oleh Lin Yan
Xi Jinping merasa takut memberikan uang secara langsung kepada rakyat Tiongkok untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. The Wall Street Journal mengutip sumber yang mengetahui masalah ini memberitakan bahwa, Xi Jinping beranggapan memberikan uang kepada rakyat demi mendongkrak pertumbuhan konsumsi adalah pemborosan, juga tidak sejalan dengan ideologi Partai Komunis Tiongkok.
PKT tidak ingin mendistribusikan kesejahteraan kepada masyarakat biasa dan terus mempertahankan sikap yang menolak perubahan kebijakan yang lebih mendorong masyarakat untuk membelanjakan dana simpanan mereka guna memperbaiki tingkat konsumsi. Memperluas layanan kesehatan dan memberikan tunjangan pengangguran.
“Dalam hal langkah-langkah khusus untuk memperluas permintaan, Beijing (sejauh ini) belum mengambil tindakan apa pun”, ujar mantan Direktur Bank Dunia untuk Tiongkok. “Ini terutama timbul dari keengganan ideologis. Xi Jinping telah berulang kali mengatakan bahwa Tiongkok tidak boleh membangun negara kesejahteraan yang bergaya Barat”.
Bert Hofman, Direktur East Asian Institute di National University of Singapore mengatakan kepada Wall Street Journal, bahwa manfaat tunai yang diterima keluarga Tiongkok dari sistem jaminan sosialnya hanya menyumbang 7% dari PDB Tiongkok. Tingkat ini cuma setara dengan sekitar sepertiga dari Amerika Serikat dan Uni Eropa.
“Lewati hari dengan mengencangkan ikat pinggang”. Xi tidak setuju dengan kebijakan kesejahteraan yang bergaya Barat
Wall Street Journal yang mengutip informasi dari sumber yang memahami masalah ini mengungkapkan, bahwa pejabat PKT sendirilah yang menjelaskan kepada organisasi multinasional mengenai mengapa pemerintah Tiongkok tidak memberikan subsidi kepada masyarakat seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat selama epidemi.
Pejabat Tiongkok juga menekankan perlunya menghindari defisit transaksi berjalan yang akan meningkatkan ketergantungan Tiongkok terhadap dunia luar. Sumber yang mengetahui permasalahan juga mengungkapkan, bahwa Beijing selanjutnya akan terus berfokus pada peningkatan investasi, dan untuk memiliki sumber pasokannya. Mereka mungkin tidak akan mengadopsi kebijakan stimulus atau kesejahteraan seperti yang diterapkan di AS dan Eropa.
Menurut penuturan sumber, para pejabat Tiongkok juga menceritakan kepada rekan-rekan multinasional mereka ihwal kehidupan Xi Jinping yang harus hidup menderita selama masa Revolusi Kebudayaan. Ketika itu Xi harus tinggal di gua dan menggali parit – dan hal itu yang membantu Xi membentuk sikap dan pandangannya tentang melewati kondisi sulit dengan mengencangkan tali ikat pinggang.
“Pesan yang disampaikan PKT adalah bahwa kesejahteraan sosial bergaya Barat hanya akan mendorong kemalasan”, kata sumber tersebut.
Di awal tahun 2016, Xi Jinping pernah mengungkapkan pandangannya tentang mendorong peningkatan konsumsi masyarakat.
Dalam pidatonya tak lama setelah meluncurkan reformasi untuk memperluas industri Tiongkok pada tahun itu, Xi mengatakan, bahwa Tiongkok seharusnya tidak memprioritaskan permintaan tetapi mengatasi masalah “kapasitas pasokan efektif yang tidak mencukupi”, dengan membangun lebih banyak pabrik dan industri agar tidak terlalu bergantung pada pembelian komoditas yang dipasok Barat.
Dalam pidato dan tulisannya, Xi juga memperingatkan, jika Beijing berbuat terlalu banyak untuk mendukung rumah tangga guna meningkatkan konsumsi, itu berisiko. Dalam sebuah artikel di media “Qiushi” pada tahun 2022, ia memperingatkan pemerintah daerah agar tidak melakukan “pengamanan berlebihan” yang dapat menjerumuskan negara ke dalam paham kesejahteraan (welfarism).
PKT berpendapat memberikan uang kepada BUMN lebih mudah dikendalikan ketimbang masyarakat
Chen Zhiwu, seorang profesor keuangan di Universitas Hong Kong mengatakan, para pembuat kebijakan di Beijing selama ini beranggapan bahwa mengalihkan sumber daya negara (dana) ke sektor negara akan lebih cepat dan dapat diandalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ketimbang memberikannya kepada masyarakat.
