oleh Li Zhaoxi
Dalam beberapa bulan terakhir, berita mengenai “de-dolarisasi”, dan kekhawatiran bahwa dolar akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dunia cukup santer beredar di Internet. Warren Buffett, miliarder Amerika Serikat yang dikenal oleh banyak investor sebagai “dewa saham”, baru-baru ini mengatakan bahwa dirinya tidak khawatir dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dunia.
Pada 6 Mei, Warren Buffett, yang akan berusia 93 tahun pada 30 Agustus tahun ini, bersama rekan lamanya, Charlie Munger yang berusia 99 tahun, menghadiri rapat pemegang saham tahunan Berkshire Hathaway dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk membahas berbagai topik.
Mengenai “de-dolarisasi” yang sedang ramai dibicarakan orang baru-baru ini, Buffett memperingatkan bahwa dolar AS tidak berisiko kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dunia, tetapi pengeluaran pemerintah AS yang berlebihan dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak.
“Mata uang (dolar AS) kami adalah mata uang cadangan, dan menurut saya tidak ada mata uang lain yang bisa menjadi mata uang cadangan”, kata Buffett. Dia juga memperingatkan pemerintah AS untuk tidak menghabiskan terlalu banyak uang yang akan memicu inflasi dan menurunkan nilai dolar AS.
“Kita harus sangat berhati-hati”, tambah Buffett. “Begitu perubahan semacam itu terjadi dan orang mulai kehilangan kepercayaan terhadap mata uang, akan sangat sulit untuk dipulihkan”.
Buffett menekankan bahwa orang perlu percaya bahwa tabungan mereka akan mempertahankan sebagian besar daya beli mereka untuk jangka waktu tertentu dan harus terus menyimpan uang di bank atau membuka rekening pensiun.
Buffett menunjukkan : “Mencetak uang secara membabi buta itu perbuatan gila”. Charlie Munger menambahkan bahwa Amerika Serikat seharusnya tidak mengambil risiko besar untuk membelanjakan terlalu banyak uangnya.
Pandemi COVID-19 memicu penguncian, penutupan, dan gangguan rantai pasokan yang meluas pada tahun 2020 dan 2021, dengan inflasi yang meroket dan pemerintah AS menopang ekonomi dengan mengirimkan cek stimulus ke rumah tangga dan memberikan bantuan keuangan kepada bisnis.
The Fed telah menaikkan suku bunga dari mendekati nol menjadi lebih dari 5% dalam 14 bulan terakhir. Lonjakan suku bunga telah lebih lanjut memicu kekhawatiran terhadap kegagalan bank dan krisis kredit, dan akan menambah kekhawatiran resesi pada akhir tahun ini.
Banyak ahli yang pesimis terhadap dolar AS, termasuk Stephen Roach dari Universitas Yale dan mantan ekonom Morgan Stanley Stephen Jen mengatakan bahwa dolar AS akan tergantikan.
Seperti Buffett, Desmond Lachman, seorang rekan senior di American Enterprise Institute, berpendapat bahwa keruntuhan dolar AS akan segera terjadi itu terlalu dibesar-besarkan.
Dalam artikelnya yang dipublikasikan di New York Post, Desmond Lachman menyebutkan bahwa meskipun dolar AS telah kehilangan sebagian porsinya dalam dekade terakhir, tetapi Dana Moneter Internasional mengatakan bahwa bank sentral negara-negara di dunia masih memegang hampir 60% cadangan devisa dalam dolar AS. Sementara itu, menurut Bank for International Settlements bahwa hampir 90% perdagangan internasional masih ditransaksikan dalam mata uang dolar AS.
Desmond Lachman mengingatkan kepada mereka yang berpikir bahwa dolar akan turun untuk melihat kembali tanggapan ekonom Paul Volcker di masa lalu, ketika dominasi dolar AS dipertanyakan.
Paul Volcker pernah mengungkapkan bahwa jika dolar AS ambruk, maka ia harus diganti dengan mata uang lain. Mengingat semua kelemahan nyata dalam dolar AS, apakah mata uang seperti euro, renminbi, dan yen Jepan benar-benar mata uang yang lebih stabil ?
Desmond Lachman mengatakan, skeptisisme Paul Volcker tentang kemampuan mata uang utama dunia lainnya untuk menggantikan dolar sama-sama dapat diterapkan saat ini. Dia mengutip euro, mata uang terpenting kedua di dunia saat ini sebagai contoh, mengatakan bahwa perekonomian pinggiran zona euro tidak pernah seperti sekarang ini sangat terlilit hutang, termasuk Italia. Inflasi tidak pernah setinggi sekarang sejak zona euro diluncurkan pada tahun 1999.
Prospek jangka panjang bagi mata uang Tiongkok untuk menyalip dolar AS sebagai mata uang nomor satu dunia terlihat semakin suram. Selama dekade terakhir, Tiongkok telah mengalami gelembung pasar real estat dan kredit yang lebih besar daripada yang terjadi di Jepang pada tahun 1990-an dan di AS sebelum Resesi Hebat 2008-2009.
Kebijakan Nol Kasus Xi Jinping telah memperburuk kondisi ekonomi Tiongkok, dan memberikan tanda yang jelas bahwa gelembung Tiongkok telah mulai pecah, ekonomi Tiongkok berada dalam resesi, peluang renminbi menggantikan dolar AS dalam waktu dekat sangat kecil.
Dengan kondisi mata uang utama dunia lainnya yang begitu memprihatinkan, Desmond Lachman mengatakan bahwa risiko keruntuhan dolar AS sangat kecil. (sin)