19 Negara Berpartisipasi Lindungi Stabilitas Indo-Pasifik
Cheng Jing
Pada Kamis (31/8) lalu lima negara di antaranya termasuk AS dan Indonesia membuka latihan militer gabungan selama dua minggu di pulau utama Indonesia yakni Pulau Jawa, dengan tujuan melindungi stabilitas kawasan Indo-Pasifik.
Latihan perang yang diberi nama “Super Garuda Shield” ini adalah latihan perang bersama dengan peluru nyata yang diadakan oleh AS bersama dengan Indonesia secara rutin setiap tahunnya sejak 2009 lalu, pada tahun lalu untuk pertama kalinya menerima keikutsertaan negara lain sehingga nama latihan militer tersebut pun diubah.
Sejak 2022, Australia, Jepang, dan Singapura ikut bergabung dalam latihan perang ini. Untuk 2023 ini, pasukan militer Inggris dan Prancis pun ikut ambil bagian, menjadikan latihan perang tahun ini melibatkan sekitar 5.000 personel.
Selain itu, 12 negara lain: Brunei Darussalam, Brasilia, Kanada, Jerman, India, Malaysia, Belanda, Selandia Baru, Papua New Guinea, Filipina, Korea Selatan, dan Timor Leste juga mengirim pengamatnya untuk mengikut latihan militer gabungan berdurasi dua minggu tersebut.
Latihan kali ini digelar di beberapa lokasi, termasuk di perairan sekitar Kepulauan Natuna yang terletak di bagian selatan Laut Tiongkok Selatan. Latihan pada Kamis pagi dibuka secara resmi oleh Panglima TNI Yudo Margono.
VoA mengutip pernyataan Komandan AD Pasifik Amerika yakni Jenderal Charles Flynn, sebanyak 19 negara ikut ambil bagian dalam latihan kali ini, merupakan manifestasi yang kuat akan kekompakan multilateral melindungi kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Pada Selasa (29/8) lalu dalam pernyataannya saat berada di gedung Kedubes AS di Jakarta Jenderal Flynn mengatakan, berdasarkan sukses besar dalam latihan tahun lalu “Super Garuda Shield 2023” telah melibatkan setidaknya 2.100 personel militer AS dan 1.900 personel militer RI, meningkatkan kemampuan interoperabilitas, termasuk simulasi komando dan kendali, latihan amfibi, latihan udara, latihan merebut bandara dan pelatihan di lapangan bersama, serta latihan menembakkan peluru tajam sebagai puncak acara.
Pernyataan juga menyebutkan, “Latihan gabungan multi nasional kali ini telah memperlihatkan semangat kekompakan dari komitmen bersama serta kesamaan visi dan misi kami semua, yang sangat membantu dalam membangun suatu kawasan Samudera Hindia-Samudera Pasifik yang stabil, aman, lebih damai, bebas, dan terbuka.”
Pihak AS menyebutkan latihan perang ini bukan ditujukan bagi negara tertentu, tapi latihan perang gabungan “Super Garuda Shield” tahun lalu yang disebut Flynn, bertepatan dengan usainya latihan perang yang belum pernah ada dalam sejarah yang diadakan Beijing pada Agustus tahun lalu dengan mengitari Taiwan. Waktu itu ada Brasilia, Kanada, Jerman, India, Malaysia, Belanda, Filipina, Korea Selatan, Selandia Baru, Timor Leste, Brunei Darussalam, dan Papua New Guinea ikut bergabung sebagai negara pengamat.
Provokasi dan Ekspansi Militer PKT di Laut Tiongkok Selatan Memicu Kekhawatiran
Aksi provokasi dan ekspansi militer yang terus menerus oleh Beijing beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara di kawasan Indo-Pasifik.
Minggu lalu, di wilayah perairan yang disengketakan di Laut Tiongkok Selatan RRT telah menembakkan meriam air untuk mengganggu kiriman pasokan logistik oleh Filipina. Komandan Armada Ketujuh AS yakni Laksamana Madya Karl Thomas menyatakan, “aksi provokasi” PKT di Laut Tiongkok Selatan, termasuk menembakkan meriam air bertekanan tinggi terhadap kapal Filipina, harus mendapatkan tentangan dan harus dihentikan.
RRT juga setidaknya telah memasang rudal anti kapal dan rudal anti udara, laser, serta sistem gangguan elektronik pada tiga kepulauan yang disengketakan di Laut Selatan (Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross Reef), serta menempatkan pesawat tempurnya. Komandan USINDOPACOM (Komando Indo-Pasifik AS) yakni Laksamana John C. Aquilino pada Maret tahun lalu mengatakan, Beijing telah bersikap memojokkan, dan mengancam negara-negara di sekitarnya.
Kepada kantor berita Associated Press (AP) Laksamana Aquilino menjelaskan, “Dalam 20 tahun terakhir, kita telah melihat Beijing melakukan ekspansi militer terbesar setelah PD-II, seluruh aspek kemampuan mereka telah dikembangkan, bahkan terus memperkuat persenjataannya, dan merusak stabilitas regional.”
Sebanyak 50% kapal dagang di seluruh dunia berikut sepertiga perdagangan maritim yang berlayar melalui jalur pelayaran Laut Tiongkok Selatan, setiap tahunnya mencapai lebih dari 100.000 unit kapal. AS tak berniat menuntut kedaulatan atas Laut Tiongkok Selatan, tapi melindungi “pelayaran bebas”.
Beberapa hari lalu, Beijing baru saja merilis “Peta Baru Standar RRT 2023” yang memasukkan Taiwan, seluruh kepulauan di Laut Tiongkok Selatan, serta Arunachal Pradesh dan Aksai Chin yang masih menjadi sengketa antara RRT dengan India, ke dalam peta wilayah kedaulatan RRT, hal tersebut sontak memicu protes keras dari Taiwan, India, Malaysia, Indonesia, dan juga Filipina.
Pada Kamis (31/8) lalu, Menlu Indonesia Retno Marsudi menyatakan pada media massa, penarikan garis batas atau klaim wilayah apapun harus sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, dia juga menekankan “sikap Indonesia selalu sejalan dengan UNCLOS, dan ini bukan sikap baru, melainkan sejak awal Indonesia selalu bersikap sama.” (sud/whs)