Chen Zhiwu mengatakan, Beijing menganggap para konsumen itu lebih mudah berubah pikiran dan lebih sulit dikendalikan dibandingkan dengan perusahaan milik negara, dan bahkan ketika masyarakat mempunyai uang, mereka belum tentu mau berbelanja lebih banyak.
Belakangan ini, prospek perekonomian Tiongkok semakin suram. Aktivitas manufaktur menyusut, ekspor menurun, harga perumahan jatuh, indeks harga konsumen merosot ke tingkat deflasi, dan pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut data Bank Dunia, konsumsi rumah tangga Tiongkok sejak tahun 2016 tetap sebesar 38% dari produk domestik bruto. Sementara rasio tersebut di Amerika adalah 68%.
Data Bank UBS menunjukkan, tahun 2022 rumah tangga Tiongkok menggunakan 33,5% dari pendapatan mereka untuk ditabung, naik dari 29,9% pada tahun 2019. Tingkat tabungan rumah tangga Tiongkok selalu termasuk yang tertinggi di dunia. Ini berarti tingkat konsumsi masyarakat menurun.
Artikel Xi Jinping pada media corong PKT “Qiu Shi” mengirimkan Sinyal
Pidato Xi Jinping yang dimuat pada media “Qiu Shi” pada 16 Agustus mengindikasikan bahwa Beijing sengaja menghindari langkah-langkah stimulus yang lebih bergaya Barat. Xi Jinping mendesak semua pihak untuk “bersabar”, dan menekankan perlunya menghindari ikut-ikutan menggunakan model Barat untuk menggenjot pertumbuhan.
Xi Jinping yakin bahwa Beijing harus menerapkan disiplin fiskal yang ketat, terutama mengingat besarnya masalah utang Tiongkok.
Sumber yang akrab dengan pengambilan keputusan di Beijing mengatakan bahwa Xi dan timnya yakin mereka harus berhati-hati dalam menerapkan stimulus ekonomi agar tidak melemahkan upaya untuk membatasi utang dan mengekang spekulasi, terutama di bidang real estat.
Sumber tersebut mengungkapkan bahwa artikel Xi Jinping memang disengaja untuk dipublikasikan saat ini padahal pidato itu terjadi pada bulan Februari tahun ini.
Dengan mempublikasikan pidatonya, kata mereka, otoritas PKT bertujuan untuk melawan suara-suara di dalam dan luar negeri yang selama ini mendesak Beijing berbuat lebih banyak untuk membantu perekonomian, terutama paket fiskal yang menargetkan rumah tangga daripada program pemerintah.
Para ekonom dan orang-orang yang akrab dengan pemikiran Beijing mengatakan bahwa langkah-langkah ekonomi Beijing berikutnya adalah proyek yang memberikan peran sentral kepada pemerintah dalam mendorong pertumbuhan, yakni investasi di bidang infrastruktur, atau mengarahkan dana ke bidang-bidang seperti semikonduktor dan kecerdasan buatan atau industri tertentu lainnya yang dapat memajukan tujuan Partai Komunis Tiongkok.
Tentu saja, Beijing bahkan lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan perubahan besar yang berorientasi pasar, atau beralih dari kontrol ekonomi terpusat yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun.
Jurnal lainnya yang juga menjadi corong PKT Study Times menerbitkan artikel pada 16 Agustus yang secara khusus menentang distribusi uang tunai kepada konsumen.
“Meskipun langkah-langkah ini sampai batas tertentu dapat merangsang kenaikan konsumsi, tetapi terlalu mahal bagi kondisi Tiongkok”, tulis dalam publikasi tersebut.
Artikel tersebut juga menekankan manfaat dari model tarikan investasi jangka panjang, “investasi tidak hanya menghasilkan permintaan langsung, tetapi juga merupakan pendorong pertumbuhan yang nyata”, tulisnya.
Namun banyak ekonom khawatir bahwa untuk menghidupkan kembali perekonomian Tiongkok diperlukan lebih banyak upaya dari pemerintah.
Beberapa ekonom telah memperingatkan bahwa semakin lama Tiongkok menunggu, akan semakin besar risiko stagnasi sekuler, yang memungkinkan Tiongkok dari sumber pertumbuhan global yang dapat diandalkan menjadi Tiongkok yang menjadi risiko bagi perekonomian global.
Sejauh ini, program stimulus yang diterapkan Beijing hanya “kecil-kecilan” dan tidak terkonsentrasi, sehingga hasilnya pun tidak memuaskan. (sin)