Song Tang & Luo Ya
Mengikuti jejak “Starlink” milik Elon Musk yang telah unjuk kebolehan dalam ajang perang Ukraina, kompetisi luar angkasa antara AS (Amerika Serikat) dengan RRT (Republik Rakat Tiongkok) telah melebar hingga ke bidang satelit. Badan Pengintaian Nasional (NRO) AS berencana dalam 10 tahun mendatang akan meningkatkan jumlah satelit mata-mata luar angkasa di orbit hingga 4 kali lipat.
Sementara proyek konstelasi satelit “GW” milik RRT, direncanakan kelak akan dibentuk dua konstelasi satelit orbit rendah, total satelit yang akan diluncurkan mencapai 12.992 unit. Namun pakar berpendapat, inti dari sebuah satelit adalah kemampuan elektroniknya, dengan telah diembargonya cip, ibaratnya yang diluncurkan hanyalah sebuah batu bata, dan bisa dibayangkan sebuah Huawei di luar angkasa.
Kompetisi Antariksa AS-RRT Melebar Ke Bidang Satelit Kecil
Menurut berita yang dirilis di situs Badan Pengintaian Nasional (NRO) AS, pada 18 April lalu Direktur NRO Christopher J. Scolese dalam suatu seminar mengatakan, AS akan membangun konstelasi satelit yang paling besar, paling mampu, paling beragam dan paling tangguh sepanjang sejarah. Dalam 10 tahun mendatang jumlah satelit mata-mata luar angkasa di orbit akan bertambah 4 kali lipat. Satelit tersebut ada yang besar ada yang kecil, tersebar pada beberapa lintasan orbit, akan memberikan sinyal dan citra lebih banyak daripada yang ada sekarang dalam skala magnitudo.
Scolese menyatakan, program ekspansi “akan membuat kita memiliki puluhan sistem orbit pada 2023, dan meningkat menjadi mempunyai ratusan sistem orbit dalam beberapa tahun mendatang”. Sebelumnya, dalam forum dengar pendapat di hadapan Komite Angkatan Bersenjata DPR AS Scolese mengatakan, menggunakan sistem baru yang dibangun dengan teknologi bisnis “membuat NATO dan seluruh dunia dapat melihat Rusia menghimpun militer sebelum melakukan agresi”, semua sistem baru ini “dari konsepsi akan diorbitkan dalam tempo kurang dari tiga tahun”.
Saat ini, aktor non-negara (Non-State Actors, NSAs) khususnya perusahaan swasta seperti SpaceX atau Blue Origin, telah mulai mendominasi luar angkasa, ekonomi luar angkasa global 2020 diperkirakan mencapai 447 milyar dolar AS (6.559 triliun rupiah, kurs per 30/04), dan 80% di antaranya dicakup oleh kegiatan bisnis perusahaan swasta.
Scolese dalam pidatonya juga menyebutkan, yang disebut paling tangguh adalah masa mendatang departemen pemerintah akan bergabung dengan sistem satelit bisnis. Beberapa kali misi peluncuran Kemenhan AS pernah “dialihkan” kepada SpaceX milik Musk, pada 2 April lalu, 10 unit satelit dengan kode “Tranche 0” milik Space Development Agency Kemenhan AS, diluncurkan ke luar angkasa dengan menggunakan roket Falcon 9 milik Space X.
Su Tzu-Yun, Direktur Institute for National Defense and Security Research (INDSR) Taiwan mengatakan kepada surat kabar The Epoch Times, “AS telah menyadari ancaman Beijing yang ekspansif, yang akan dengan cepat memperkuat investasinya di bidang antariksa. Yang dimaksud meningkatkan kekuatan 10 kali lipat, adalah mengutamakan aplikasinya dalam militer, dengan kata lain masa depan satelit militer AS, mungkin akan terlihat sekitar 2.000 unit hingga 3.000 unit, merealisasikan pengawasan sepanjang waktu, dan dalam waktu penuh.”
Selama bertahun-tahun, Pentagon terus memperingatkan para legislator, Beijing sedang membangun gudang senjata antariksa. Pakar masalah militer RRT dari International Assessment and Strategy Center yakni Richard Fisher mengatakan, “Tujuan PKT adalah mewujudkan kendali terhadap orbit rendah bumi, untuk mengalahkan AS yang berada di bumi.”
