Memulihkan Kebenaran
Tembok Berlin telah menjadi peninggalan sejarah. Mengapa dalam sejarah muncul Tembok Berlin yang memisahkan Jerman menjadi dua negara barat dan timur? Sebenarnya, Korea Selatan dan Korea Utara yang muncul pada saat yang hampir bersamaan hingga kini masih terpisah dengan Garis Demarkasi Militer.
Semua ini adalah akibat dari perebutan lingkup pengaruh antara kubu Komunis Timur dengan kubu Kapitalis Barat pasca PD-II. Sedangkan pemisahan pemerintahan daratan Tiongkok dengan Taiwan yang dipisahkan oleh Selat Taiwan juga disebabkan oleh alasan yang sama.
Sejak 1949 hingga kini, perseteruan kedua wilayah di Selat Taiwan telah berlangsung lebih dari 70 tahun. Cita-cita PKT “membebaskan Taiwan” yang selama ini selalu diagung-agungkannya namun hingga kini belum juga terwujud. Sementara rencana Taiwan “menyerang kembali ke daratan” juga telah dikesampingkan. Tapi pergumulan yang menegangkan antara kedua daratan tidak pernah terputus. Sedikit saja ada pergerakan pada rezim kedua daratan dan situasi internasional, maka krisis Selat Taiwan pun akan bergejolak seperti seismograf.
Faktanya, masalah Taiwan berlanjut hingga sekarang, tidak hanya menyangkut kompetisi antara kedua daratan saja, melainkan juga menyangkut duel hidup dan mati antara kubu Barat dengan kubu Timur.
Diktator totaliter di Tiongkok daratan dengan demokrasi kebebasan di Taiwan adalah dua macam sistem pemerintahan yang saling berseberangan. PKT memprakarsai resolusi pemersatuan “satu negara dua sistem”, yang sejak awal merupakan suatu penipuan yang tidak bisa diwujudkan.
Pemimpin PKT Xi Jinping beberapa tahun terakhir ini mengemukakan konsep “Timur bangkit Barat runtuh”, yang maksudnya adalah PKT melambangkan kebangkitan kubu komunis Timur, sedangkan AS melambangkan kubu demokrasi Barat yang sedang runtuh. Ini seakan kembali ke masa Mao Zedong pada November 1957 lalu yang mengatakan “angin Timur menekan angin Barat”, sikap PKT hendak berkonfrontasi dengan Barat masih tetap seperti dulu.
Seorang jenderal anti-komunis AS yang terkenal yakni jenderal bintang lima Douglas MacArthur pernah menjuluki Taiwan dalam melawan PKT sebagai “kapal induk yang tidak tenggelam”. Sebagai negara demokrasi baik secara geopolitik maupun secara nilai-nilainya Taiwan adalah garis terdepan konfrontasi antara Barat melawan PKT.
Chiang Kai-Shek Menghadang “Bencana Merah”, Lindungi Taiwan
Banyak orang mengatakan, Chiang Kai-Shek dikalahkan oleh Mao Zedong dalam perang saudara di Tiongkok, lalu diusir ke Taiwan. Sebenarnya, kekalahan perang itu selain ada sejumlah faktor pasukan Partai Nasionalis sendiri, tapi alasan utamanya bukan karena Chiang Kai-Shek.
Tanpa adanya dukungan dari Tentara Jepang dan Pasukan Komunis Stalin, PKT sama sekali tidak mungkin bisa mengalahkan Partai Nasionalis. Chiang Kai-Shek berhasil mempertahankan Taiwan sebagai tanah kebebasan terakhir bangsa Tionghoa di bawah gempuran gabungan kekuatan dalam maupun luar negeri, adalah hal yang tidak mudah.
