Time To Explore
Pada November lalu, pameran dirgantara yang diadakan di Dubai telah berakhir, dan sebagai negara industri militer, Rusia telah membawa banyak perlengkapan persenjataannya ke ajang tersebut, namun tidak memperoleh satu pun pesanan, walhasil tidak mendapat untung satu sen pun.
Senjata Rusia Ditanggapi Dingin Pada Dubai Airshow
Dubai Airshow tahun ini dihadiri oleh lebih dari 90 negara dengan 1.400 perusahaan yang ikut dalam pameran, jenis pesawat dan helikopter yang dipamerkan lebih dari 180 unit, Dassault Mirage 2000 yang kerap dijumpai, Dassault Rafale buatan Prancis, sampai F-16 buatan AS, J-10 buatan RRT, dan juga Su-35 buatan Rusia, semuanya hadir dalam pameran ini, AS bahkan mengutus pesawat bomber Rockwell B-1B Lancer untuk terbang melintasi udara di atas pameran dirgantara tersebut.
Pada Dubai Airshow 2021 lalu, Rusia telah mendapatkan pesanan senilai 1,3 milyar dolar AS, dua tahun sebelumnya yakni pada 2019, Rusia memperoleh pesanan senilai 3,5 milyar dolar AS, dan dua tahun sebelumnya lagi yakni tahun 2017 Rusia berhasil menandatangani kontrak senilai 10 milyar dolar AS. Sementara tahun ini nol besar. Bisa dilihat selama 6 tahun dari 2017 sampai 2023 pesanan yang diperoleh Rusia terus mengalami penurunan drastis.
Dibandingkan dengan Rusia, negara Barat justru panen besar, total transaksi pada Dubai Airshow tahun ini mencapai 98 milyar dolar AS, dengan didominasi oleh tiga raksasa Eropa dan Amerika yakni Lockheed Martin, Boeing, dan Airbus yang berhasil mengantongi kontrak senilai 67 miliar dolar AS. Tentu saja mayoritas pesanan adalah produk penerbangan sipil, misalnya Uni Emirat Arab yang membelanjakan 58 milyar dolar AS, untuk membeli 110 unit pesawat penumpang dari perusahaan Boeing dan Airbus.
Namun, kondisi ini juga terefleksi secara menyamping, bahwa setelah perang Ukraina, persenjataan militer Rusia mendapat tanggapan dingin dari pasar internasional.
Dalam pameran kali ini, Rusia juga telah membawa sangat banyak senjata canggihnya, seperti pesawat angkut strategis Ilyushin-76MD, jet tempur Su-35S, helikopter Kamov Ka-52, helikopter pemadam kebakaran Kamov Ka-32, juga rudal udara-ke-udara Vympel R-77 dan R-37. Walaupun peralatan dan persenjataan Rusia tidak terjual, tapi bagian pejualan Rusia mutlak tidak mau kalah, CEO perusahaan teknologi Rusia Rostec yakni Sergey Chemezov menyatakan, pihaknya sangat yakin pada standar teknologi dirgantara Rusia, helikopter kamuflase Ka-52 Alligator berkinerja fantastis dalam misi militer khusus, dan mendapatkan pujian dunia.
Helikopter Ka-52 yang dimaksud CEO ini, sayangnya lebih dari lima puluh unit telah mengalami naas di Ukraina, menurut data statistik badan intelijen sumber terbuka pihak ketiga yakni ORYX (Oryxspioenkop, red.) hingga November lalu, Rusia telah kehilangan sebanyak 59 unit helikopter Ka-52 dalam perang kali ini. Semua data statistik ORYX berasal dari foto dan video yang dikirimkan dari lokasi perang, yang datanya diperbaharui setelah mendapatkan konfirmasi. Dengan kata lain, kehilangan Ka-52 di pihak Rusia yang sebenarnya mungkin bahkan lebih tinggi dari angka tersebut.
Ini merupakan konsepsi apakah? Sebelum perang dimulai, Rusia memiliki sekitar 110 unit helikopter Ka-52, setelah kehilangan 59 unit, berarti Rusia telah kehilangan hampir 55% helikopter Ka-52. Hari yang paling tragis bagi Angkatan Udara dan Dirgantara Rusia (VKS) terjadi pada 17 Oktober dini hari lalu, dimana Ukraina telah melancarkan serangan terhadap bandara yang terletak di utara Berdiansk dengan 18 rudal taktis AD yang baru saja diberikan oleh AS, yang telah menghancurkan 20 unit pesawat Rusia, berikut berbagai perlengkapan pertahanan udara, seperangkat sistem radar, dan gudang amunisi Rusia. Ke-20 unit helikopter tersebut antara lain terdiri dari 11 unit Kamov Ka-52, 8 unit helikopter Mil Mi-8, dan 1 unit Mil Mi-17. Kekalahan yang dialami oleh Ka-52 di medan perang Ukraina begitu parah, entah apakah yang mendasari keberanian CEO Rusia itu sehingga ia begitu membanggakan produknya? (sud/whs)