oleh Gao Yiqing
Sebuah gereja yang terletak di kota Linfen, Fushan County, Shanxi, Tiongkok dibongkar pada 9 Januari setelah sebelumnya dibom. Beberapa pihak elit mengatakan bahwa kejadian ini mengingatkan kita pada insiden di mana Taliban membom Buddha Bamyan.
Menurut siaran Radio Free Asia bahwa pada 7 Januari lalu, bagian luar gereja itu dikelilingi pagar seng oleh otoritas dan dijaga ketat oleh beberapa anggota polisi bersenjata. Terlihat beberapa orang pekerja masuk ke dalam gereja untuk melakukan sesuatu.
Pada 9 Januari sekitar pukul 15.00 waktu setempat sejumlah pekerja menanam sejumlah bahan peledak ke dalam tiang-tiang bangunan gereja lalu diledakkan. Pengurus gereja sebelumnya tidak pernah menerima pemberitahuan.
Usai peledakan itu, otoritas berwenang menahan beberapa umat gereja itu untuk mencegah mereka berkomunikasi dengan dunia luar untuk menghindari bocornya berita.
Sekitar 2 hari sebelum kejadian tersebut, kepala desa dan polisi setempat masih menyapa para umat dan memperingatkan agar tidak mendatangi gereja untuk menyaksikan pembongkaran.
https://www.youtube.com/watch?v=Mp1w1piZJaQ
“Ini sangat mengejutkan dan sulit dapat dimengerti mengapa gereja tersebut harus dibongkar secara paksa” kata Meng Yuanxin, seorang peneliti pada Asosiasi Bantuan AS Kepada Tiongkok kepada Epoch Times.
Lebih ironis lagi adalah penghancuran gereja dengan menggunakan bahan peledak dan mengerahkan sejumlah polisi bersenjata. Inilah sikap yang ditunjukkan Partai Komunis Tiongkok (PKT) terhadap agama di Tiongkok. Bahkan dengan perilaku yang sangat buruk, menyatakan sikap mereka terhadap agama dengan sengaja melanggar hukum alam.
Meng Yuanxin mengatakan, Gereja ‘Golden lampstand’ yang mulai dibangun pada tahun 1998 itu terus mendapat gangguan dari pemerintah setempat. Aliran air dan listrik sering diputus mereka sehingga pembangunannya baru dapat selesai pada tahun 2004.
Otoritas Fushan County rupanya mengincar lokasi tersebut karena memiliki nilai komersial sehingga terus berupaya untuk membongkar gereja tetapi mendapat penolakan dari umat.
Pada 13 September 2009 sekitar pukul 03.00 dini hari, otoritas Fushan mengirim 400 lebih anggota polisi dan preman masuk ke lokasi pertemuan para umat gereja dan pabrik sepatu Fuying melakukan pemukulan yang mengakibatkan lebih dari 100 orang umat terluka.
Otoritas juga mengirim buldozer dan excavator untuk merusak puluhan bangunan, menghancurkan paksa perangkat TV, kulkas, mobil dan lainnya.
Pada 23 September Gereja Golden Lampstand kembali dikepung oleh polisi bersenjata. Dua hari kemudian, penanggungjawab gereja Yang Rongli bersama 6 orang lainnya mengalami penyanderaan sewaktu mereka berada dalam perjalanan menuju Kantor Pengaduhan Masyarakat.
Yang Tongli dan kelima orang itu ditahan dan didenda dengan tuduhan ‘menggunakan lahan pertanian ilegal’ dan ‘menghasut masyarakat berkumpul sehingga menggangu ketertiban lalu lintas’.
Yang Rongli dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda uang RMB. 30.000. Pada 30 November tahun lalu, kelima orang lainnya itu dijatuhi hukuman kerja paksa selama 2 tahun.
Sejak saat itu, Gereja Golden Lampstand terus diblokir oleh Kantor Keamanan dan Ketertiban Publik setempat, dan dijaga oleh petugas. Pintu dan jendela-jendela gereja rusak dan sampah menumpuk sampai tahun 2014.
Penindasan dan penganiayaan terhadap umat beragama tidak akan dihentikan oleh PKT yang atheis
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (UDHR) yang lahir pada 10 Desember 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bebas memeluk agama.
Meng Yuanxin mengatakan : “Deklarasi tersebut sudah hampir 70 tahun, tetapi PKT sampai saat ini masih mengirim polisi bersenjata untuk meledakkan gereja. Karena itu, menghimbau negara dengan kekuatan utama dunia yang berlatar belakang agama Kristen khususnya untuk memberikan perhatian terhadap insiden semacam ini di Tiongkok.”
Meng Yuanxin mengatakan, Meskipun Dewan Negara Tiongkok pada tahun lalu telah menerbitkan ‘Peraturan tentang Urusan Keagamaan’ , tetapi “Kebebasan beragama di Tiongkok menunjukkan langkah mundur. Tidak saja kegiatan yang dilakukan dalam rumah-rumah ibadah perumahan, terhadap gereja-gereja besar pun aktivitasnya terus dibatasi. Kegiatan gereja tampaknya akan menghadapi penindasan secara menyeluruh”, demikian penjelasan Meng Yuanxin.
Ren Quanniu, seorang pengacara HAM Daratan Tiongkok kepada reporter Epoch Times mengatakan bahwa dilihat dari permukaan gereja di kota Linfen itu dibongkar karena alasan-alasan apakah ‘melanggar aturan bangunan’ atau ‘demi kebutuhan tata kota ? tetapi yang pasti adalah otoritas berusaha untuk menghalangi orang beragama.
Oleh sebab itu umat Kristen perlu bersatu, dan meminta melalui pendekatan hak berpetisi kepada pemerintah daerah untuk mengubah cara penyelesaian masalah, bagaimana pun gereja memiliki kekhasan tersendiri.
Sebelumnya, Hu Ping, seorang komentator politik terkenal dan editor kehormatan dari media ‘Beijing Spring’ kepada Epoch Times menjelaskan bahwa organisasi keagamaan yang ditampilkan PKT adalah yang bersifat dekoratip demi ‘kebebasan beragama’ yang dipropagandakan. Penindasan justru meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ini adalah aspek penting dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PKT.
Hu Ping mengatakan, ia berharap semua kelompok organisasi di Tiongkok saling mendukung dan saling merespons untuk menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama dan berani tampil untuk berbicara, setidaknya juga jangan membantu atau mentolerir mereka berbuat jahat.
Tang Jingyuan, seorang komentator masalah sosial mengemukakan bahwa selama PKT yang atheis masih belum dibubarkan, jangan berharap penindasan dan penganiayaan terhadap kebebasan beragama dihentikan.
“PKT itu bagaikan racun, komposisinya penuh dengan racun. Jika kita tidak bersedia membuang jauh harapan yang pernah kita titipkan kepadanya, tidak saja masyarakat umum yang akan terus menderita, tapi termasuk mereka yang benar-benar ingin berbuat sesuatu yang berguna bagi bangsa dan negara juga akan mati ditelan oleh sistem ini,” imbuhnya. (asr)
Sumber : Epochtimes.com