Bicara soal perang, sebenarnya Mao Zedong tidak memiliki keunggulan apapun. Sebelum perang melawan agresi Jepang, sebanyak 300.000 orang Tentara Merah telah dibuat kocar kacir oleh pasukan Chiang Kai-Shek, dan ambyar tercerai berai, hingga akhirnya hanya tersisa 20.000 orang bersembunyi di Provinsi Shaanxi Utara. Kemudian perang melawan Jepang meletus di seantero negeri, memberikan kesempatan bagi pasukan PKT untuk memulihkan diri dan memperkuat pasukannya. Dalam perang 8 tahun melawan Jepang itu pasukan pemerintahan Nasionalis pimpinan Chiang Kai-Shek telah terkuras habis staminanya.
PKT memanfaatkan waktu 8 tahun dimana Pasukan Pemerintah Nasionalis yang sedang sibuk melawan Jepang, menambah pasukannya dari yang tadinya tersisa 20.000 orang menjadi 120.000 orang, bahkan juga menguasai daerah basis yang berpenduduk lebih dari seratus juta jiwa.
Pemimpin PKT Mao Zedong pernah berulang kali berterima kasih atas agresi Jepang terhadap Tiongkok, ia bahkan menolak ganti rugi perang berjumlah sangat besar yang akan dibayarkan oleh Pemerintahan Jepang pasca perang. Mengutip kata-kata Mao Zedong: “Tanpa pasukan imperial kalian, tak mungkin kami dapat merebut kekuasaan.”
Sebenarnya Mao paling ingin berterima kasih pada Uni Soviet yang telah membesarkan PKT. Sebelum perang melawan Jepang, PKT selalu menyebut dirinya adalah Republik Soviet Tiongkok. Seumur hidup Mao Zedong hanya dua kali ke luar negeri, dan keduanya adalah pergi ke Uni Soviet, di akhir 1949, ia pertama kali ke Uni Soviet adalah dalam rangka memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada mentornya yakni Stalin.
Pakar militer RRT berpangkat Mayor Jenderal yakni Jin Yinan dalam bukunya mengakui, waktu itu PKT hijrah ke utara adalah untuk menyambut Uni Soviet. Penasihat militer dari Komunis Internasional yang ditempatkan pada Tentara Merah yakni Otto Braun dalam bukunya juga menuliskan, pemimpin PKT yang pada waktu itu berseru “melawan Jepang di utara”, sebenarnya sama sekali tak pernah terpikirkan melawan Jepang di utara. Faktanya, daerah yang didatangi oleh Tentara Merah sama sekali tidak ada pasukan Jepangnya.
Setelah PD-II berakhir, sebelum Tentara Merah Uni Soviet yang dijuluki “bencana Merah” oleh orang Eropa itu ditarik mundur dari kawasan Timur Laut (Dongbei, dulu disebut daerah Manchuria, red.) Tiongkok, sejumlah besar persenjataan milik tentara Jepang di kawasan yang berhasil disita diserahkan kepada pasukan komunis, dengan demikian telah membantu PKT merebut wilayah basis, dan menciptakan kondisi yang memudahkan bagi perang saudara. Setelah itu Tentara Merah Soviet pergi, tapi “bencana Merah” yang ditinggalkannya justru menyebar ke seluruh Tiongkok.
Ulanhu yang dijuluki “Raja Mongolia” bisa menjabat hingga posisi wakil kepala negara di dalam sistem PKT, dan merupakan jabatan tertinggi yang dipegang oleh pejabat dari kaum minoritas, semua ini adalah berkat wilayah Mongolia yang berbatasan langsung dengan Uni Soviet, telah membantu PKT bisa terhubung langsung dengan bantuan dari komunis Soviet, selain menyelamatkan PKT, juga membangun pondasi bagi PKT untuk merebut hasil rampasan perang untuk mengobarkan perang saudara.
Kalahnya Chiang Kai-Shek hingga harus mundur ke Taiwan, sebagian juga merupakan tanggung jawab AS. Pasukan AS pernah mengirim tim pengamat ke Yan’an (ibu kota pasukan komunis Mao waktu itu), AS tidak bisa menentukan sikap antara berpihak pada Chiang atau Mao, bahkan terus menekan Chiang Kai-Shek agar mau berunding dengan Mao Zedong. Setelah perang saudara itu meletus, pasukan AS dalam posisi diam mengamati, bukan hanya tidak membantu Chiang memberantas “bencana Merah”, sebaliknya juga membiarkan komunis Soviet membantu “adik kecilnya” PKT untuk terus tumbuh besar setahap demi setahap.
