Mary Hong
Sudah lebih dari lima tahun sejak platform pinjaman peer-to-peer (P2P) Tiongkok runtuh, namun banyak eksekutif platform yang menghindari akuntabilitas. Hal ini menyebabkan banyak investor menjadi miskin dan tidak mampu mendapatkan restitusi.
Fenomena pinjaman P2P Tiongkok muncul sekitar 2006, memungkinkan pinjaman langsung antar individu melalui platform online, tanpa menggunakan perantara keuangan tradisional. Model ini melonjak popularitasnya pada 2013 di meledak dalam keuangan yang didukung internet, menurut laporan Institut Ekonomi Internasional Peterson.
Baru-baru ini, Zhao Ting (nama samaran), seorang penulis forum online di Tiongkok, menceritakan pengalamannya dengan runtuhnya platform keuangan internet Tiongkok. Menyaksikan banyak orang kehilangan segalanya tanpa bantuan keadilan, Zhao Ting terkejut saat mengetahui keterlibatan negara. Hal ini mendorongnya untuk meninggalkan kesetiaannya kepada Partai Komunis Tiongkok, mengubahnya dari seorang pendukung menjadi penentang keras Partai Komunis Tiongkok.
Bangkit dari Krisis Pinjaman P2P
Berkaca pada pengalamannya sendiri, Zhao Ting menceritakan kepada The Epoch Times edisi bahasa Mandarin, “Saya mulai berinvestasi di P2P pada 2016, selama tahap akhir. Platform seperti Ezubao dan Fanya sudah runtuh. Karena tidak dapat melewati sensor internet, saya mencari investasi-investasi yang dianggap aman, seperti YinPiaoWang, yang berurusan dengan uang kertas dan tagihan jatuh tempo serupa dengan deposito berjangka di bank.”
Menurut Zhao Ting, media pemerintah secara aktif mempromosikan YinPiaoWang, “Platform seperti YinPiaoWang didukung oleh entitas negara. Kami pernah dijamin melalui kunjungan pejabat senior dan dukungan dari badan-badan regulator.”
Catatan-catatan publik menunjukkan bahwa YinPiaoWang yang diluncurkan pada Agustus 2014 mendapat dukungan besar, namun pada Juli 2018, Presiden YinPiaoWang, Yi Deqin, menyerah kepada pihak berwenang, dengan alasan kebangkrutan karena terganggunya rantai modal.
“Keluarga saya mempercayai penilaian saya dan berinvestasi, kehilangan lebih dari satu juta yuan (USD 140,000), termasuk tabungan paman saya selama hidupnya–—hampir 800,000 yuan (USD 112,670),” kata Zhao Ting.
Cheng Nuo (nama samaran), pemberi pinjaman pada platform P2P Huisheng yang berbasis di Tianjin, adalah salah satu dari sekian banyak korban krisis pinjaman P2P yang melepaskan kesetiaannya pada partai tersebut.
Berbicara kepada The Epoch Times, Cheng Nuo mengungkapkan rasa frustrasinya: “Jumlah korbannya banyak setidaknya 320 juta orang. Saya adalah salah satunya. Awalnya, saya percaya pada inisiatif pemerintah ini akan bermanfaat, namun pada akhirnya dianggap ilegal. Ketika kami berusaha membela hak-hak kami, kami ditangkap. Saya telah memperjuangkan hak-hak kami selama tiga atau empat tahun, namun sia-sia. Mereka menekan dan mengintimidasi kami, tetapi kami tidak bisa menerimanya.”
Nyonya Zhao (nama samaran) menginvestasikan 12,6 juta yuan (USD 1,74 juta) di Ezubao dan 3 juta yuan (USD 410,000) di Cedar International Trust, kehilangan semua tabungannya. Meskipun ia mengajukan banyak permohonan, ia menghadapi penindasan terus-menerus, sehingga ia menyadari sifat kejam Partai Komunis Tiongkok dan meninggalkan Partai Komunis Tiongkok.
“Produk keuangan P2P adalah sebuah tragedi,” kata nyonya Zhao. “Saat saya berinvestasi Ezubao, Ezubao mendapat dukungan pemerintah. Setelah pengesahan tersebut, tiba-tiba Ezubao diklasifikasikan sebagai ilegal. Dalam beberapa kasus, orang-orang hanya menerima sepuluh atau 20 persen uangnya kembali, tetapi sebagian besar tidak mendapat apa-apa. Dari 100 orang, mungkin 20 orang menerima uang. Saya tidak mendapat satu sen pun. Hal yang sama berlaku untuk uang yang saya investasikan di Cedar International Trust—–saya juga tidak mendapatkan imbalan apa pun. Saya sering pergi ke Beijing untuk mengajukan petisi, namun mereka menekan saya. Saya tidak bisa pergi ke mana pun; polisi setempat menuduh saya mengajukan petisi ilegal.”
Didukung, Dipromosikan, Tetapi Dianggap Ilegal Dalam Sekejap
Pemerintah Tiongkok awalnya mendukung pinjaman P2P, di mana Perdana Menteri Li Keqiang mendukung keuangan yang didukung internet pada laporan pemerintahannya 2015.
Namun, peringatan dari Ketua Perbankan Tiongkok dan Komisi Regulasi Asuransi Guo Shuqing pada Juni 2018 mendahului runtuhnya banyak platform P2P yang menyamar dan didukung oleh perusahaan publik atau badan usaha milik negara. Banyak investor yang mengalami kehancuran keuangan.
Pada Agustus 2020, lebih dari 5.000 perusahaan P2P telah lenyap, meninggalkan investor yang belum pulih dari kerugian total lebih dari 800 miliar yuan (USD 113 miliar).
