Analis Asia Tenggara :  Di Tengah Krisis dan Konflik di Myanmar, Tiongkok yang ‘Oportunis’ Mempertahankan Kepentingannya

Venus Upadhayaya

Myanmar akhir-akhir ini menjadi pemberitaan karena berbagai alasan, dan Tiongkok seperti pengecut di hampir semua permasalahan tersebut: Tiongkok mengintensifkan perang saudara, proses mediasi, atau lebih luas lagi, politik, kebijakan luar negeri, perdagangan, pertahanan atau negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

Jejak Tiongkok Myanmar jelas bukan fenomena baru karena perbatasan sepanjang 1,375 mil yang dimiliki Tiongkok dengan Myanmar, menghubungkan tetangga negara raksasa yang lebih kecil dengan Samudera Hindia. Tiongkok tidak hanya yang berinvestasi besar-besaran dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan di negara yang berkonflik itu, namun Tiongkok juga diduga mendirikan sebuah basis mata-mata di Pulau Great Coco di Myanmar.

Myanmar dilanda perang saudara sejak junta yang dipimpin oleh jenderal militer Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan terpilih pada Februari 2021, ditentang oleh satu kelompok pemberontak yang terorganisir secara longgar. Sejak  Oktober lalu, saat tiga dari kelompok-kelompok bersenjata bersekutu, junta mengalami kerugian yang semakin besar.

Dalam laporan yang dirilis 30 Mei, Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar  menggambarkan jalannya konflik selama dua tahun terakhir sebagai “meluasnya pengendalian perlawanan versus kesesuaian kerugian junta militer.”

Meskipun konflik sedang berlangsung, Tiongkok terus mengejar kepentingan dan investasinya di Myanmar.

Dalam perkembangan terakhir, pada  23 Mei, di tengah meningkatnya pertempuran di perbatasan itu, Kementerian Penerangan Myanmar mengumumkan pembentukan komite kepemimpinan baru untuk mendorong pembangunan Bendungan Myitson  besar yang didukung Beijing.

Proyek pembangkit listrik tenaga air di Sungai Irrawaddy di Kachin, negara bagian utara Myanmar telah dihentikan selama lebih dari satu dekade karena protes besar-besaran dari masyarakat. Bahkan kunjungan pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping pada tahun 2020 ke Myanmar  tidak dapat menghidupkan kembali proyek tersebut.

Para pemerhati lingkungan mengatakan bendungan itu akan mengganggu desa-desa di wilayah tersebut dan mengganggu ekologi Sungai Irrawaddy, salah satu sumber daya air terpenting di Myanmar. Penentang lainnya mempertanyakan pengaturan di mana Tiongkok akan mengambil 90 persen kekuatan bendungan itu.

Pemberitahuan Kementerian Penerangan mengatakan kelompok itu akan menangani hubungan-hubungan masyarakat untuk proyek ini bekerja sama dengan pimpinan SPIC, perusahaan Investasi Tenaga Internasional Yunnan Tiongkok.

The Epoch Times edisi bahasa Inggris  berbicara dengan analis Asia Tenggara Shristi Pukhrem mengenai kepentingan Tiongkok di Myanmar, bagaimana dampaknya terhadap negara tersebut di bidang geo-politik regional, dan bagaimana hal ini dilawan oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk India dan negara-negara ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara). Shristi Pukhrem adalah wakil direktur akademik dan penelitian di Yayasan India yang berbasis di New Delhi.

Shristi Pukhrem juga pernah menjadi peneliti tamu di Pusat Studi ASEAN, Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Ia juga saat ini menjadi Rekan QUAD dan Alumni Program Kepemimpinan Pengunjung Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengenai “Meningkatkan Tata Kelola Maritim Regional dan Kerjasama di QUAD.”

Shristi Pukhrem berkata, “Pertaruhan Tiongkok dalam perang saudara di Myanmar adalah sangat bermakna, yang didorong oleh kepentingan ekonomi, strategis, dan keamanan. Secara ekonomi, Tiongkok telah berinvestasi besar-besaran di Myanmar melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan, termasuk pelabuhan laut-dalam Kyaukphyu dan jaringan-jaringan pipa penting untuk keamanan energi dan perdagangan regional.”

