Perusahaan Tiongkok Menunggak Tagihan Pajak Besar-besaran Di Tengah Krisis Pendanaan Setempat

Pinnacle View Team

Pihak berwenang Tiongkok sudah mulai memungut pajak backdate (tanggal mundur) dari perusahaan setempat yang masih memiliki tunggakan tagihan pajak dari beberapa dekade terakhir. Hal ini menyebabkan denda yang besar, dan beberapa perusahaan terpaksa berhenti produksi.

Langkah ini dipandang sebagai taktik baru Komunis Tiongkok untuk meningkatkan pendapatan Partai Komunis Tiongkok karena pihak berwenang berupaya mengatasi defisit fiskal setempat di tengah kesengsaraan ekonomi Tiongkok, seperti yang dikatakan para analis kepada “Pinnacle View,” sebuah program komentar TV New Tang Dynasty yang berfokus pada masalah terkini Tiongkok.

Sistem perpajakan Tiongkok menyebabkan perusahaan kecil dan perusahaan menengah di Tiongkok jatuh ke dalam krisis eksistensial, kata para ahli.

Pada awal  Juni, beberapa media Tiongkok melaporkan serangkaian kasus di mana perusahaan yang berbasis di Tiongkok dikenakan sanksi pajak  berat, yang memicu kepanikan di kalangan pemilik bisnis Tiongkok.

Produser TV independen Li Jun mencatat bahwa perusahaan ini menghadapi tunggakan tanggal mundur sejak tahun 1990-an, mencakup berbagai bisnis mulai dari perusahaan milik negara hingga perusahaan milik swasta, perusahaan yang terdaftar dan perusahaan yang tidak terdaftar.

Misalnya, menurut laporan media Tiongkok, anak perusahaan pengendali dari VV Food & Beverage (600300.SH) didenda 85 juta yuan karena tidak membayar pajak (U$D 11,7 juta) sejak 30 tahun yang lalu dari tahun 1994 hingga 2009; perusahaan pengembang sebuah real estat di Yueyang, Provinsi Hunan,  didenda 900 juta yuan (U$D 123,8 juta) untuk pajak yang belum dibayar antara tahun 2003 hingga 2020; Zangge Mining (000408.SZ) dikirimi tagihan sebesar 188 juta yuan (U$D 25,8 juta) untuk denda pajak selama 20 tahun; Grup Huizhou Taiji harus membayar 53 juta yuan (U$D 7,3 juta) karena tuduhan penghindaran pajak dari tahun 2000 hingga 2008; dan pihak-pihak berwenang pajak mendapatkan total 361 juta yuan (U$D 49,67 juta) dari Hangzhou Yishang Clothing dari pajak-pajak ditambah denda dari tahun 2014 hingga 2021.

Li Jun yakin kasus-kasus ini hanya mewakili sebagian kecil perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terkena denda.

Ia membantah pernyataan resmi Badan Pajak Negara pada  18 Juni, yang menyatakan bahwa pihaknya belum “meluncurkan kampanye pemeriksaan pajak di seluruh Tiongkok atau seluruh industri.” Badan Pajak Negara juga mengatakan pihaknya tidak berniat “meneliti penghindaran pajak perusahaan sejak dua atau tiga dekade yang lalu.”

Menurut komentator tersebut, meskipun ada penolakan dari pihak berwenang pajak pusat, beberapa operasi telah terkena dampak pembebanan yang tinggi terhadap pajak-pajak yang belum dibayar.

Li Jun mengatakan NingBo BoHui Chemical Technology (300839. SZ) adalah contoh yang nyata. NingBo BoHui Chemical Technology harus melikuidasi dua set peralatan produksinya yang berbobot 400.000 ton pada 12 Juni karena menghadapi kesulitan keuangan setelah diminta untuk segera membayar tunggakan pajak sebesar hampir 500 juta yuan (sekitar U$D 70 juta). 

“Setengah miliar yuan ini merupakan pukulan fatal bagi sebuah perusahaan skala menengah,” kata Li Jun.

Hu Liren, mantan pengusaha Shanghai yang tinggal di Amerika Serikat, berbagi kepada “Pinnacle View” bahwa pihak-pihak berwenang berusaha menemukan perusahaan-perusahaan setempat dan mengambil uang dari perusahaan itu, atas nama pembayaran pajak, mengetahui bahwa defisit-defisit fiskal setempat semakin buruk karena penurunan ekonomi Tiongkok secara keseluruhan.

Sistem Pajak Partai Komunis Tiongkok

Guo Jun, pemimpin redaksi The Epoch Times Hong Kong, mengatakan jika kita melihat ke beberapa dekade yang lalu, awal tahun 1990-an merupakan titik balik dalam sistem perpajakan Tiongkok.

Sebelum tahun 1994, pemerintah daerah dijamin akan menyerahkan sejumlah pendapatan tertentu kepada pemerintah pusat, dan sisanya dapat disimpan oleh pemerintah daerah itu. Hasilnya adalah pemerintah daerah kaya raya, sedangkan pemerintah pusat relatif kekurangan uang tunai, kata Guo Jun.

