Pemerintah Tiongkok Terancam Oleh Kebangkitan dari Kaum DINK Tiongkok

oleh Zhang Ting

Pada  2016 pemerintah Tiongkok terpaksa mengubah kebijakan keluarga berencana dari 1 orang anak menjadi 2 orang anak akibat krisis populasi yang terjadi. Kemudian diubah lagi menjadi 3 orang anak pada 2021. Saat ini, alih-alih berhasil, Rezim komunis Tiongkok malah menghadapi tantangan yang lebih besar : Karena ketidakpastian ekonomi, semakin banyak keluarga baru di Tiongkok yang memilih angka lain untuk jumlah anak mereka, yaitu nol orang anak. Mereka ini disebut kaum DINK, yaitu keluarga “berpenghasilan ganda tanpa anak” (Double Income No Kids).

Menurut laporan “Los Angeles Times” pada 8 Mei, seorang wanita muda berusia 29 tahun yang bernama Xu Kaikai mengatakan, bahwa menjadi kaum DINK memberi dia dan pacarnya yang berusia 36 tahun rasa kendali yang lebih besar atas kehidupan mereka.

Saat ini ia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang periklanan di Shanghai, dan pacarnya adalah manajer proyek di sebuah perusahaan konstruksi.

Ia dulu pernah berkeinginan untuk memomong bayi setelah menikah. Tapi “ia sekarang tak lain adalah sehelai daun yang terapung di sungai dan terbawa arus.

Vable Liu, seorang guru bahasa Inggris berusia 29 tahun di Kota Jinan mengatakan, bahwa sekitar sepertiga temannya adalah kaum DINK.

Zheng Yu, seorang konsultan mode berusia 47 tahun yang tinggal di Shanghai, sejak berusia 20-an tahun telah memutuskan untuk tidak mau punya anak bila berkeluarga kelak, tentu saja putusannya itu tidak dipahami oleh keluarga dan teman-temannya pada saat itu. Namun karena ketimpangan yang semakin besar antara biaya hidup dengan pendapatan sekarang, dan melihat sendiri keponakannya menghadapi tekanan untuk mengejar karir yang sukses. Zhengyu mengatakan bahwa jika saja diri dan suaminya mendapat kesempatan untuk memilih, ia pasti akan mengambil keputusan untuk bergabung dengan kaum DINK.

Yuying Tong, seorang profesor sosiologi di Chinese University of Hong Kong yang mempelajari kehidupan keluarga, mengatakan bahwa ini adalah fenomena di kalangan masyarakat berpenghasilan tinggi di Tiongkok. Dan bertambahnya anggota DINK sebagian besar karena meningkatnya jumlah orang yang menunda pernikahan.

Hu Huiwen, seorang konsultan keuangan berusia 38 tahun yang tinggal di Kota Hangzhou, mengatakan bahwa dia berpartisipasi dalam tiga grup obrolan DINK yang berbeda. Dalam rekaman video hariannya, dia memperlihatkan dirinya sedang membaca atau berjalan-jalan di taman sambil mengagumi pepohonan rindang yang berdaun merah.

Meluasnya penyebaran adegan kehidupan dengan tanpa anak ini telah mempersulit propaganda pemerintah Tiongkok untuk mendorong masyarakat Tiongkok untuk memiliki anak. Stagnasi ekonomi Tiongkok juga membuat lebih banyak warga Tiongkok tidak ingin kehidupannya dipersulit oleh membesarkan anak.

Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Yuwa Population Research Institute yang berbasis di Beijing menemukan, bahwa rata-rata biaya membesarkan seorang anak di Tiongkok adalah USD.74.600,- atau setara dengan 6,3 kali PDB per kapita.

Mu Zheng, asisten profesor sosiologi di National University of Singapore, percaya bahwa analisis terakhir adalah bahwa tekanan dan lingkungan yang sangat kompetitif membuat banyak orang sulit menerima beban dari pernikahan dan melahirkan anak.

Bagi rezim Partai Komunis Tiongkok yang sedang berada di tengah-tengah krisis demografis, dan kenyataan tentang penurunan jumlah populasi selama tahun 2022 dn 2023, tentu merasa bahwa kebangkitan kaum DINK ini terjadi pada saat yang tidak tepat. Oleh karena itu, rezim Beijing berupaya mendorong masyarakat Tiongkok untuk memiliki anak melalui subsidi dan bahkan layanan perjodohan.

Bahkan pemerintah Tiongkok sepertinya juga berusaha mengintimidasi kaum DINK ini agar mereka berubah pikiran. Bulan lalu, Partai Komunis Tiongkok mempromosikan artikel tentang pasangan DINK di Weibo. 

Artikel tersebut menyebutkan bahwa sebuah keluarga yang menganut DINK belakangan menyesal karena tidak memiliki anak, hidup mereka merasa sepi, sering terjadi cekcok suami-istri, dan menghadapi beberapa masalah warisan.

Komentar para DINK-ers terhadap artikel pemerintah tersebut : “Apakah contoh itu hanya untuk mendorong keluarga agar memiliki anak ?”, kata seorang blogger hiburan populer “Jangan-jangan lebih banyak keluarga yang menyesal karena punya anak”.

Dengan lesunya perekonomian Tiongkok, tingginya pengangguran kaum muda, dan lapangan kerja yang menyusut, banyak warga sipil Tiongkok yang merasa bingung dengan masa depan. Mahalnya biaya pendidikan membuat banyak keluarga muda tidak mampu menanggung beban biaya punyai anak.

Pada  Juni tahun lalu, di sebuah pusat perbelanjaan di Beijing, Yang Ri, seorang pegawai perusahaan milik negara berusia 35 tahun, mengatakan kepada wartawan Wall Street Journal, bahwa putrinya duduk di kelas satu SD, tetapi uang yang dihabiskan untuk membayar makanan, mainan, bimbingan belajar sepulang sekolah untuk putrinya dalam setahun mencapai USD.28.000,-. Karena itu ia takut memiliki anak lagi.

Wall Street  Journal yang mengutip ucapan Xiujian Peng, seorang peneliti senior di Universitas Victoria di Australia, melaporkan : “Ketika tekanan ekonomi sangat besar dan banyak orang merasa mata pencaharian mereka tidak aman, hal itu pasti akan berpengaruh terhadap keputusan keluarga untuk memiliki anak.” (sin)