Pada Oktober 1949, pasukan Chiang Kai-Shek yang terdesak setelah tiga hari bertempur sengit berhasil membinasakan lebih sepuluh ribu pasukan komunis yang menyerang Pulau Kinmen (garis terdepan dari otoritas Taiwan) di malam hari, serta berhasil membalikkan situasi dan memenangkan “Perang Ku-Ning-Tou”. Kemenangan perang di Kinmen inilah yang menjadi landasan sejarah pemisahan kedua daratan ini, sehingga telah mempertahankan Taiwan, dan tidak membiarkannya jatuh ke tangan kubu komunis.
Gegara Kabut Misterius Dinasti Merah, Taiwan Sempat Goyah
Setelah kalah telak di Pulau Kinmen, PKT sempat mengumpulkan 150.000 pasukan untuk kembali menyerang Taiwan, tetapi karena meletusnya Perang Korea pada Juni 1950, penyerangan itu dibatalkan. Perang Korea baru saja dimulai, panglima tertinggi pasukan AS di kawasan Asia Pasifik yakni Jenderal MacArthur datang ke Taiwan, dan membicarakan rencana besar melawan komunis dengan Chiang Kai-Shek.
Sebelumnya Chiang Kai-Shek telah berjanji pada Panglima macArthur akan mengirim pasukan membantunya dalam Perang Korea, dan sekaligus membuat rencana menyerang kembali ke Daratan Tiongkok, sekaligus merebut kembali pemerintahan, namun rencana itu dihentikan oleh Presiden Truman yang berhaluan kiri. Kemudian bahkan Jenderal MacArthur dicopot jabatannya.
Presiden Truman mengumumkan sikap netral dalam masalah di Selat Taiwan, serta mengutus armada ketujuh AS berpatroli di Selat Taiwan, yang dikatakan untuk mencegah pasukan komunis menyerang Taiwan, namun maksud sebenarnya adalah untuk mencegah MacArthur diam-diam mendukung Chiang Kai-Shek menyerang daratan atau ikut terjun ke Perang Korea.
Truman yang berniat menjabat kembali pada 1952 berupaya menyelesaikan Perang Korea sebagai kampanyenya, dan secara diam-diam ia berunding dengan Inggris dan Prancis yang pernah berkompromi dengan NAZI (pada awal PD-II), beserta PKT dan Uni Soviet, menandatangani perjanjian sesuai dengan kemauan PKT yakni, menyerahkan kedaulatan Taiwan ke tangan PKT. Beruntung, kabar tersebut segera bocor ke publik, dan konspirasi itu pun tidak terlaksana.
Negara Eropa Barat dan pemerintahan sayap kiri AS acap kali memiliki kesadaran yang kacau balau terhadap bahaya laten rezim komunis, terkadang bahkan berkhayal kaum komunis akan bertobat. Ada pula sebagian orang Amerika yang secara tak sadar termakan oleh propaganda palsu PKT.
Tiga orang Wartawan Merah AS yang diberi inisial “3S” oleh PKT yakni Edgar Snow, Agnes Smedley, dan Anna Louise Strong sejak sebelum terjadi perang saudara antara kaum nasionalis dengan komunis sudah berkunjung ke “ibukota Merah” yakni Yan’an, dan selalu memuji rezim PKT, membawa kabut misterius kemerahan yang membingungkan di dalam maupun luar negeri AS.
Pasca Perang Korea hubungan antara PKT dengan Uni Soviet kian renggang, bahkan terus memburuk. Demi menggandeng Beijing melawan Uni Soviet, AS perlahan-lahan mendekat pada PKT, hingga tiba 1972 saat Presiden Nixon berkunjung ke Tiongkok, hubungan kedua negara resmi mencair.