Pada tahun 1994, kediktatoran komunis melakukan reformasi sistem keuangan dan perpajakan, di mana Administrasi Perpajakan Negara dan seluruh tingkat unit perpajakan setempat dibentuk secara terpisah, bersama dengan rasio yang disepakati sebesar distribusi bunga.

“Sejak saat itu, sistem ‘pembagian barang rampasan’ di dalam Partai Komunis Tiongkok memungkinkan  pemerintah pusat mendapatkan lebih banyak uang dan pemerintah daerah mendapat lebih sedikit uang,” kata Guo Jun.

Pengumpulan setempat tidak cukup untuk mencakup semua bidang pertanggungjawaban, seperti mata pencaharian masyarakat, pendidikan, pemeliharaan stabilitas sosial, perawatan medis, perlindungan pensiun dan pengangguran, dan banyak lagi. 

Pada tahun 2016, hanya Guangdong, Shanghai, Beijing, Zhejiang, Jiangsu, Shenzhen, dan Fujian yang mampu menutupi pengeluarannya, sementara lebih dari 30  provinsi dan wilayah lainnya berada di zona merah dan membutuhkan dukungan keuangan terpusat.

Pendapatan daerah juga terkena dampak negatif akibat resesi ekonomi, wabah penyakit pernapasan yang sedang berlangsung, dan penurunan pasar real estate selama beberapa tahun terakhir, kata Guo Jun.

“Pendapatan daerah sebelumnya sangat bergantung pada penjualan tanah. Namun, kehancuran real estate dan krisis keuangan yang lebih luas telah menunjukkan adanya permasalahan struktural di dalam Partai Komunis Tiongkok,” katanya. “Lingkaran setan ini akan terus berlanjut selama beberapa waktu.”

Oleh karena itu, dalam pandangan Guo Jun, pemerintah pusat tidak mempunyai dana untuk memberikan subsidi kepada pemerintah-pemerintah daerah, namun pemerintah pusat harus memastikan bahwa pemerintah daerah tidak lumpuh. Satu-satunya solusi yang layak adalah mengizinkan pemerintah daerah untuk  menghasilkan pendapatan dari perusahaan kecil dan perusahaan menengah.

Namun, beban pajak yang berat terhadap dunia usaha ini mempercepat perburukan perekonomian, kata Guo Jun. Perusahaan-perusahaan tidak dapat terus-menerus beroperasi jika beban pajak perusahaan-perusahaan tersebut terlalu berat sehingga perusahaan-perusahaan tersebut harus ditutup.

“Ini akan berdampak buruk pada situasi keuangan daerah dan bahkan seluruh status ekonomi Tiongkok,” kata Guo Jun.

‘Kampanye Tiga-Anti dan Lima-Anti’

Perpajakan yang ketat terhadap perusahaan-perusahaan mengingatkan kampanye-kampanye komunis-komunis “Tiga-Anti dan Lima-Anti” melawan kapitalis-kapitalis pada tahun 1950-an, kata Hu Liren, yang kakeknya adalah salah satu pemimpin sektor industri dan komersial Shanghai pada saat itu.

“Kakek saya terpaksa menyerahkan harta benda dan hak usahanya. Dan ia melakukannya karena jika ia tidak menyerahkan harta benda dan hak usahanya, ia bisa ditangkap atau dibunuh,” kata Hu Liren.

Kampanye Tiga-Anti dan Kampanye Lima-Anti adalah gerakan yang diluncurkan oleh pemimpin Partai Komunis Tiongkok saat itu yaitu Mao Zedong pada tahun 1950 sampai 1951 yang menargetkan para pebisnis di seluruh Tiongkok untuk mendistribusikan kembali kekayaannya.

“Saat itu, ribuan pebisnis di Shanghai ditangkap, dan banyak pebisnis yang memilih bunuh diri dengan cara melompat dari gedung,” kata Hu Liren.

“Ketika pengusaha tidak punya pilihan lain, pada tahun 1956, Partai Komunis Tiongkok memprakarsai gerakan kemitraan publik-swasta. Ini melibatkan Partai Komunis Tiongkok bergabung dengan perusahaan swasta atas nama negara. Setelah menerapkan kebijakan perpajakan dan redistribusi kesehatan, Partai Komunis Tiongkok memperoleh kendali atas aset swasta dan operasi bisnis.”

“Kampanye Tiga-Anti dan Kampanye Lima-Anti adalah perampokan total terhadap kapitalis-kapitalis,” kata Hu Liren.

Sejarah yang sama terulang kembali, kata Hu Liren, “di mana pedang Partai Komunis Tiongkok siap memenggal kepala-kepala para pengusaha, dan saya khawatir dalam dua atau tiga tahun ke depan, Tiongkok akan menerima perubahan politik yang besar.” (Viv)