EtIndonesia. Di masa lalu, di India ada seorang Brahmana yang memiliki seorang anak laki-laki yang tampan. Orangtuanya sangat menyayangi anaknya ini. Sejak kecil, anak itu memang sangat pintar dan berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya. Dia menghabiskan masa kecilnya yang sangat bahagia tanpa beban.
Manusia seringkali digoda oleh hasrat keinginannya, dalam kehidupan sehari-hari yang menyenangkan, sama sekali tidak terpikirkan adanya nestapa di sisi lain. Hanya orang yang benar-benar bajik baru tidak jatuh terhempas.
Anak dari keluarga Brahmana ini memiliki kebajikan yang setingkat lebih tinggi dari orang-orang pada umumnya.
Meskipun dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga berada, namun, dia masih bisa memahami dengan penderitaan dan dosa-dosa kehidupan. Karena itu, setelah dewasa, dia pamit pada orangtuanya dan menjadi seorang pertapa.
Pada suatu hari, dalam perjalanan kembali dari pencerahan, pertapa itu bertemu dengan serombongan pedagang di hutan terpencil. Saat itu,waktu sudah malam.
Rombongan pedagang pun berkemah di hutan tersebut. Pertapa itu melihat para pedagang tersebut mengangkut sejumlah besar barang-barang dengan kereta/pedati besar dan kecil, tapi sang pertapa tampaknya tidak tertarik, seakan tidak pernah melihatnya, dia hanya berjalan mondar-mandir tidak jauh dari perkemahan pedagang.
Tepat pada saat itu, terlihat banyak perampok dari balik hutan lain. Mereka mendengar ada rombongan pedagang yang lewat, lalu berencana merampok barang-barang mereka setelah malam tiba.
Tetapi ketika mereka mendekati perkemahan pedagang, mereka melihat ada orang yang mondar-mandir di luar perkemahan.
Karena takut orang itu melihatnya, para perampok itu kemudian menunggu agak malam sampai mereka terlelap dulu baru menjalankan aksinya.
Namun, orang yang meronda di luar kemah masih berjaga-jaga dan belum masuk ke kemahnya untuk istirahat, sedangkan langit tampak semakin terang, para perampok itu akhirnya pergi sambil marah-marah karena gagal menjalankan aksinya.
Sementara itu, pedagang yang sedang tidur di dalam kemah tiba-tiba mendengar suara bising di luar, lalu segera berlari keluar dan melihat kawanan perampok bersenjatakan tongkat kayu dan palu berlari ke atas bukit.
Sedangkan di luar kemah hanya tampak seorang pertapa berdiri di sana dengan tenang.
Pedagang yang tampak ketakutan itu kemudian menghampiri pertapa dan bertanya: “Guru! Apa Anda melihat perampok itu?”
“Ya, saya melihatnya. Mereka sudah menunggu di sana tadi malam,” jawab pertapa.
“Guru!” Pedagang itu bertanya lagi. “Saya lihat banyak sekali kawanan perampok, apa Anda tidak takut ? Anda hanya sendirian, bagaimana Anda bisa melawan mereka?”
Pertapa itu tampak tenang, lalu berkata :”Tuan-tuan, yang takut melihat kawanan perampok adalah orang-orang kaya, sedangkan saya hanyalah seorang pertapa miskin yang tidak punya apa-apa, jadi kenapa saya harus takut ? Yang diinginkan perampok hanya harta benda, karena saya tidak punya barang-barang yang berharga, jadi saya tidak akan merasa takut sedikit pun, tidak peduli di mana pun keberadaan saya.”
Kata-kata pertapa itu seketika membuat para pedagang sangat tersentuh dan menyadari ketidaktahuan dan kebodohan mereka.
Mereka rela mempertaruhkan nyawa hanya untuk mendapatkan uang yang semu, sebaliknya terhadap kehidupan yang bebas, tenang-tentram dan nyata, mereka lebih memilih menutup mata. Dan atas kesadaran hati, mereka akhirnya berkultivasi jiwa dan raga mengikuti sang pertapa.
Sejak itu, mereka telah menyadari akan makna dari penderitaan, kehampaan, dan kefanaan duniawi, membawa harta benda yang tidak kekal itu sebenarnya merupakan suatu beban batin.
Apakah Anda menyukai artikel ini? Jangan lupa untuk membagikannya pada teman Anda! Terimakasih.