Sebelum Nixon berkunjung ke Taiwan, PKT telah menggantikan posisi Taiwan di PBB. Pada 1979, hubungan diplomatik RRT dengan AS semakin hangat. Setelah Beijing dan Barat semakin akrab, dengan sendirinya Taiwan pun telah dikucilkan. Sejak era 1960-an, posisi Taiwan secara internasional dan hubungan diplomatiknya dengan AS selalu goyah dan dalam kondisi krisis.
Akan tetapi, kedekatan Beijing dengan AS tidak membuat RRT melangkah menuju kebebasan dan demokratisasi seperti yang diharapkan oleh AS, ternyata itu hanya semacam cara Front Persatuan, yang memanfaatkan AS untuk memperkuat PKT, padahal sejak awal PKT selalu menganggap AS sebagai musuh bebuyutannya.
Mao Zedong yang “menentang AS membantu Korut (dalam Perang Korea)” mendekati AS, adalah intrik politiknya yang bertujuan untuk melepaskan ancaman Uni Soviet; Deng Xiaoping yang menekan Gerakan Tiananmen 4 Juni 1989 belajar dari AS, ia hendak keluar dari kesulitan ekonomi dengan low profile, karena Deng menemukan, semua negara yang sejalan dengan AS menjadi makmur, sementara negara yang sejalan dengan Uni Soviet menjadi miksin; Jiang Zemin yang menindas Falun Gong walaupun memuja Barat dan xenofobia, suka memamerkan kemampuan bahasa asingnya, namun ia adalah seorang diktator yang dibina oleh komunis Soviet, ia mendekati AS hanya karena ingin memperkaya diri saja, ia merupakan orang yang menembakkan rudal mengancam pemilu presiden Taiwan yang pertama, serta menciptakan krisis di Selat Taiwan.
Hingga “diplomatik serigala perang” Xi Jinping kembali telah mengungkap sifat asli PKT yang bermusuhan dengan Barat, kubu Barat yang dipimpin oleh AS secara bertahap mulai menjauh dari kabut misterius Dinasti Merah PKT, dan menyadari nilai penting demokrasi Taiwan, serta mulai gigih mendukung Taiwan. Ketua kongres dan berbagai politisi penting AS berturut-turut berkunjung ke Taiwan, dan membuat panik PKT.
Perang Rusia-Ukraina, Membakar Habis Bara Api Komunis Soviet
Gerakan demokrasi oleh pelajar dan mahasiswa pada 4 Juni 1989 di Tiananmen tidak membuat Tiongkok berubah warna, tetapi justru telah memicu runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur, Tembok Berlin diruntuhkan pada 1990, dan kedua Jerman pun bersatu. Uni Soviet runtuh pada 1991, para rezim komunis pun lenyap dari Benua Eropa. Kini tersisa beberapa negara saja antara lain: RRT, Korea Utara, Vietnam, dan Kuba.
Rusia dan Ukraina sebagai dua negara anggota terbesar masa komunis Uni Soviet dulu, kini keduanya telah meninggalkan partai komunis, tetapi masih menyisakan banyak kebiasaan buruk rezim komunis seperti korupsi dan kekuasaan mutlak. Kedua negara itu berupaya mendekati Barat agar terbebas dari kesulitan ekonomi.
Rusia lantaran masih memiliki banyak kebiasaan buruknya yang tersisa dari rezim sebelumnya, maka tidak dapat diterima oleh kubu Barat, sedangkan Ukraina bersiap melepaskan pengaruh dari Rusia dan hendak berkiblat pada Barat, tapi Putin tidak membiarkannya, setelah cekcok memuncak kekuatan militer pun dikerahkan, dan berakibat keduanya saling melukai. Yang tadinya adalah satu saudara di masa komunis Uni Soviet, dalam sebuah ajang perang sejak 2022, sedikit warisan kejayaan komunis Uni Soviet dulu, kini terancam terbakar habis.
