Antonio Graceffo
Poros Presiden Rusia Vladimir Putin, pemimpin komunis Tiongkok Xi Jinping, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, dan pemimpin Iran Ali Khamenei didorong oleh ideologi yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan pribadi dan tujuan negaranya. Namun, karena ideologi dan tujuan mereka berbeda, pada akhirnya mereka akan mengalami konflik, yang berujung pada pembubaran blok tersebut.
Komunis Tiongkok, Federasi Rusia, Korea Utara, dan Republik Islam Iran sedang membentuk sebuah poros untuk menentang Amerika Serikat dan melakukan perubahan tatanan internasional yang dipimpin Barat.
Xi Jinping, Vladimir Putin, Kim Jong Un, dan Ayatollah Khamenei memiliki beberapa kesamaan: mereka tidak terpilih secara berarti, tidak punya batas masa jabatan, dan memegang kekuasaan absolut di negaranya. Keempat negara tersebut telah mengalami revolusi yang penuh kekerasan, dan para pemimpin keempat negara itu sadar akan kemungkinan kecil untuk digulingkan. Kesadaran inilah yang mendorong pemimpin keempat negara itu membuat aturan yang bersikap otoriter.
Perbedaan yang signifikan antara blok modern ini dengan Uni Soviet lama atau Poros Nazi-Fasis Perang Dunia II adalah keempat pemimpin tersebut tidak berbagi suatu ideologi bersama.
Pemimpin keempat negara itu mengaku bermotivasi secara ideologis: Xi Jinping dengan Pemikiran Xi Jinping (“sosialisme”), Vladimir Putin dengan nasionalisme Rusia (atau ultranasionalisme, Putinisme), Kim Jong Un dengan Juche, dan Ayatollah Khamenei dengan teokrasi Islam. Ketika ideologi membentuk narasi dan kebijakan publik, ambisi dan tujuan pribadi seringkali lebih besar daripada komitmen ideologis yang sebenarnya. Setiap pemimpin dari pemimpin keempat negara menyesuaikan ideologinya agar sesuai dengan tujuan negaranya, memenuhi visinya untuk masa depan negaranya dan dunia.
Xi Jinping secara teoritis harus dimotivasi oleh ideologi komunis atau sosialis. Namun, istilah “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok” menandai berangkat dari ideologi yang ketat, lebih selaras dengan tujuan negara menjadi kekuatan ekonomi dominan di dunia.
Sementara Partai Komunis Tiongkok mempertahankan label komunisnya, pendekatan Xi Jinping lebih dari itu pragmatis, fokus pada pembangunan ekonomi, kemajuan teknologi, kekuatan militer, dan memperkuat kendali negara. Narasi ideologis dari “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok” melegitimasi kekuasaan Partai Komunis Tiongkok dan mengkonsolidasikan kekuatan Xi Jinping.
Dorongan Xi Jinping tampaknya lebih berorientasi pada penguatan warisan Xi Jinping sebagai salah satu dari tiga pemimpin besar era komunis dan mengubah Tiongkok menjadi negara adidaya global. Ideologi komunis berfungsi sebagai alat untuk menyatukan bangsa dan membenarkan kendali dan pengawasan negara yang ekstensif.
Vladimir Putin sangat bernostalgia dengan pemerintahan Uni Soviet, di mana ia menjabat sebagai perwira KGB, dan ia sering memasukkan unsur Kekaisaran Rusia dalam pidatonya. Rusia modern, di bawah Vladimir Putin, mengurangi kerangka ideologis yang koheren seperti komunisme Soviet. Sebaliknya, Vladimir Putin justru memanfaatkan nasionalisme, sentimen anti-Barat, dan konsep memulihkan status kekuatan Rusia yang besar untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan membenarkan kebijakannya. Tujuan utama Vladimir Putin tampaknya adalah mempertahankan kekuasaannya sendiri dan stabilitas rezimnya.
Unsur-unsur ideologi disesuaikan untuk memperkuat tujuan ini, menumbuhkan rasa kebanggaan dan persatuan nasional terhadap ancaman-ancaman eksternal yang dirasakan.
Pemerintahan Kim Jong Un berakar kuat pada ideologi dinasti yang dianut kakeknya, Kim Il Sung, yang mengembangkan Juche dan mendirikan Republik Demokrat Rakyat Korea dan dilanjutkan oleh ayahnya, Kim Jong Il. Ideologi ini, Juche (kemandirian), dan pemujaan terhadap kepribadian, adalah sangatlah penting menjaga stabilitas dan kendali rezim. Kim Jong Un menggunakan ideologi ini untuk melegitimasi pemerintahannya dan menjamin kesetiaan militer dan elit. Tindakan Kim Jong Un terutama adalah didorong oleh kebutuhan untuk menjamin ketahanan hidup dan kelangsungan rezimnya.
Ayatollah Khamenei, meski tidak murni termotivasi oleh dedikasinya terhadap revolusi Islam, mungkin lebih dipengaruhi oleh keyakinan agamanya dibandingkan, katakanlah, oleh sosialisme Xi Jinping. Keempat pemimpin tersebut tidak hanya menjadi kepala pemerintahan tetapi juga menjadi ideologi pemerintahan masing-masing.
Ayatollah Khamenei, sebagai otoritas agama tertinggi di Iran, adalah penjaga Revolusi Islam dan dapat menentukan arahnya. Kebijakan dan tindakan Ayatollah Khamenei mencerminkan komitmen terhadap pemerintahan teokratis dan menyebarkan cita-cita revolusioner Iran.
Meskipun ideologi agama adalah hal utama, Ayatollah Khamenei juga menggunakan ideologi agama secara strategis untuk menggalang dukungan, mempertahankan kendali internal, dan membenarkan ambisi-ambisi regional Iran. Namun, kelangsungan hidup pribadi dan politik Ayatollah Khamenei juga merupakan motivator yang signifikan.
Bagi Vladimir Putin, Xi Jinping, dan Kim Jong Un, ideologi seringkali muncul lebih sebagai alat untuk melegitimasi aturan mereka dan mempersatukan rakyat daripada suatu prinsip panduan yang benar.
Ayatollah Khamenei cenderung mewakili kepatuhan yang lebih tulus terhadap ideologi, yang didorong oleh keyakinan agamanya, namun ia juga menggunakan ideologi untuk memperkuat otoritasnya.
Antonio Graceffo, PhD, adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Bapak Graceffo adalah lulusan dari Shanghai University of Sport, memegang gelar Tiongkok-MBA dari Shanghai Jiaotong University, dan saat ini sedang mempelajari pertahanan nasional di American Military University. Ia adalah penulis “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019).