok, pada awal 1960-an, ditemukan lukisan dinding di Xinjiang yang menggambarkan fase bulan secara berurutan, menunjukkan pemahaman astronomi lebih dari 10.000 tahun silam.
Padahal, dari zaman batu hingga saat ini, umat manusia baru membangun peradaban modern selama kurang dari 10.000 tahun. Maka jelas bahwa sebagian besar situs kuno ini bukan hasil karya peradaban kita saat ini. Banyak dari mereka bahkan belum bisa kita tiru dengan teknologi modern.
Teori Peradaban Pra-Sejarah yang Berulang
Karena banyaknya bukti nyata tersebut, beberapa ilmuwan mengajukan teori bahwa sebelum peradaban manusia sekarang, telah ada banyak peradaban manusia terdahulu di Bumi. Bukti arkeologis menunjukkan rentang waktu yang sangat luas dan berbagai artefak dari zaman yang sangat tua.
Contohnya, jejak kaki manusia bersepatu di atas fosil trilobit berusia 600 juta hingga 250 juta tahun, reaktor nuklir purba 2 miliar tahun lalu di Gabon, bola logam berusia 2,8 miliar tahun dari Afrika Selatan, serta berbagai peralatan batu dari periode berbeda yang tidak mungkin berasal dari satu zaman peradaban yang sama.
Inilah dasar munculnya teori “peradaban berulang”, yang menyatakan bahwa peradaban manusia telah beberapa kali muncul dan musnah di Bumi. Bukan sekali menuju kemajuan linear, tetapi mengalami siklus naik dan hancur karena bencana.
Bencana Global yang Menghancurkan Peradaban
Ilmu geologi modern mengonfirmasi bahwa Bumi memang pernah mengalami beberapa kepunahan massal, termasuk bencana yang meliputi gempa bumi, banjir, letusan gunung api, hantaman asteroid atau komet, pergeseran benua, dan perubahan iklim ekstrem.
Legenda benua Atlantis—sebuah peradaban maju—konon tenggelam sekitar 11.600 tahun lalu akibat gempa global dan membentuk wilayah Laut China Selatan saat ini, yang rata-rata hanya sedalam 60 meter, dengan puncak-puncak gunung menjadi kepulauan Indonesia.
Di pesisir Peru, di bawah laut sedalam 200 meter, ditemukan tiang dan bangunan batu yang rumit. Di Atlantik dekat Selat Gibraltar, berhasil diambil delapan foto reruntuhan kota kuno dengan tangga dan dinding batu—semuanya diduga tenggelam lebih dari 10.000 tahun lalu.
Di wilayah Segitiga Bermuda, ditemukan piramida besar bawah laut—sisa kejayaan peradaban purba yang lenyap.
Banjir Besar yang Melanda Dunia
Sekitar 12.000 tahun silam, peradaban sebelumnya diyakini hancur karena banjir global. Banyak bukti langsung dan tidak langsung ditemukan oleh para arkeolog dan antropolog budaya dari seluruh dunia. Ratusan mitos dan legenda dari berbagai bangsa menceritakan tentang bencana besar ini.
Setidaknya lebih dari 600 mitos tentang banjir besar telah dicatat, dari Tiongkok, Jepang, Malaysia, Laos, Thailand, India, Australia, Yunani, Mesir, berbagai suku Afrika, hingga penduduk asli Amerika Utara dan Selatan. Semuanya menyebut bahwa dunia pernah dihancurkan oleh banjir besar, dan hanya sedikit manusia yang selamat untuk memulai kembali peradaban baru. (jhn/yn)
EtIndonesia. Pada 28 April, setelah kandidat dari Partai Liberal, Mark Carney, memenangkan pemilu dan resmi memimpin pemerintahan di Ottawa, badai politik di Kanada tak kunjung mereda. Kini, sebuah “gempa” politik yang bisa mengguncang fondasi negara benar-benar sedang berkembang di Provinsi Alberta, wilayah barat Kanada. Sebuah gerakan kemerdekaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, telah berkembang dari sekadar aksi protes menjadi tindakan nyata.
