Membuka Pintu Air Waduk Tanpa Peringatan, Lebih 20.000 Ekor Ayam Ternak di Hubei, Tiongkok Mati Tenggelam

NTD

Akibat dibukanya beberapa pintu air secara hampir bersamaan waktunya untuk melepaskan kelebihan air di waduk, lebih dari 20.000 ekor ayam milik seorang peternak di Kota Xianning, Provinsi Hubei, Tiongkok mati tenggelam dalam banjir pada Sabtu (22 Juni) sehingga menimbulkan kerugian besar bagi peternak bersangkutan.

Rekaman video yang diposting online menunjukkan bahwa sejumlah besar ayam milik peternak mati terendam banjir. kerugian yang dialami peternak tidak kecil.

Menurut laporan berita stasiun TV Guizhou, pada 22 Juni, seorang peternak ayam bernama Mr. Liao di Tingsiqiao, Distrik Xian’an, Kota Xianning, Provinsi Hubei mengatakan, bahwa lebih dari 20.000 ayam kampung yang dipelihara mati tenggelam gegara banjir kiriman dari waduk di bagian hulu yang membuka pintu air untuk mengurangi ketinggian air tanpa peringatan terlebih dahulu.

“Beberapa pintu air waduk dibuka dalam waktu yang hampir bersamaan, menyebabkan tiba-tiba air naik hingga kedalaman lebih dari satu meter dalam waktu 10 menit,” ujarnya.

Mr. Liao mengatakan bahwa tidak ada cara untuk melakukan penyelamatan karena berlangsung terlalu cepat. Hanya sekitar 1.000 ekor ayam kampung dengan berat sekitar satu kilogram yang berhasil diselamatkan, yang mati tenggelam lebih dari 20.000 ekor. Kerugian total mencapai lebih dari RMB.200.000,-.

Mr. Liao mengatakan bahwa dia tidak mengasuransikan ayam peliharaannya yang untuk dijual, dan ayam yang mati tenggelam akan dikubur secepatnya.

Ayam-ayam peliharaan peternak milik Mr. Liao di Tingsiqiao, Distrik Xian’an, Kota Xianning, Provinsi Hubei yang mati tenggelam akibat banjir kiriman Pada 22 Juni 2024 berjumlah lebih dari 20.000 ekor. (video screenshot)

Sebagai tanggapan, Yao Wenxiang, Sekretaris Komite Desa Gutang di Kota Tingsiqiao, Distrik Xian’an berusaha mengelak tanggung jawab dengan mengatakan bahwa air hujan di waduk dengan sendirinya akan meluap dan mengalir ke daerah rendah ketika penuh. Pihak waduk tidak melepas air dengan membuka pintu air.

Netizen meninggalkan pesan yang berbunyi : “Sangat tragis”. “Suasananya mengerikan”. “Sangat menyedihkan, semua hewan kecil yang tidak bersalah menemui ajal”. “Benar-benar kerugian besar”. “Ini adalah bencana buatan manusia ! Mengapa tidak memperingatkan lebih dahulu untuk mengurangi kerugian warga !”

“Meski ada asuransi, tetap tidak akan mendapat kompensasi”. “Berapa banyak petani, peternak yang jerih payahnya selama 1 tahun ludes begitu saja gegara hujan lebat”.

“Bencana gegara waduk, yang semestinya dilepas (untuk irigasi) tetapi tidak dilakukan”. “Fakta membuktikan bahwa waduk itu dibangun untuk pintu airnya tidak dibuka ketika diperlukan (petani untuk irigasi), tetapi pintu airnya dibuka saat warga tidak membutuhkan (ada hujan)”.

Fakta membuktikan bahwa fungsi waduk sudah berubah total. Fungsi pengendali banjir telah dihapuskan. Kini fungsinya tinggal menghasilkan listrik, beternak ikan, dan menjual air keran untuk menghasilkan uang.

Yang lain mengatakan : “Di Guangxi juga terjadi banjir akibat membuka air pintu waduk. Tidak ada pemberitahuan, membuat warga menderita kerugian besar”. “Tahun 2016, rumah saya di kampung tenggelam dalam waktu setengah jam akibat pintu air waduk dibuka tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kepada siapa kita mesti menuntut ganti rugi ? Lempar sana lempar sini, semua lepas tangan”. 

Pada 23 Juni, netizen dengan nama “Yu Chunfei” melalui platform “X” menuliskan pesannya yang berbunyi, setiap kali terjadi banjir Partai Komunis Tiongkok selalu menuduh alam sebagai biang kerok bencana. Padahal Tiongkok memiliki waduk yang terbanyak di dunia, yang pada awal pembangunannya diklaim untuk mengendalikan bencana banjir, namun pada kenyataannya, waduk yang dikendalikan oleh kelompok kepentingan Partai Komunis Tiongkok telah beralih kegunaan utamanya dari menanggulangi banjir, kepentingan irigasi menjadi sarana pembangkit listrik, untuk menghasilkan uang lewat penjualan listrik. Saat hujan tidak turun debit air sungai berkurang, pintu air waduk tidak dibuka, takut pembangkit listrik terganggu, sehingga mengurangi pemasukan dompet perorangan pejabat PKT. Begitu hujan deras air dialirkan ke masyarakat tanpa peringatan. Jadi kombinasi dari waduk besar dan kecil itu telah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat.

“Yu Chunfei” juga menyebutkan bahwa setiap kali debit air sungai berkurang dan pintu air waduk dibuka untuk mengurangi ketinggian, rakyatlah yang menjadi korban. Tapi mereka yang berkuasa justru rela mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan mereka sendiri. Entah itu karena kualitas proyek pengendalian banjir yang buruk atau banjir yang terjadi secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan, semuanya mengungkapkan fakta bahwa nyawa dan harta benda masyarakat tidak ada artinya di mata penguasa. Bencana alam memang tidak bisa dihindari, namun “bencana akibat ulah manusia” adalah akibat langsung dari permainan kekuasaan dan korupsi.

Di akhir tulisan “Yu Chunfei” disebutkan, berapa banyak orang yang masih harus membayar harga untuk pemerintahan dan sistem seperti ini ? Dalam kondisi seperti ini, siapa lagi yang masih dapat dipercaya oleh rakyat ? Atau mungkin hal yang paling dapat diandalkan adalah suatu hari nanti ketika setiap orang mengangkat senjata ! (sin)