Proyek Bendungan Myitsone senilai USD 3,6 miliar adalah sangat penting untuk implementasi Koridor Ekonomi Tiongkok-Myanmar yang dipimpin Xi Jinping, yang merupakan bagian Inisiatif Sabuk dan Jalan, menurut Shristi Pukhrem.

Di Myanmar, Inisiatif Sabuk dan Jalan—–juga disebut Koridor Yunnan-Rakhine atau Koridor Ekonomi Tiongkok-Myanmar—–pertama menghubungkan Yunnan dengan Mandalay di Myanmar tengah, lalu ke selatan ke Yangon dan akhirnya ke barat daya Myanmar, yaitu negara bagian Rakhine. Ini adalah koridor ekonomi kedua yang dikembangkan Tiongkok bersama satu negara di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan, yang pertama adalah koridor ekonomi Tiongkok-Pakistan.

Rakhine terbentang di sepanjang pantai barat Burma, menghadap ke Laut Andaman. Rakhine menjadi tuan rumah dari dua proyek investasi terbesar Tiongkok di Myanmar: Pelabuhan laut-dalam Kyaukphyu serta jaringan-jaringan pipa minyak dan gas Sino-Myanmar.

Perjanjian kepemilikan pelabuhan laut-dalam Kyaukphyu ditandatangani oleh Xi Jinping tepat sebelum pandemi COVID-19 yang dimulai pada Januari 2020.

Sementara itu, proyek jaringan-jaringan pipa minyak dan gas Sino-Myanmar telah  beroperasi sejak bulan Mei 2013. Proyek ini dianggap sebagai jalur transportasi energi terbesar keempat di Tiongkok setelah jaringan-jaringan pipa Asia Tengah, transportasi laut, dan jaringan-jaringan pipa Sino-Rusia. Jalur baru ini dibangun untuk melewati Selat Malaka yang dipenuhi bajak laut dan memperpendek jarak 700 mil yang harus ditempuh minyak melalui laut untuk mencapai Tiongkok.

Shristi Pukhrem menyebut Tiongkok sebagai “oportunis” dan mengatakan meskipun terjadi konflik dan krisis yang akan terjadi, khususnya di wilayah utara Myanmar, yang berkaitan dengan sumber daya alam Burma adalah tetap penting bagi industri Tiongkok. Mereka mewakili kepentingan perekonomian utama, sementara secara geopolitik, Tiongkok berupaya mengimbangi pengaruh India di Asia Tenggara dengan mempertahankan inisiatif stabilitas Tiongkok di Burma.

“Masalah keamanan adalah yang terpenting karena adanya perbatasan bersama. Ketidakstabilan dapat menyebabkan arus pengungsi dan kejahatan lintas-batas, yang berpotensi mengganggu stabilitas di wilayah perbatasan Tiongkok. Selain itu, beberapa kelompok etnis bersenjata di Myanmar juga pernah memiliki hubungan historis dengan Tiongkok, di mana Beijing menatalaksana untuk mencegah ketidakstabilan secara berlebihan dan untuk digunakan sebagai pengaruh terhadap pemerintah Myanmar,” kata Shristi Pukhrem.

Operasi 1027

Operasi 1027 adalah operasi terkoordinasi antara tiga kekuatan perlawanan, dijuluki Aliansi Tiga Persaudaraan, beranggotakan Tentara Arakan, Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang. Operasi 1027 yang diluncurkan pada 27 Oktober 2023 melawan junta militer dan Dewan Administrasi Negara di negara bagian Shan, bagian utara Burma, di sepanjang perbatasan Tiongkok.

Operasi terkoordinasi selama dua bulan ini melancarkan serangan-serangan secara bersamaan melawan Tentara Myanmar, kepolisian, dan instalasi militer lainnya sepanjang perbatasan dengan Tiongkok, merebut wilayah yang bermakna. Juru bicara junta, Zaw Min Tun, menerima kekalahan militernya di beberapa sektor di negara bagian Shan, termasuk kota perbatasan yang penting, Chinshwehaw, pada 1 November 2023.

