Xin Ning dan Lynn Xu
Kelas menengah Tiongkok mengalami penurunan pendapatan yang tajam di tengah memburuknya kondisi perekonomian Tiongkok. Sebagian besar memilih untuk bertahan, bukan berinvestasi, bukan menjajaki peluang bisnis, dan mengurangi pengeluaran untuk melindungi aset mereka dengan kerugian minimal.
Pemotongan gaji menimpa sektor pegawai negeri sipil, sementara bank-bank dan perusahaan BUMN terpaksa melakukan PHK. Pekerjaan di sektor swasta juga telah terpengaruh.
Xu Jie (nama samaran) seorang wanita yang tinggal di Changchun, Provinsi Jilin, timur laut Tiongkok, dan telah menjalankan perusahaan perlengkapan hotel selama beberapa dekade, dengan pendapatan tahunan pernah mencapai hampir satu juta yuan dan memiliki lebih dari dua belas staf penjualan. Ia juga memiliki dua toko bahan bangunan yang menampilkan produk-produk.
Namun, perusahaannya mulai merugi selama pandemi COVID-19, dan ia harus meninggalkan bisnisnya. Sejak itu, ia berinvestasi di berbagai bidang produk keuangan dan pasar saham tetapi kehilangan ratusan ribu yuan.
“Di Tiongkok, tidak ada yang bisa dilakukan saat ini, apa pun investasinya akan hilang, sebaliknya, adalah bijaksana untuk tidak berinvestasi,” kata Xu Jie kepada The Epoch Times.
Xu Jie sekarang mencari nafkah dengan menyewakan dua gudang, satu garasi, dan empat ruang apartemen. Namun, keruntuhan industri real estate sangat menyusutkan nilai aset-asetnya. Salah satu propertinya, apartemen dengan dua kamar tidur di lokasi yang cukup makmur, yang bernilai 650.000 yuan (USD 89.700) sebelumnya pandemi, dijual dengan harga 450.000 (USD 62.000).
Meskipun ada konsesi yang besar, “tidak ada pembeli yang datang untuk bertanya sejauh ini,” katanya. Xu Jie juga harus menurunkan harga sewanya karena terjadi penurunan harga pasar sewa. Setelah gagal dalam berbagai upaya untuk menghasilkan uang, Xu Jie mengatakan ia telah bergabung dengan kelompok “berbaring”, sebuah ungkapan yang diadopsi oleh orang Tiongkok bagi mereka yang tidak berinvestasi atau menjajaki bisnis, berharap dapat meminimalkan kerugian akibat gejolak perekonomian.
“Kelas menengah di Tiongkok sangat cemas. Yang kami khawatirkan adalah kami tidak berani mengeluarkan uang dan hanya bisa mengurangi pengeluaran. Saya tidak mampu untuk kehilangan uang, jadi yang terbaik adalah mempertahankan penghasilan saya saat ini, dan sekarang saya merasa terhibur bahwa saya tidak memiliki hipotek atau kredit mobil,” katanya.
Xu Jie mampu mempertahankan hampir 200.000 yuan (USD 27.600) setahun penghasilannya yang menghidupi putrinya yang sedang kuliah di Universitas Makau.
Namun tidak semua masyarakat kelas menengah seberuntung itu.
Xu Jie mengatakan teman-teman sekelas putrinya sekarang sedang belajar di Hong Kong sudah mulai mengambil pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup karena pendapatan orang tuanya berkurang.
Lu Bin (nama samaran) dari Kota Yiyang, Provinsi Hunan di tengah Tiongkok, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa beberapa kenalannya dari kelas menengah yang kaya mengatakan mereka telah menghentikan upaya dalam pengembangan bisnis mereka. “Mereka bilang mereka tidak bekerja, tidak berinvestasi, tidak menjalankan toko, menabung, makan dan minum dalam jumlah sedang. Karena selama mereka berinvestasi, mereka akan merugi. Ada terlalu banyak jebakan sekarang, dan semua orang menjadi lebih tidak ramah.”
Data Bank Sentral Tiongkok menunjukkan bahwa hingga bulan Februari ini, penghematan rumah tangga di Tiongkok mencapai rekor tertinggi sebesar USD 19,83 triliun, yang menunjukkan warga negara Tiongkok cenderung membelanjakan lebih sedikit dan kepercayaan konsumen pun menurun jauh lebih rendah dibandingkan beberapa dekade terakhir.
Li Yuanhua, seorang sarjana sejarah Australia, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa penerima manfaat terbesar dari Partai Komunis Tiongkok selama beberapa dekade reformasi ekonomi adalah kelompok-kelompok kepentingan partai, yang telah melakukan penjarahan atau merusak sebagian besar kekayaan masyarakat.
“Yang paling dikhawatirkan oleh kelas menengah Tiongkok adalah runtuhnya ekonomi. Mereka memilih untuk ‘berbaring’, sebuah cara yang baik untuk menjaga kekayaan mereka,” kata Li Yuanhua, seraya menyebutkan bahwa tidak seperti masyarakat Barat, kelas menengah Tiongkok adalah kelompok bagian sangat kecil dari populasi.
Dalam suatu masyarakat, semakin kelas menengah tumbuh, semakin stabil masyarakat tersebut, menurut Li Yuanhua. Di sisi lain, kelas menengah lebih kecil berarti kesenjangan yang lebih besar antara si kaya dengan si miskin, dan semakin besar perbedaan di antara kebutuhan kelompok sosial, dan lebih banyak konflik sosial, katanya.
“Meski begitu, tidak ada masalah yang bisa diselesaikan jika sistem Partai Komunis Tiongkok tetap tidak berubah.” (Vv)