Tadinya, hubungan Beijing dengan Ukraina lebih baik daripada Rusia, namun karena Ukraina hendak menuju kebebasan, naluri sebagai rezim otoriternya telah mendorong PKT merapat ke pihak Putin. Perang Rusia-Ukraina walaupun merupakan pertikaian antar saudara, namun pada hakikatnya merupakan duel hidup mati dua nilai antara kubu Barat dengan Timur.
Masyarakat Internasional acap kali membandingkan Ukraina dengan Taiwan, ada yang berkata “hari ini Ukraina, besok giliran Taiwan”. Akan tetapi Taiwan dan Ukraina pada dasarnya sama sekali berbeda. Ukraina pernah menjadi bagian dari kubu komunis, sementara Taiwan sejak awal selalu berpihak pada kubu Barat sebagai garis terdepan melawan komunisme. Barat Bagi Ukraina hanyalah sebagai bantuan tidak langsung, namun Barat terhadap Taiwan dipastikan ibarat membela diri sendiri dan berperang langsung.
Perang Rusia-Ukraina telah menyadarkan Barat, dan telah mengenali kembali bahaya “bencana Merah”, maka kekuatan dunia bebas difokuskan pada Taiwan, PKT pun ibaratnya kembali ke dalam posisi pernah terkepung oleh pasukan nasionalis. Perang Rusia-Ukraina sekaligus juga menguras sisa kewibawaan komunis Soviet. PKT sepenuhnya mengandalkan Uni Soviet dalam membangun kekuasaannya. Tanpa adanya dukungan “kakak tertua” Uni Soviet, hanya mengandalkan dirinya sendiri masih mampukah Xi Jinping berlagak di hadapan perlindungan berlapis dunia Barat di hadapan Taiwan?
Konfrontasi Barat Dengan Timur, Dari Benua Eropa Beralih ke Selat Taiwan
Pemimpin PKT Xi Jinping bisa menjabat kembali dengan alasan hendak menyatukan Taiwan, dan diam-diam Xi Jinping mendukung Putin menginvasi Ukraina karena ia pun berniat yang sama terhadap Taiwan. Akan tetapi setelah setahun berperang Rusia belum juga mampu menaklukkan Ukraina, justru telah menyeret diri mereka sendiri mendekati jurang kehancuran.
Saat ini PKT mengalami kesulitan dalam maupun luar negeri secara berturut-turut, serta sedang goyah di tengah terpaan hujan dan badai, Rusia tidak hanya menjadi pelajaran bagi PKT, terlebih lagi merupakan aset negatif bagi PKT. Menyerang Taiwan telah menjadi kartu terakhir bagi PKT yang sedang meronta untuk bertahan hidup.
Walaupun Perang Rusia-Ukraina belum berakhir, namun siapa menang siapa kalah telah terlihat. Perhatian seluruh dunia sudah beralih ke Taiwan. Kubu Barat yang meyakini sistem demokrasi dan ekonomi pasar bebas sedang mengamati dan mewaspadai setiap gerak gerik Xi Jinping. Aliansi sekutu AS sedang mempersiapkan logistik seputar Taiwan memposisikan militernya dalam menghadapi Beijing.
Sudah sejak 70 tahun silam, Jenderal MacArthur telah meramalkan, Taiwan adalah lokasi strategis yang tidak boleh tidak ada dalam melawan komunisme. Ia berulang kali memperingatkan pemerintah AS, jangan sampai membiarkan Bencana Merah itu membuat Taiwan jatuh ke tangan PKT.
MacArthur pernah menyemangati mantan Presiden Taiwan Chiang Ching-Kuo agar mempertahankan Taiwan, “Saya sangat yakin bahwa pada suatu hari nanti Republik Tiongkok (Taiwan) akan dapat menyatukan seluruh Daratan Tiongkok, dan menjadi kekuatan penentram di Asia”. Dapatkah ramalan Jenderal MacArthur tersebut menjadi kenyataan? (sud/whs)