Khawatir dengan konflik dan krisis di perbatasannya, yang berdampak langsung terhadap kepentingan perdagangan dan ekonomi Tiongkok dengan Myanmar, militer Tiongkok meluncurkan latihan penembakan selama empat hari di sepanjang perbatasan tersebut, yang pertama sejak tahun 2017. Juru bicara militer Tiongkok, PLA Daily, menyerukan gencatan senjata segera.

Operasi 1027 telah memperburuk ketidakstabilan, kata Shristi Pukhrem, yang menyebabkan potensi masuknya pengungsi ke Provinsi Yunnan, membebani sumber daya dan keamanan setempat. Namun ada sudut pandang lain dalam situasi ini. Jika Tiongkok ingin menghentikan krisis ini, jadi awalnya Tiongkok ingin menghentikan krisis ini, namun Tiongkok justru membiarkannya terjadi karena Tiongkok frustrasi  terhadap junta militer.

“Gangguan perdagangan lintas-batas merugikan kepentingan ekonomi, termasuk investasi-investasi Tiongkok di bidang infrastruktur dan ekstraksi sumber daya alam. Selain itu, peningkatan aktivitas militer dan konflik di dekat perbatasan menimbulkan risiko limpahan kekerasan, yang mempengaruhi keamanan perbatasan Tiongkok,” kata Shristi Pukhrem, seraya menambahkan bahwa sudah jelas bahwa Tiongkok ingin melindungi investasi-investasinya.

Beijing ingin memastikan bahwa Myanmar tetap menjadi tetangga yang kooperatif yang mendukung inisiatif regional Tiongkok seperti Inisiatif Sabuk dan Jalan. Sikap ideologis Tiongkok terhadap pragmatisme juga dipengaruhi oleh hubungannya dengan militer Myanmar (Tatmadaw) maupun dengan berbagai kelompok etnis bersenjata, kata Shristi Pukhrem.

Dalam analisis Observer’s Research Foundation awal tahun ini yang bertajuk “Dilema Myanmar yang Dihadapi Tiongkok: Implikasi Ganda dari Operasi 1027,” Dev Jyoti menulis bahwa pencegahan Tiongkok gagal karena tiga hari setelah permulaan latihan, Aliansi Tiga Persaudaraan mengambil kendali gerbang perbatasan Kyin San Kyawt, sebuah titik perdagangan utama untuk Burma untuk impor elektronik, mesin, peralatan pertanian, dan produk konsumen.

“Ini juga merupakan bagian Zona Perdagangan seluas 105 mil yang digunakan oleh Myanmar untuk mengekspor hasil pertaniannya ke Tiongkok. Setelah pengambilalihan 

gerbang perbatasan Kyawt Kyin San, pemberontak membakar 120 truk dari konvoi 258 kendaraan yang membawa barang dari Tiongkok,” tulis Dev Jyoti.

“Contoh di atas mungkin memberikan gambaran bahwa Operasi 1027 telah merugikan kepentingan Tiongkok di Myanmar, namun ada sudut pandang lain dalam hal ini.

Tiongkok diketahui mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kelompok-kelompok pemberontak yang beroperasi di sepanjang perbatasan,” tambah Dev Jyoti.

“Meskipun demikian, Tiongkok tidak menggunakan pengaruh tersebut pada tahap awal krisis yang sedang berlangsung, karena Tiongkok frustrasi dengan Pasukan Penjaga Perbatasan Junta dan ketidakmampuan Tiongkok untuk menindak penipu telekomunikasi ilegal dan organisasi perjudian yang beroperasi di sepanjang perbatasan, yang melakukan penipuan terhadap ribuan warganegara Tiongkok.”

Pada awal Operasi 1027, kata Dev Jyoti, Aliansi Tiga Persaudaraan membenarkan tindakan serangan Aliansi Tiga Persaudaraan yang gencar dengan mengatakan bahwa salah satu tujuan utamanya adalah mematikan Pasukan Penjaga Perbatasan Junta—

yang mendukung para penipu—–yang mereka sebut sebagai “tentara narkoba” Min Aung Hlaing—–di wilayah perbatasan.

“Insiden-insiden ini menimbulkan kesan di kalangan loyalis junta bahwa Tiongkok secara diam-diam mendukung pemberontakan di utara, yang menyebabkan meluasnya protes anti-Tiongkok di Yangon dan Naypyidaw,” kata Dev Jyoti.