Dalam “Military Power of the People’s Republic of China” yang diserahkan Pentagon kepada kongres AS pada 2022 menyebutkan, “Pasukan RRT terus mendapatkan dan mengembangkan serangkaian kemampuan anti ruang dan teknologi terkait lainnya, termasuk rudal pembunuh kinetik, laser berbasis darat, dan robot ruang orbit, serta kemampuan memperluas pengawasan dimensi, semua kemampuan ini akan dapat memantau segala objek dalam lingkup pengawasannya, dan dapat mengambil tindakan anti ruang.”
Dalam laporan berjudul “Challenges to Security in Space” pada 2022 yang dirilis Pentagon memperingatkan, RRT dan Rusia sedang mengembangkan kemampuan yang mengancam posisi unggul AS, termasuk senjata laser yang dapat membidik dan menghancurkan satelit milik AS.
Laporan tersebut juga menyebutkan, setelah mengamati kinerja militer AS dalam Perang Teluk 1991 kemudian Perang Kosovo, Afghanistan, dan Perang Irak II, militer RRT telah menitik-beratkan pada memanfaatkan perang informasi untuk membalas lawan. PKT menyebutkan, “Akan menghancurkan atau menangkap satelit dan alat sensor lainnya”, membuat pasukan AS dan sekutunya kesulitan menggunakan senjata pandu presisinya, “Membuat musuh menjadi buta dan tuli”.
Dr. Chen Liang-Chih, rekan peneliti dari Institute for National Defense and Security Research Taiwan mengatakan kepada surat kabar The Epoch Times, “Kedua pihak seharusnya telah menyadari, masa depan luar angkasa dalam hal ini satelit buatan dapat menentukan posisi fasilitas militer masa mendatang, akurasi tembakan sistem persenjataan, serta pentingnya hubungan komunikasi, kedua pihak AS dan RRT telah mengembangkan kompetisi senjata luar angkasa gelombang baru.”
“Angkatan Bersenjata Antariksa AS yang dibentuk Presiden Trump pada 2017 lalu, adalah angkatan bersenjata AS yang keenam, pada waktu itu AS telah menyadari keseriusan menyangkut perang antariksa atau kompetisi militer luar angkasa ini”, imbuhnya.
Keunggulan Satelit Kecil Dalam Militer
Satelit ukuran kecil yang disebut “Space 2.0”, seiring dengan “Starlink” milik Musk telah menciptakan suatu revolusi, berbeda dengan satelit sebelumnya yang terutama posisinya berada pada lintasan orbit geostasioner (GEO), satelit kecil ini berada pada posisi lintasan orbit bumi rendah (LEO) atau lintasan orbit bumi menengah (MEO). Satelit kecil lebih ringkas, lebih murah, dan lebih mudah dikembangkan. Satelit kecil selain dapat digunakan untuk tujuan komersil (komunikasi dan observasi bumi), juga dapat digunakan untuk tujuan militer, termasuk meningkatkan komunikasi dan navigasi, pengintaian, pengumpulan intelijen, seleksi sasaran dan peringatan dini rudal, dapat memberikan dampak secara langsung bagi berbagai operasi militer.
Satelit kecil dapat memberikan informasi yang lebih cepat dan sesuai serta data citra yang lebih rinci bagi pasukan di darat, dapat meningkatkan efektivitas sistem persenjataan, ini merupakan keunggulan yang sangat penting dalam operasi militer. Contohnya di Perang Ukraina, karena terhubungnya pesawat nirawak dengan sistem satelit “Starlink”, menjadi sangat mudah mengoperasikannya dan menyerang sasaran walaupun di kawasan yang tidak tercakup internet maupun daya listrik, menimbulkan dampak sangat besar bagi Ukraina di seluruh pertempuran. Satelit tidak hanya digunakan untuk melakukan pemotretan cepat dan hasil citra yang rinci, juga mendapat dukungan sistem AI yang digunakan untuk komunikasi di medan perang.
