Zhou Xiaohui
Menurut kantor berita AFP Prancis, selama berlangsungnya pengeboman Rusia terhadap kota pelabuhan Ukraina Odessa selama tiga hari berturut-turut, juga telah menyebabkan kerusakan pada bangunan Konjen Tiongkok di Odessa. Kemenlu Tiongkok hanya menyinggung sekilas hal ini dengan mengatakan telah terjadi ledakan di dekat gedung Konjen, yang berakibat rontoknya sebagian kaca jendela dan ambruknya sebagian tembok bangunan tersebut. Seluruh staf Konjen telah dievakuasi, dan tidak ada korban jiwa. Dalam pernyataan itu sama sekali tidak menyebutkan apalagi mengutuk Rusia.
Di pihak lain Presiden Ukraina Zelensky menyatakan, beberapa hari lalu sebanyak 60.000 ton produk pertanian dari Ukraina yang dikirim ke Tiongkok telah dihancurkan dalam suatu serangan di kota pelabuhan lain. Terhadap peristiwa yang menyangkut masalah keamanan pangan Tiongkok ini pun, pihak Beijing juga hanya bungkam tak berkomentar, bahkan sepatah keluhan pun tidak terdengar.
Reaksi pemerintah Tiongkok terhadap dua peristiwa di atas, sangat mencolok jika dibandingkan dengan histerianya Beijing ketika AS dan Eropa memberlakukan sanksi, sepertinya penguasa di Zhongnanhai hendak menjalin persahabatan abadi dengan Rusia. Akan tetapi, tren yang terjadi di dunia saat ini adalah negara Barat tidak hanya terus mengucilkan Rusia, bahkan terhadap negara-negara yang pernah mendukung dan membantu Rusia pun dihadapkan pada tekanan atau pertimbangan kepentingan, mereka pun mau tidak mau menjaga jarak dengan Rusia setelah mempertimbangkan untung ruginya, seperti: Afrika Selatan, Iran, dan juga Turki.
Pada 19 Juli lalu, Presiden Afrika Selatan menyatakan, Presiden Putin tidak akan menghadiri KTT BRICS yang akan digelar di Afrika Selatan pada Agustus mendatang. Rusia akan mengutus Menlu Sergey Viktorovich Lavrov sebagai perwakilan, sementara Putin akan hadir secara daring. Alasan utama Afrika Selatan menolak kedatangan Putin adalah, sebagai negara anggota Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), jika Putin hadir dalam KTT tersebut, maka Afsel wajib menangkap Putin dengan tuduhan telah melakukan kejahatan perang.
Diberitakan, partai oposisi terbesar Afsel yakni Demokratiese Alliansie (DA) telah mengajukan tuntutan kepada Pengadilan Tinggi Afrika Selatan di Provinsi Gauteng, yang mendesak janji pemerintah Afsel untuk menangkap Putin, dan mengeluarkan surat perintah penangkapannya. Sementara itu setelah pemerintah Afsel mengumumkan bahwa Putin tidak akan menghadiri KTT, DA pun menuntut pengadilan agar tetap melaksanakan surat perintah penangkapan atas Presiden Rusia ini kapanpun Putin datang ke Afrika Selatan. Pemerintah Afrika Selatan menyatakan menyetujuinya. Artinya, Ini berarti bahwa Putin tidak bisa menginjakkan kakinya lagi di bumi Afrika Selatan, setidaknya sampai dakwaan dicabut.
Di balik kompromi pemerintah Afsel tersebut mungkin berkat adanya tekanan dari AS. Pada Mei lalu, Dubes AS untuk Afsel yakni Reuben Brigety menuding penguasa Afsel telah memasok senjata bagi Rusia, dan menyebut tindakan tersebut sangat serius. Ia menyatakan, “Tindakan ini telah bertolak belakang dengan kebijakan non-blok Afrika Selatan, dan sangat tidak bisa dipahami.”
Menanggapi tudingan AS, Presiden Afsel Cyril Ramaphosa di saat menjawab pertanyaan dari anggota parlemen di kongres menyatakan, sedang menyelidiki masalah ini, namun ia menolak untuk memberikan komentar lebih lanjut. Setelah itu Kantor Kepresidenan mengeluarkan pernyataan, mengakui adanya sebuah kapal Rusia yang telah merapat di Afrika Selatan, namun tidak disebutkan maksud dan tujuannya.