Bulan ini, Alberta secara mengejutkan mengadakan referendum singkat, dan hasilnya menunjukkan: suara yang mendukung pemisahan diri dari Kanada ternyata sangat tinggi. Lebih mengejutkan lagi, sebuah delegasi dari Alberta kini dikabarkan tengah menjalin komunikasi dengan tim Presiden AS, Donald Trump, untuk mendiskusikan kemungkinan provinsi tersebut “bergabung dengan Amerika Serikat sebagai negara bagian ke-51”.
Menurut laporan Fox News, inisiatif ini dipelopori oleh seorang pengacara Alberta, Jeffrey Rath, yang memimpin kelompok advokasi yang sedang aktif mendorong Alberta untuk keluar dari federasi Kanada dan membentuk aliansi politik dan ekonomi yang lebih erat dengan Amerika Serikat—bahkan hingga bergabung langsung dengan AS.
Dalam wawancara eksklusif dengan Fox News pada malam 3 Mei, Rath mengungkapkan : “Faktanya, ada ratusan warga Alberta yang secara sukarela menghubungi kami untuk ikut dalam delegasi. Mereka sudah muak dengan sikap dingin dan penindasan dari para politisi di wilayah timur.”
Dia menegaskan bahwa kelompok mereka saat ini masih berukuran kecil dan bersifat “eksploratif”, bertindak sebagai komite panduan awal. Rencananya, mereka akan melakukan kunjungan ke Washington untuk berdialog langsung dengan perwakilan dari kubu Trump. Tujuannya: membahas masa depan Alberta, apakah akan berdiri sebagai negara berdaulat atau bergabung ke dalam Amerika Serikat dan merasakan manfaat sistem konstitusi dan ekonomi AS.
“Trudeau dan Carney saat ini pusing menghadapi masalah perdagangan dan pajak karbon. Bahkan Carney berencana menaikkan pajak karbon sebesar 21% mulai April lalu,” kata Rath dengan nada geram. “Ini penghinaan bagi rakyat Alberta yang bekerja keras. Mereka bahkan sudah kesulitan membayar biaya pemanas saat musim dingin, apalagi harga bahan bakar untuk mobil dan truk.”
Identitas Budaya: Alberta Merasa Lebih Dekat ke AS?
Menurut Rath, Alberta sejak lama mengalami keterputusan budaya dan nilai-nilai dengan provinsi-provinsi timur Kanada—khususnya Quebec dan Ontario.
Dia mengatakan: “Kami lebih merasa senasib dengan warga Montana di selatan ketimbang dengan para politisi Ottawa yang tidak mengerti siapa kami.”
Rath bahkan secara terbuka menyerukan kepada Donald Trump: “Tolong dukung hak Alberta untuk menentukan nasib sendiri. Kami tahu Anda pernah menyatakan dukungan untuk Greenland. Kami berharap Anda juga bisa memenuhi janji yang sama kepada kami. Alberta akan menjadi mitra terbaik bagi Amerika Serikat dalam membangun masa depan yang makmur.”
Saking antusiasnya pembicaraan, pembawa acara Fox News sempat berseloroh: “Kalau semua ini terjadi, Anda mungkin akan jadi gubernur negara bagian ke-51.”
Rath hanya tertawa dan menjawab: “Saya tidak punya ambisi politik. Saya hanya ingin hidup tenang bersama istri dan anak-anak saya di peternakan.”
Akar Gelombang Kemerdekaan: Kekecewaan Mendalam pada Pemerintah Pusat
Perlu dicatat bahwa referendum ini bukanlah gerakan yang muncul tiba-tiba. Alberta selama bertahun-tahun merasa dieksploitasi dan diabaikan oleh pemerintah federal, terutama dalam kebijakan energi dan perpajakan. Kini, dengan Mark Carney menjadi perdana menteri baru yang mendukung kuat “ekonomi hijau”, Alberta yang sangat bergantung pada minyak dan gas alam, melihat masa depan ekonominya terancam.
