Perusahaan Farmasi ini mengakui bahwa vaksinnya dapat menyebabkan ‘trombositopenia trombotik imun yang diinduksi vaksin’-penggumpalan darah yang berbahaya-pada beberapa pasien
Rex Widerstrom
Produsen farmasi AstraZeneca untuk pertama kalinya mengakui bahwa vaksin COVID-19 yang mereka produksi dapat, “dalam kasus yang sangat jarang terjadi,” menyebabkan trombosis dengan thrombocytopenia syndrome (TTS), ditandai dengan pembekuan darah (trombosis) dan jumlah sel darah merah yang rendah (trombositopenia). Kondisi ini juga disebut vaccine-induced immune thrombotic thrombocytopenia (VITT).
Pengakuan ini disampaikan dalam dokumen hukum yang diajukan ke Pengadilan Tinggi di Inggris, di mana perusahaan membela diri dari gugatan class action yang menuduh vaksin COVID-19 yang mereka produksi telah menyebabkan sejumlah kematian dan cedera serius.
Tahun lalu, Jamie Scott, seorang ayah dari dua anak, mengajukan gugatan terhadap perusahaan multinasional Inggris-Swedia tersebut. Dia mengklaim bahwa setelah menerima vaksin pada April 2021, dia mengalami pembekuan darah yang mengakibatkan kerusakan otak yang parah. Pada satu titik, rumah sakit memberitahukan kepada istrinya bahwa ia mungkin tidak akan bertahan hidup.
Scott menuduh bahwa perusahaan farmasi raksasa itu melebih-lebihkan efektivitas vaksin dan meremehkan risikonya.
Gumpalan Darah di Otak
Sepuluh hari setelah dosis pertamanya, Scott terbangun dengan sakit kepala parah, mulai muntah, dan kesulitan berbicara. Dia dibawa ke rumah sakit di mana dia didiagnosis dengan gumpalan darah yang menghentikan aliran darah dari otaknya, serta pendarahan di otak itu sendiri. Dia menjalani operasi dan mengalami koma selama lebih dari sebulan.
Scott memiliki daya ingat yang buruk, kesulitan membaca, menulis, mendengar, dan berbicara, mengalami kebutaan pada kedua matanya, serta menderita rasa sakit dan kelelahan.
AstraZeneca kini menghadapi gugatan class action dari 51 pasien dan keluarga yang menuduh adanya hubungan antara vaksin tersebut, yang dikenal sebagai Vaxzevria, dengan kondisi langka tersebut dan menuntut ganti rugi lebih dari 100 juta poundsterling atau setara Rp 2 Triliun, meskipun gugatan Scott diperkirakan akan didengar terlebih dahulu.
Para penggugat menempuh strategi dua jalur: mengambil tindakan hukum di bawah Undang-Undang Perlindungan Konsumen Inggris tahun 1987 serta mengklaim pembayaran di bawah Skema Pembayaran Kerusakan Vaksin yang dikelola pemerintah.
Skema ini telah membayar dalam beberapa kasus tetapi terbatas pada £120.000 per klaim, dan pemohon harus membuktikan kecacatan yang parah.
AstraZeneca Membantah Adanya Hubungan Kausal
Merespon pengacara Scott pada Mei 2023, perusahaan tersebut mengatakan, “Kami tidak menerima bahwa TTS disebabkan oleh vaksin pada tingkat generik” tetapi menambahkan, “Simpati kami ditujukan kepada siapa pun yang kehilangan orang yang dicintai atau melaporkan masalah kesehatan.”
“Dari sejumlah bukti dalam uji klinis dan data dunia nyata, Vaxzevria secara terus menerus terbukti memiliki profil keamanan yang dapat diterima dan regulator di seluruh dunia secara konsisten menyatakan bahwa manfaat vaksinasi lebih besar daripada risiko efek samping potensial yang sangat jarang terjadi,” kata perusahaan itu.
Meskipun klaim hukum ditujukan kepada AstraZeneca, pembayar pajak Inggris harus membayar kompensasi yang diberikan berdasarkan perjanjian ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan di awal pandemi.