Selain Afrika Selatan, Iran yang sebelumnya terus memasok pesawat nirawak dan senjata lainnya kepada Rusia, baru-baru ini tiba-tiba menentang Rusia. Pada 18 Juli lalu, Menlu Iran Hossein Amir-Abdollahian pada konferensi pers menyatakan, pemerintah Iran tidak mengakui wilayah Ukraina yang telah dicaplok Rusia, dan mendukung aksi menghormati keutuhan wilayah setiap negara. Teheran dengan tegas menyatakan harus mengatasi krisis di Ukraina dengan cara berdialog politik.
Mengapa Iran mendadak berbalik menentang Rusia? Dalam hal ini yang patut disalahkan adalah Rusia sendiri. Karena beberapa hari lalu, Ketika dilangsungkan dialog strategis dengan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) telah disampaikan pernyataan bersama. Dalam pernyataan itu Rusia mengatakan pihaknya mendukung UAE dalam menyelesaikan sengketa Pulau Abu Musa dan juga Tunb Besar dan Kecil yang terletak di muara Selat Hormuz dengan Iran melalui cara damai, hal ini pun memicu kemarahan Iran.
Iran langsung memanggil Dubes Rusia untuk Iran, dan telah meluruskan kembali perihal kedaulatan atas ketiga pulau tersebut, dan menuntut Dubes Rusia memberikan penjelasan. Menlu Rusia Lavrov langsung menelepon Menlu Iran Abdollahian, dan memungkirinya dengan menyebutkan bahwa pihak Rusia mutlak mendukung kedaulatan dan keutuhan wilayah Iran. Namun pernyataan sikap ini dengan sendirinya kembali menyulut kemarahan UAE.
Menariknya adalah, Iran sepertinya tidak termakan pernyataan Lavrov tersebut. Dalam suatu konferensi pers Abdollahian tetap pada pernyataannya semula, bahkan menambahkan: “Dalam hubungan diplomatik antara Iran dengan negara lain, kami tidak akan membiarkan Rusia maupun Tiongkok mengira bahwa mereka adalah opsi satu-satunya bagi kami.” Ia bahkan mengisyaratkan, “Apabila diperlukan, Iran bisa menggandeng Jerman, dan Inggris, yang mengepalai negara-negara Barat.”
Pernyataan Menlu Iran ini jelas tidak hanya ditujukan kepada Moskow saja, juga diarahkannya kepada Beijing. Perlu diketahui, setelah Iran dikenakan sanksi oleh AS dan Uni Eropa, berbagai jenis bantuan yang diberikan PKT kepada Iran bisa dibilang cukup banyak. Tetapi kini, Iran justru melontarkan pernyataan seperti ini, apakah Iran sedang tawar menawar untuk mendapatkan lebih, atau sedang mengungkapkan ketidakpuasannya, atau mungkin keduanya, belum dapat kita ketahui, tapi yang dapat dipastikan adalah, hubungan RRT-Iran yang digalang Beijing dengan memberikan keuntungan bagi Iran ternyata tidak cukup solid. Rahasia bahwa Beijing menjual pesawat nirawak kepada Rusia melalui Iran, mungkin akan dimanfaatkan oleh Iran untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Bisa dibayangkan betapa tidak berdayanya dan cemasnya Beijing.
Tak hanya Afsel yang mencegah kehadiran Putin, dan Iran yang menentang Rusia, bahkan sekutu Putin yakni Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan belakangan ini juga telah mulai menjaga jarak dengan Putin.
Belum lama ini, Erdoğan secara terbuka menyatakan dukungannya agar Ukraina bergabung dengan NATO,dan meminta agar komandan Batalyon Azov dibebaskan, serta tidak lagi menentang Swedia bergabung dengan NATO, kejadian ini tentu menjadi hantaman keras bagi Putin.
Informasi yang dilontarkan dari berubah sikapnya Afrika Selatan, Iran, dan Turki adalah pasca pemberontakan militer di dalam negeri Putin, yang kehidupan di dalam dan luar negeri telah berubah menjadi lebih sulit, serta menjadi semakin tidak disukai, sementara Beijing memilih untuk terus mendukung Putin yang hampir seorang diri, akan berakibat apakah? (SUD/WHS)