oleh Zhao Fenghua, Zhang Danxia dan Liu FangÂ
Saat ini, perekonomian Tiongkok sedang menurun. Meskipun pihak berwenang terus menerapkan langkah-langkah untuk merangsang pertumbuhan konsumsi masyarakat, tetapi masalah pokok yakni tidak adanya lapangan kerja, memaksa kaum muda untuk memilih hidup dengan cara sedapat mungkin menghemat pengeluaran. Istilah “konsumsi berlawanan” atau satu cara konsumsi yang bertentangan dengan konsep konsumsi tradisional, kini menjadi populer khususnya di kalangan anak-anak muda Tiongkok. Analis percaya, bahwa dengan melonjaknya tingkat pengangguran, terlalu sulit bagi kaum muda untuk mendapatkan uang sehingga mereka terpaksa harus hidup dengan menghemat pengeluaran.
Baru-baru ini, “konsumsi berlawanan” telah menjadi kata kunci di Tiongkok. Anak-anak muda yang menekuni fashion di masa lalu, kini populer untuk membeli barang-barang diskon dan bekas, menggunakan layanan berbagi untuk menyewa daripada membeli, mengurangi makan atau bahkan tidak jajan. Pokoknya hidup hemat.
Yu Luowen, seorang kritikus mengatakan : “Fenomena ini mencerminkan suatu keadaan di mana tingkat pengangguran terlalu tinggi. Jadi, otoritas hanya menekankan sisi konsumsi, sebaliknya dalam hal upah, sulit diperoleh karena kehilangan pekerjaan, tidak punya gaji, atau gaji diturunkan, sehingga daya beli menurun, tidak sejalan dengan otoritas yang hanya berkoar agar masyarakat membelanjakan uangnya. Bagaimana belanja jika tidak punya uang di tangan ? Jadi ini adalah pernyataan dari otoritas PKT yang tidak masuk akal.”
Yu Luowen mengatakan bahwa di balik fenomena ini terdapat protes yang berlangsung diam-diam, yang membuat masyarakat merasa sedih, atau mendorong generasi muda untuk melakukan refleksi.
“Mengenai sepinya pasar Tiongkok, banyak pabrik dan toko tutup. Dalam situasi ini, otoritas PKT benar-benar tidak memiliki solusi untuk mengatasi. Tentu saja, jika Anda membiarkan mereka kehilangan pekerjaan, maka mereka akan berpikir siapa yang menyebabkan situasi ini terjadi ? Apa orang Jepang ? Orang Jepang yang membuat saya jadi pengangguran ? Jadi kalau bukan orang Jepang lalu siapa ? Saat itu, orang akan berpikir : Agar dapat hidup lebih baik, kita harus mengejar demokrasi dan kebebasan, dan siapa pun yang berusaha menghalanginya harus ditumbangkan. Ketika semua orang telah menjadi semakin rasional, situasi ini bisa berubah,” kata Yu Luowen.
Zhang Dandan, seorang profesor di Sekolah Pembangunan Nasional, Universitas Peking, pernah menerbitkan sebuah artikel yang menyebutkan, bahwa pada Maret tahun ini, tingkat pengangguran sebenarnya yang terjadi di kalangan pemuda Tiongkok telah mencapai 46,5%. Lantaran terlalu tingginya angka pengangguran, otoritas PKT mengumumkan bahwa mulai bulan Agustus tahun ini, mereka tidak akan merilis angka pengangguran kaum muda.
Seorang pemudi asal Kunming bernama Wen Jing mengatakan bahwa anak-anak muda yang tinggal di sekitarnya mendapat pekerjaan yang gajinya rendah, umumnya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga lebih memilih “Tang Ping” ketimbang kerja keras.
“Lingkungan secara umumlah yang menyebabkan situasi ini terjadi. Setiap orang tidak punya uang. Seperti dalam benak kebanyakan orang ‘Toh saya tidak bisa berbuat banyak’, jadi saya juga memilih tidak melakukan apa pun, tidak bekerja keras, dan tidak usah menikah berkeluarga. Lagi pula, kalau pun bekerja keras, juga tidak bisa menghasilkan uang. Terus terang, lebih baik ‘Tang Ping’. Lagi pula, tingkat gaji di sini Kota Kunming, seperti beberapa mantan kolega dan teman, hanya berkisar di RMB. 3.000 atau 4.000,- sebulan, yang pada dasarnya tidak cukup untuk hidup sebulan. Gaji habis untuk biaya sewa rumah, makan, atau sesekali berkumpul dengan teman,” kata Wen Jing. (sin)