Pengamat politik mengingatkan bahwa Carney pernah menjadi utusan iklim untuk PBB dan selama kampanye sangat vokal mendukung pajak karbon dan pelarangan eksplorasi minyak. Jika kebijakan-kebijakan ini dijalankan dalam masa awal pemerintahannya, bukan tidak mungkin gelombang separatisme di Alberta akan semakin kuat dan memicu provinsi lain seperti Saskatchewan dan British Columbia untuk ikut mempertimbangkan opsi yang sama.
Kesempatan Trump? Peta Politik Amerika Utara Bisa Berubah
Donald Trump dalam beberapa kesempatan pernah menyatakan bahwa jika ada provinsi dari Kanada yang bersedia bergabung, maka Amerika Serikat siap menyambut mereka sebagai negara bagian baru. Kini, pernyataan itu bukan lagi terdengar seperti candaan atau sekadar simbol politik.
Informasi yang beredar juga menunjukkan bahwa beberapa negara bagian AS seperti Texas dan Montana mendukung ide ini. Mereka menilai, bergabungnya Alberta akan memperkuat ketahanan energi nasional AS dan memperkuat pertahanan di wilayah utara yang berbatasan langsung dengan Kutub Utara, yang memiliki nilai strategis tinggi.
Namun, secara konstitusional, proses ini tidak sederhana. Setiap wilayah yang ingin bergabung dengan AS harus disetujui oleh mayoritas di Dewan Perwakilan dan Senat AS. Bahkan jika Trump kembali menjabat sebagai presiden, jalan untuk merealisasikan hal ini akan penuh rintangan dan membutuhkan dukungan politik besar.
Jika Alberta Bergabung dengan AS, Apa Dampaknya bagi Dunia?
Jika Alberta benar-benar keluar dari Kanada dan menjadi bagian dari Amerika Serikat, maka akan terjadi pergeseran geopolitik besar-besaran di kawasan Amerika Utara. Luas wilayah AS akan melampaui Kanada, menjadikannya negara terbesar kedua di dunia setelah Rusia. Cadangan energi dan kekuatan ekonomi AS juga akan meningkat tajam.
Sebaliknya, Kanada akan kehilangan provinsi kaya minyaknya, dan dampaknya bisa sangat merugikan perekonomian nasional. Resesi bisa melanda, dan rasa ketidakpuasan bisa menyebar ke provinsi lain, memperbesar risiko disintegrasi Kanada.
Sejak tahun 1980-an, wacana separatis di Alberta sudah pernah muncul lewat Partai Kemerdekaan Alberta. Namun kini, dengan munculnya faktor eksternal seperti Trump dan kondisi ekonomi-politik saat ini, Alberta seolah benar-benar berdiri di persimpangan sejarah. Gerakan ini bukan hanya tentang satu wilayah yang ingin merdeka—ini bisa menjadi awal dari runtuhnya sistem federal Kanada.
Hambatan Berat untuk Kemerdekaan atau Bergabung dengan AS
Namun, perlu diingat, Alberta menghadapi rintangan hukum dan kenyataan politik yang sangat berat. Konstitusi Kanada tidak mengizinkan satu provinsi secara sepihak keluar dari federasi. Bahkan jika referendum dilakukan, hasilnya tidak mengikat secara hukum kecuali melalui perundingan federal dan proses amandemen konstitusi—yang secara praktis hampir mustahil.
Pemerintah federal dipastikan akan menolak dan bisa saja mengambil langkah represif, seperti membekukan dana provinsi. Di sisi lain, jika Alberta ingin bergabung dengan AS, itu juga harus melalui persetujuan dua kamar Kongres AS, dan tidak semua pihak di Amerika mendukung. Partai Demokrat dan sejumlah politisi moderat mungkin menolak.
Jika Alberta berdiri sebagai negara merdeka, fia juga akan menghadapi tantangan besar: membangun sistem keuangan baru, perpajakan, serta ketergantungan pada provinsi tetangga untuk ekspor energi. Selain itu, tidak semua warga Alberta setuju dengan pemisahan. Masyarakat adat secara umum menolak karena merasa memiliki hubungan istimewa dengan pemerintah federal Kanada.