Sejumlah peneliti RRT memprediksi, jika bisa terhubung dengan jaringan Starlink, maka kecepatan pengiriman data dari pesawat nirawak AS dan pesawat tempur siluman milik AS akan meningkat lebih dari 100 kali lipat. Bagi AS, minatnya terhadap penggunaan satelit kecil dalam militer telah meningkat drastis. Sejak 2007, United States Army Space and Missile Defense Command sudah menjalankan program “Kestrel Eye 2M”, yang bertujuan memberikan data citra cepat dari satelit bagi pengguna (prajurit) taktis di darat.
Surat kabar South China Morning Post juga memberitakan, pada April 2022 lalu para peneliti militer RRT mengembangkan suatu sistem AI, yang dapat mengubah satelit komersil kecil yang telah diorbitkan di lintasan orbit bumi menjadi satelit mata-mata. Chen Liang-Chih menyatakan, yang tidak menguntungkan bagi pihak PKT adalah pada lintasan orbit menengah dan orbit tinggi, pada orbit yang jaraknya lebih jauh tidak sekuat AS. PKT sekarang sedang mengejar bagian orbit rendah, tapi bagian ini mungkin berisiko pada masa perang, mungkin akan ditembak jatuh dengan rudal antar benua, juga lebih mudah terganggu.
“Teknologi tinggi luar angkasa memang terutama masih dikuasai oleh AS dalam bidang teknologi dan kecanggihannya, jika AS memutus rantai industri ini bagi RRT, memang memungkinkan untuk menghalangi kemajuan teknologi antariksa RRT”, imbuh Chen Liang-Chih.
Program Konstelasi PKT, Pakar: Huawei di Ruang Angkasa
Beberapa tahun terakhir, Beijing sedang giat menerapkan program konstelasi jaringan internet satelit orbit rendah. Media massa RRT mengatakan, pada April 2020 lalu “jaringan internet satelit” pertama kalinya dijadikan sebagai infrastruktur informasi dan dimasukkan dalam orientasi penting yang mendukung kebijakan “New Infrastructure” RRT. Menurut dokumen yang diungkap International Telecommunication Union (ITU), pada September 2020 lalu dengan kode “GW” PKT telah mendeklarasikan dua konstelasi satelit orbit rendah, dengan total satelit mencapai 12.992 unit.
Surat kabar South China Morning Post memberitakan, menurut Lektor Kepala bernama Xu Can dari Space Engineering University yang bernaung di bawah PLA Strategic Support Force (SSF) menyebutkan, konstelasi satelit GW mungkin akan dengan cepat diposisikan, “Sebelum Starlink diselesaikan”, mereka menuliskan, “Ini akan memastikan adanya posisi negara kita di lintasan orbit rendah, dan mencegah konstelasi satelit Starlink menguasai seluruh sumber daya pada orbit rendah”, mereka akan “meraih peluang dan keunggulan pada orbit ketinggian lain, bahkan menekan Starlink”. Mereka mengatakan, satelit RRT dapat dilengkapi dengan muatan efektif anti-Starlink, untuk menjalankan berbagai misi, seperti “dari jarak dekat mengawasi satelit Starlink dalam jangka waktu panjang”.
Su Tzu-Yun menyatakan, “Beijing berniat menguasai sumber daya tiga lapisan lintasan orbit mulai dari satelit orbit rendah sampai satelit orbit menengah sampai satelit geostasioner, hendak menguasai semua lintasan orbit, ini adalah hal yang tidak mungkin. Namun memang dapat menyebabkan gangguan, karena semakin banyak satelit maka ruang angkasa akan semakin padat, ruang gerak atau penempatan satelit baru akan dibutuhkan kalkulasi yang jauh lebih rumit lagi.”
Penguasa PKT sedang aktif mendorong perusahaan swasta untuk terjun ke dalam industri satelit orbit rendah. Peluncuran dalam program konstelasi satelit GW tidak hanya mencakup perusahaan militer milik negara seperti program konstelasi satelit “Hongyan” (300 unit) milik China Aerospace Science and Technology Corporation, lalu proyek “Hongyun” (156 unit) dan juga proyek “Xingyun” (80 unit) milik China Aerospace Science & Industry Corporation Limited, tapi juga melibatkan perusahaan antariksa komersial swasta seperti program konstelasi AI “Yinhe” (650 unit) miliki Galaxy Space dan lain sebagainya.
