oleh Luo Ya
Baru-baru ini, Duta Besar Tiongkok untuk Prancis, Lu Shaye saat menerima wawancara eksklusif dari media Prancis, menyampaikan ucapan yang menyangkal kedaulatan dari 14 negara yang merdeka setelah disintegrasi Uni Soviet. Hal ini menimbulkan kritik dari banyak negara dan Uni Eropa. Bahkan 80 orang anggota Parlemen Eropa mengeluarkan surat terbuka yang menyerukan pengusiran Lu Shaye.
Pada 23 April, 80 orang anggota Parlemen Eropa menerbitkan surat terbuka di surat kabar Prancis Le Monde, yang menyerukan kepada pemerintah Prancis untuk mengambil tindakan tegas terhadap pernyataan Lu Shaye bahwa negara-negara bekas Uni Soviet itu tidak memiliki status dalam hukum internasional.
Perwakilan Tinggi Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell mengatakan pada 23 April bahwa pernyataan Lu Shaye tersebut tidak dapat diterima.
Kementerian Luar Negeri Prancis juga mengeluarkan pernyataan pada 22 April malam yang mengungkapkan keterkejutannya atas pernyataan Lu Shaye, dan meminta Beijing untuk mengklarifikasi apakah ini mencerminkan sikap resmi pemerintah komunis Tiongkok ? Sementara itu, Ukraina, Lithuania, dan negara-negara bekas Uni Soviet lainnya juga menuntut Beijing memberikan klarifikasinya.
Para cendekiawan hubungan internasional berpendapat bahwa pernyataan Lu Shaye pada dasarnya mewakili sikap rezim Beijing.
Dr. Cheng Chin-Mo, Dekan Departemen Diplomasi dan Hubungan Internasional dari Universitas Tamkang, Taiwan mengatakan : “Saya pikir ucapan Lu Shaye maksudnya agar didengar oleh Xi Jinping, yang tujuannya tak lain adalah menunjukkan kesetiaannya kepada Xi. Ini adalah mentalitas internal dasar mereka. Walau Itu biasanya disampaikan melalui beberapa kebohongan, terbungkus dalam kedamaian, tetapi itulah mentalitas hegemonik mereka”.
Dr. Cheng Chin-Mo mengatakan bahwa pernyataan Lu Shaye juga mewakili mentalitas PKT yang mencoba merusak tatanan internasional berbasis aturan dan hukum internasional
“Pernyataan Lu bahkan menunjukkan bahwa PKT sedang berupaya memperkuat legitimasi rezim PKT dengan mencoba mendistorsi sejarah, terutama saat ini mereka sedang menghadapi krisis legitimasi yang serius yang disebabkan oleh kemerosotan ekonomi yang parah. Ini adalah dasar untuk propaganda internal mereka. Jadi menurut saya pernyataan Lu Shaye yang arogan itu tidak bertentangan dengan faktanya. Pada dasarnya, dia mengatakan kepada seluruh dunia bahwa PKT akan mendukung penuh Rusia dan menghadapi Barat secara menyeluruh. Ini adalah mentalitas dasar Xi Jinping dalam menanggapi perubahan besar yang terjadi dalam abad ini”, kata Dr. Cheng Chin-Mo.
Pada Maret tahun ini, Xi Jinping berkunjung ke Maskow untuk bertemu dengan Putin. Menjelang perpisahan dengan Putin, Xi mengatakan : “Mari kita bersama-sama mempromosikan perubahan dalam abad ini”. Ucapan ini ditafsirkan oleh dunia luar bahwa Tiongkok dan Rusia ingin bergabung untuk mendominasi dunia.
Komentator politik Chen Pokong mengatakan : “Tak peduli apakah Lu Shaye membuat pernyataannya sendiri atau diperintahkan untuk melakukannya, ucapannya itu selain menyinggung 14 negara yang disintegrasi dari Uni Soviet, tetapi juga menyinggung seluruh negara anggota NATO. Karena tiga negara Baltik adalah anggotanya dari NATO. Ini sama saja dengan menantang NATO, menyinggung perasaan 30 negara NATO”.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, 14 negara termasuk Ukraina merdeka dan menjadi negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdaulat. Komentator politik Chen Pokong percaya bahwa pernyataan Lu Shaye itu juga bertentangan dengan sikap PKT.
Chen Pokong mengatakan : “Ketika Ukraina merdeka dan menjadi negara bebas nuklir, ia mendapat jaminan dari lima konsulat permanen PBB. Tiongkok adalah salah satu konsulat permanen dan negara bersenjata nuklir, menandatangani perjanjian dengan Ukraina. Yaitu, jika keamanan nasional Ukraina terancam, maka Tiongkok sebagai salah satu konsulat tetap PBB, akan memberikan jaminan keamanan kepada Ukraina”.
Chen Pokong percaya bahwa jika Beijing tidak menarik kembali Lu Shaye dari kedudukan dubes untuk Perancis, ucapannya itu akan mewakili sikap rezim Beijing.
Lu Yeh-chung, Dosen Akademi Politik di Universitas Nasional Chengchi, Taiwan mengatakan : “Selanjutnya, jika Xi Jinping memutuskan untuk menarik kembali dubes ini, masih dapat membantu menjelaskan dan menghilangkan keraguan dari semua lapisan masyarakat Barat. Terutama menghapus keraguan Barat tentang apakah PKT masih terus menerapkan diplomasi serigala perang. Jika Xi Jinping tetap mempertahankan kedudukan Lu Shaye, bahkan membiarkan adanya pernyataan-pernyataan yang lebih keras, itu berarti bahwa Beijing dengan jelas mengabaikan pandangan komunitas internasional”.
Dalam wawancara eksklusif dengan stasiun TV LCI Prancis pada 21 April, Lu Shaye mengklaim bahwa nasib Taiwan ditentukan oleh Beijing, bahwa Mao Zedong membunuh rakyat adalah rumor palsu, dan Xi Jinping menjadi korban penganiayaan selama Revolusi Kebudayaan adalah gosip, dan lain-lain.. Lu juga menyindir pembawa acara TV karena asal ngomong tidak membaca buku, menyesatkan dan sebagainya.
Lu Yeh-chung mengatakan : “Jika kita satukan fakta-fakta ini, maka kita mendapatkan gambaran bahwa komunis Tiongkok adalah kerajaan yang jahat. Sekarang ia sedang mencoba untuk menulis ulang sejarah, sehingga ia dapat melangkah lebih jauh demi ambisinya mendominasi dunia di masa depan, atau menerapkan apa yang ia sebut sebagai cetak biru Tiongkok. Ini adalah pola yang ingin dimunculkan di dunia”.
Dalam sebuah wawancara pada Agustus tahun lalu, Lu Shaye mengatakan bahwa rakyat Taiwan perlu menjalani “pendidikan ulang” kelak setelah dipersatukan dengan daratan Tiongkok. Sedangkan pada tahun 2021, Lu juga menulis artikel yang menyebut sarjana Prancis sebagai “hooligan kecil”, yang dikritik oleh publik Prancis.
Legislator Wang Ding-yu dari Partai Progresif Demokratik Taiwan mengomentari pernyataan terbaru Lu Shaye di Facebook pada 23 April, bahwa pernyataan Lu Shaye sangat cocok dengan karakter PKT yaitu “menghina, membunuh, dan liar”. Pernyataan-pernyataan yang menyesatkan itu justru membuat dunia lebih bersimpati kepada Taiwan ! (sin)