Bahkan jika Alberta berhasil keluar, pengakuan internasional atas negara baru ini belum tentu diberikan. Negara tersebut bisa saja mengalami isolasi diplomatik dan bahkan mendorong tren disintegrasi serupa di negara-negara lain—sesuatu yang bisa membawa ketidakstabilan di tingkat regional maupun global.(jhn/yn)
EtIndonesia. Seorang wanita merasa takut akan keselamatannya setelah suaminya yang kasar menuangkan bahan kimia ke matanya.
Pada tahun 2024, Heather Cornelius membuat halaman TikTok tempat dia memutuskan untuk menceritakan kisahnya tentang kekerasan dalam rumah tangga. Dia membagikan video pertamanya pada bulan Oktober, yang kemudian menjadi viral dan ditonton lebih dari 15 juta kali.
Dalam klip tersebut, Heather membahas tentang tahun-tahun kekerasan yang dialaminya di tangan suaminya, yang telah dinikahinya selama lebih dari 11 tahun.
Dia menggambarkan dirinya sebagai ‘kasus ekstrem’ mengingat satu insiden tertentu di mana pasangannya menuangkan bahan kimia langsung ke matanya yang menyebabkan kelopak matanya ‘meleleh’.
“Saya yakin saya akan mati,” kenangnya tentang momen mengerikan itu. Heather kemudian membutuhkan lima operasi rekonstruksi sebagai akibat dari serangan suaminya terhadapnya.
Serangan itu terjadi pada bulan November 2022 setelah Heather mencoba pergi, tetapi pasangannya mengancamnya sehingga dia pulang. Saat itulah dia memerintahkannya untuk berbaring dan dia melakukan serangan kimia.
Berbicara kepada PEOPLE tentang insiden mengerikan itu, Heather berkata: “Punggung saya berbalik dan dia berkata, ‘Berbaringlah di lantai.’ Saya tidak meminta apa pun, saya tidak mencoba melawan. Pada saat itu, ketika dia menyuruh saya melakukan sesuatu, saya melakukannya hanya untuk menyelesaikannya.
“Jadi saya melakukan apa yang dia katakan. Ketika saya mendongak, saya melihat dia mengenakan sarung tangan biru dan wadah putih. Saya mencoba untuk duduk, dia mendorong saya kembali ke bawah. Dan dia mulai menuangkan sesuatu ke mata kanan saya.”
Heather, yang diperkirakan tinggal di Kansas pada saat itu, melanjutkan dengan mengatakan bahwa rasa sakit yang dialaminya tak terlukiskan.
“Saya memohon padanya untuk berhenti dan berteriak,” lanjutnya. “Saya tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan. Demi Tuhan, Tuhan mengizinkanku meninggalkan tubuhku sejenak untuk bertahan hidup.
“Dia bilang kalau aku tidak diam, dia akan membunuhku. Jadi aku diam saja, lalu dia mulai menuangkannya ke mata kiriku. Dan selesailah sudah.”
Heather tidak bisa melihat selama beberapa bulan dan, akhirnya, mata kanannya harus ditutup dengan operasi.
Kemudian, pada Mei 2023, suaminya ditahan tetapi dibebaskan setelahnya. Dia kemudian pindah ke Alaska, sementara polisi mencoba membangun kasus terhadapnya.
Namun, sayangnya, Heather tidak pernah mendapatkan keadilan yang pantas diterimanya karena pada November 2023, dia diberi tahu bahwa suaminya telah meninggal.
Meskipun menghadapi kesulitan, Heather mengatakan dia dalam keadaan yang baik sekarang.
“Saya merasa mungkin saya berada dalam kondisi pikiran terbaik yang pernah saya alami,” ungkapnya.
“Saya punya terapis tetap, anak-anak saya menjalani terapi dan mereka berprestasi baik di sekolah. Saya membeli rumah dan mengerjakannya sendiri.”
Dia menambahkan bahwa dia ‘menantikan untuk bangun setiap hari’. (yn)