Akan tetapi “perusahaan swasta” ini jelas sangat berbeda dengan SpaceX atau Blue Origin yang berorientasi bisnis, mereka memiliki hubungan yang sangat erat dengan PKT, anggotanya mayoritas berasal dari China Aerospace Science and Technology Corporation, China Aerospace Science & Industry Corporation Limited, dan juga Aviation Industry Corporation of China, yang merupakan perusahaan milik RRT.
Waktu peluncuran satelit itu belum diketahui, dalam laporan “Challenges to Security in Space” yang dilansir Pentagon pada 2022 lalu disebutkan, saat ini segala jenis satelit yang dimiliki jumlahnya sebanyak 497 unit.
Su Tzu-Yun menyatakan, saat ini belum ada yang diluncurkan, masih dalam tahap rencana. Satelit militer yang didaftarkan AS di PBB sebanyak lebih dari 400 unit, PKT tidak mendaftarkannya, agak sedikit yang terdaftar, sekitar lebih dari 70 unit. Satelit RRT umumnya digunakan untuk militer juga sipil, baik untuk kegunaan militer maupun sipil, jumlah yang teridentifikasi ada sekitar 500 unit, inilah kondisi kekuatan kedua negara saat ini.
Su Tzu-Yun berkata, satelit adalah satu hal, kemampuan komunikasi satelit adalah hal berbeda, Kim Jong-Un pun bisa meluncurkan satelit, tapi tidak ada orang yang menghiraukannya. Cukup mengkalkulasi gaya gravitasi dan gaya berat, mengangkut batu dengan roket, batu itu pun bisa beredar mengitari bumi.
“Inti dari sebuah satelit adalah kemampuan elektroniknya, jika yang Anda luncurkan ke atas adalah sebuah batu bata, maka tidak akan ada gunanya, segala sesuatu bergantung sepenuhnya pada cip. Semua satelit yang diluncurkan dengan proses yang matang, maksimal hanya memiliki kemampuan komunikasi 3,5G atau kemampuan komunikasi 3G plus. Barat telah sampai pada tahap 5G dan 6G, tanpa cip yang canggih, maka tak mungkin mencapai 5G dan 6G, jadi yang diluncurkan RRT itu hanyalah sejumlah satelit komunikasi yang lebih rendah kecepatannya.”
Su Tzu-Yun menyatakan, Anda bisa membayangkannya sebagai Huawei di luar angkasa, maka bisa diketahui seberapa besar dampak cip itu. BTS berbasis 5G milik Huawei tadinya memiliki kinerja yang bagus, karena saat itu perusahaan Taiwan yakni TSMC memproduksi cip “Tiangang” (7 nm) itu bagi Huawei, setelah diembergo Huawei tidak bisa lagi memperoleh cip tersebut, maka BTS 5G milik Huawei pun menjadi seonggok batu bata.
“Setelah berputar kesana kemari, pada akhirnya PKT akan selalu menemui jalan buntu, yakni masalah cip, PKT berteriak gembar gembor hanya sekedar propaganda belaka, tanpa adanya cip PKT tidak mampu melakukan apapun, benar-benar tidak ada satupun yang bisa dilakukannya”, imbuh Su Tzu-Yun.
Belum lama ini, sebuah mobil penjelajah planet Mars yang pertama milik RRT yakni “Zhurong” telah memicu semakin banyak keraguan berbagai kalangan akan kemampuan teknologi antariksa yang dimiliki oleh Beijing karena kendaraan tersebut tidak pernah “siuman” lagi setelah lama “tertidur” sejak Mei tahun lalu. Sementara “Curiosity” milik NASA yang telah beroperasi belasan tahun di Mars, hingga sekarang masih terus mengirimkan hasil eksplorasinya ke bumi. Maret tahun ini, NASA mempublikasikan sebuah foto matahari sedang terbenam dari Planet Mars yang sangat mengesankan yang berhasil diambil oleh “Curiosity”, ini adalah “cahaya senja yang cerah” di Planet Mars yang pertama kali dilihat oleh umat manusia. (sud/Whs)