Salah satu dari dua pengacara yang menangani klaim tersebut, Peter Todd, seorang pengacara konsultan dari Scott-Moncrieff & Associates, mengatakan bahwa komplikasi yang terkait dengan vaksin tersebut termasuk stroke, gagal jantung, dan amputasi kaki. Dia mengatakan bahwa teknologi yang digunakan dalam vaksin AstraZeneca “berisiko.”
Menurut Sarah Moore, mitra di firma hukum kedua, Hausfeld, ganti rugi yang diberikan dalam kasus ini bisa mencapai jutaan poundsterling per penggugat.
“Kami telah berusaha membuat pemerintah mereformasi skema hukum mereka,” katanya.
“Kami tidak ingin berperkara, tetapi pemerintah telah memaksa kami untuk melakukan hal tersebut. Satu-satunya cara agar para keluarga ini bisa mendapatkan kompensasi adalah dengan melakukan perlawanan yang tidak ingin mereka lakukan.”
AstraZeneca Menghapus Vaksin dari Daftar Australia
AstraZeneca memproduksi vaksin Universitas Oxford secara nirlaba dan mengklaim akan mengirimkan hingga 3 miliar dosis vaksinnya ke seluruh dunia pada akhir 2021, hanya 18 bulan setelah pengembangan dimulai.
Sebuah studi independen oleh perusahaan prediksi penyakit Airfinity, yang diterbitkan pada tahun 2022, memperkirakan vaksin ini telah menyelamatkan lebih dari enam juta jiwa pada tahun pertama penggunaannya, lebih banyak daripada pencegahan COVID-19 lainnya.
Anggota panel persetujuan TGA juga memiliki jumlah tertinggi kedua yang menyatakan adanya konflik kepentingan dengan produsen vaksin COVID-19. Lima puluh persen menyatakan adanya konflik tersebut; 75 persen dari regulator Jepang memiliki masalah tersebut. Hal ini dibandingkan dengan kurang dari 10 persen di AS, tiga persen di Eropa, dan tidak ada di Kanada.
Australia dan Kanada adalah satu-satunya yurisdiksi dalam sampel yang tidak secara rutin mempublikasikan konflik kepentingan anggotanya sebagai informasi publik.
Pada 2020/21, TGA menyetujui lebih dari sembilan dari setiap 10 permohonan perusahaan obat, angka tertinggi kedua setelah Eropa.
Di Australia, AstraZeneca Pty Ltd secara sukarela menghapus Vaxzevria (sebelumnya dikenal sebagai Vaksin COVID-19 AstraZeneca) dari Daftar Barang Terapeutik Australia pada akhir April 2024.
Menurut Therapeutic Goods Administration (TGA), otoritas pengawas barang terapeutik Australia, langkah ini merupakan “keputusan bisnis perusahaan, karena tidak ada permintaan vaksin saat ini atau yang diantisipasi di masa depan, dan mengikuti keputusan bisnis serupa yang dibuat di luar negeri.”
Bergantung pada Pendanaan Farmasi
Di sebagian besar negara, regulator obat-obatan seperti TGA terutama didanai oleh industri farmasi, yang dimaksudkan untuk mendukung biaya peninjauan aplikasi obat dengan cepat.
Menurut perbandingan yang dilakukan oleh British Medical Journal baru-baru ini, regulator Australia sangat bergantung pada biaya ini, yang mencakup 96 persen dari biaya operasionalnya, dibandingkan dengan 65 persen untuk Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat dan 50,5 persen untuk Health Canada. Badan Obat-obatan Eropa paling mendekati angka Australia, yaitu 89 persen.
Yang paling mendekati angka Australia adalah European Medicines Agency, yaitu 89 persen. (asr)
Rex Widerstrom adalah seorang reporter yang berbasis di Selandia Baru dengan lebih dari 40 tahun pengalaman di bidang media, termasuk radio dan media cetak. Saat ini dia adalah presenter untuk Hutt Radio