Apa yang membuat investor semakin sulit menerima hal ini adalah bukan hanya mereka kehilangan segalanya, namun investasi yang dulu sangat dipuji oleh para pejabat kini telah dicap sebagai kegiatan keuangan terlarang.
Buntutnya terjadi protes di kota-kota besar yang ditanggapi dengan kekerasan dari pihak berwenang. Di Beijing, petisi massal pada bulan Agustus 2018 ditindas, berujung pada penangkapan dan tuduhan “mengganggu tatanan masyarakat.”
Menurut Zhao, polisi menyerang para pengunjuk rasa seperti penjahat, dan dalam keputusasaan, setidaknya empat dari pengunjuk rasa bunuh diri.
Zhao, yang kecewa dengan pengkhianatan sistem itu, berusaha mengajukan banding kepada Perdana Menteri Li Keqiang.
“Saya naif, percaya bahwa pimpinan puncak dapat membantu, dan hal tersebut adalah kesalahan pimpinan pemerintah daerah,” ujarnya.
Zhao mengatakan ia dengan sungguh-sungguh menulis surat kepada Li Keqiang yang merincikan bencana keuangan di seluruh negeri dan penderitaan orang-orang yang tidak tertahankan, berharap bahwa pemerintah pusat dapat mengatasi masalah ini.
Namun, ia mendapati usahanya terhenti. “Keengganan pimpinan puncak untuk mengakui bahwa bencana keuangan itu adalah mengecewakan. Menjadi jelas bahwa mereka terlibat,” kata bapak Zhao.
Pada tahun 2018, dengan nama samaran Liu Yanlin, seorang veteran sektor keuangan Tiongkok, berbagi wawasannya dengan The Epoch Times edisi bahasa Mandarin, menyoroti kondisi genting platform pinjaman P2P Tiongkok.
Liu Yanlin menggarisbawahi kekurangan yang kritis: kurangnya akses lembaga-lembaga non-pemerintah ini ke data penting perusahaan seperti riwayat kredit, kesehatan keuangan, dan kapasitas pembayaran. Akibatnya, bisnis dengan kondisi kredit buruk, tidak mampu mendapatkan pinjaman melalui jalur tradisional, semakin beralih ke platform P2P sebagai jalur keuangan. Masuknya klien-klien berisiko tinggi ini, diperburuk oleh praktik manajemen risiko yang tidak memadai sebelum, selama, dan setelah pemberian pinjaman, secara eksponensial meningkatkan kerentanan keuangan. Akibatnya, meskipun jumlahnya semakin banyak, pinjaman P2P gagal mendapatkan daya tarik yang bermakna di negara-negara yang memiliki peraturan keuangan yang ketat.
Data Liu Yanlin memberikan gambaran yang jelas mengenai pertumbuhan eksplosif platform P2P di Tiongkok. Awalnya berjumlah 160 antara tahun 2007 hingga 2012, meroket sejak tahun 2013 dan seterusnya, melampaui 10.000 pada tahun 2018. Dari jumlah tersebut, lebih banyak 6.000 orang telah diakui secara resmi—–sebuah peningkatan yang sebagian besar disebabkan oleh kesengajaan dukungan pemerintah.
Peningkatan pesat di Tiongkok ini sangat kontras dengan perkembangan lintasan yang diamati di belahan dunia lainnya dalam sektor P2P. Menurut Liu Yanlin, fenomena ini bukanlah suatu kebetulan; sebaliknya, fenomena ini secara aktif dipupuk oleh rezim Tiongkok.
Liu Yanlin menuduh, “Partai Komunis Tiongkok mendorong inovasi keuangan melalui entitas-entitas media pemerintah yang semi-resmi. Bank-bank melepas aset-aset bermasalahnya ke platform P2P, yang secara diam-diam disetujui oleh pemerintah untuk digunakan kembali dan dibiayai kewajiban tersebut, yang kemudian tanpa disangka-sangka diserap oleh masyarakat. Arus-arus masuk modal yang dihasilkan mendukung bank-bank sambil secara sistematis melakukan transfer risiko finansial terhadap warganegara biasa.”
Selain manuver keuangan, Liu Yanlin percaya bahwa ada motivasi Partai Komunis Tiongkok meluas ke agenda sosio-politik yang lebih luas, khususnya menyasar kelas menengah–—demografis yang dianggap menimbulkan ancaman ganda karena pemikiran mandiri dan kecakapan ekonomi Partai Komunis Tiongkok. “Ini bukan hanya mengenai pinjaman P2P,” tegas Liu Yanlin. “Pada fase selanjutnya, melalui strategi-strategi yang berdampak pada ekuitas swasta, pasar saham, dan real estate, Partai Komunis Tiongkok bermaksud untuk melakukan secara strategis mengacaukan dan memiskinkan kelas menengah.”
Liu Yanlin yakin sejarah telah menunjukkan bahwa secara sistematis Partai Komunis Tiongkok memberantas ancaman terhadap otoritas terpusat, “Reformasi pertanahan pertama telah memusnahkan apa yang disebut kelas pemilik properti. Revolusi Kebudayaan memusnahkan para intelektual. Badai finansial ketiga akan melenyapkan kelas menengah. Ini semua direncanakan, selangkah demi selangkah.”
Menyadari bencana keuangan ini berdampak pada lebih dari 300 juta orang, dan puluhan juta diantaranya mereka telah kehilangan segalanya, kata bapak Zhao. “Satu-satunya jalan menuju keadilan bagi para korban terletak pada runtuhnya Partai Komunis Tiongkok.
“Satu-satunya cara korban bencana keuangan yang tidak terhitung jumlahnya untuk mendapatkan uang kembali adalah jika rezim Tiongkok digulingkan,” katanya.