Menjadi Perantara Gencatan Senjata

Tiongkok menengahi “gencatan senjata segera” antara junta militer Myanmar dengan Aliansi Tiga Persaudaraan selama pembicaraan dua hari di  Januari. Pembicaraan-pembicaraan berlangsung di kota Kunming di Tiongkok, ibukota Provinsi Yunnan di barat daya Tiongkok yang berbatasan dengan Myanmar

Kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, mengatakan selama konferensi pers pada  12 Januari yang mengakhiri gencatan senjata melalui “mediasi dan upaya Tiongkok untuk mendorong kemajuan” adalah penting untuk perdamaian dan stabilitas di perbatasan Tiongkok-Myanmar.

“Kedua belah pihak sepakat untuk dengan segera menerapkan gencatan senjata, personel militer akan melepaskan diri dan kedua belah pihak akan mengatasi perselisihan yang relevan dan kekhawatiran melalui perundingan damai. Kedua belah pihak berjanji untuk tidak melemahkan keselamatan masyarakat Tiongkok yang tinggal di wilayah perbatasan serta proyek dan personel Tiongkok di Myanmar,” kata Mao Ning menjawab pertanyaan.

Gencatan senjata ini mengakhiri pertempuran di negara bagian Shan.

Shristi Pukhrem mengatakan Tiongkok memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian Myanmar dan peran Tiongkok sebagai mediator dalam proses perdamaian disoroti melalui caranya dalam menengahi kesepakatan gencatan senjata.

Tiongkok telah menjaga hubungan dengan militer Myanmar (Tatmadaw) dan berbagai kelompok etnis bersenjata dengan menawarkan dukungan dan mediasi. Strategi keterlibatan ganda ini memastikan bahwa Tiongkok tetap mempertahankan pengaruhnya terlepas dari faksi mana yang memegang kekuasaan.

“Dengan memposisikan diri sebagai penengah yang netral, Tiongkok memperkuat pengaruh diplomasinya dan memastikan bahwa Tiongkok tetap menjadi pemain kunci dalam lanskap politik Myanmar,” kata Shristi Pukhrem.

Rezim Tiongkok yang “oportunis” menjamin kepentingannya terlepas dari situasi apa pun dan terlepas dari siapa yang memerintah Myanmar sementara Tiongkok terus mengembangkan investasi-investasinya di bidang infrastruktur dan sumber daya alam di negara yang dilanda konflik tersebut.

“Pada akhirnya, Tiongkok berupaya memperkuat posisinya sebagai negara pemangku kepentingan eksternal yang paling berpengaruh di Myanmar, dengan menggunakan kombinasi pengaruh ekonomi, mediasi diplomatik, dan kemitraan strategis untuk membentuk lintasan politik dan ekonomi Myanmar,” kata Shristi Pukhrem.

Analis tersebut mengatakan karena kedekatan Tiongkok dan investasi yang besar, Tiongkok memiliki pengaruh yang lebih besar di Myanmar dibandingkan pemain geopolitik lainnya di Asia Tenggara, seperti negara-negara ASEAN.

“Negara-negara ASEAN, meskipun penting, tidak mampu menandingi tingkat keterlibatan perekonomian Tiongkok di Myanmar,” kata Shristi Pukhrem. “ASEAN, terlepas dari mandat regionalnya, berbagai perjuangan dengan perpecahan internal dan kurangnya kebijakan yang kohesif, sehingga melemahkan pengaruh diplomatiknya. Prinsip non-intervensi dan pengambilan keputusan konsensus yang dianut ASEAN dapat menghambat tindakan tegas.”

Para pemimpin sembilan negara anggota ASEAN dan ketua junta Myanmar Min Aung Hlaing menyetujui “konsensus lima poin” pada 24 April 2021. Konsensus tersebut mencakup penunjukan satu utusan khusus dan kunjungannya ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.

Shristi Pukhrem mengatakan ASEAN dapat memainkan peran yang saling melengkapi dalam proses mediasi. Namun, ASEAN tidak dapat mengatasi pengaruh Tiongkok dan merupakan salah satu jalan yang terbaik ke depan untuk ASEAN mungkin melibatkan kolaborasi dengan India. (Vv)