Jika Komoditas Asal Tiongkok Dikenakan Tarif 60% oleh AS, Apa Dampaknya Terhadap PDB Tiongkok ?

oleh Chen Ting

Hasil penelitian terbaru dari para ekonom UBS Group AG menunjukkan bahwa jika Amerika Serikat mengenakan tarif baru sebesar 60% pada semua produk impor Tiongkok, maka perekonomian Tiongkok akan sangat terpengaruh, yang dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan tahunan Tiongkok menurun lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa jika Trump berhasil kembali ke Gedung Putih dan kembali mengenakan tarif terhadap komoditas yang diimpor dari Tiongkok, maka Beijing akan menghadapi tekanan yang tidak kecil.

Awal tahun ini, Trump mengatakan dia sedang mempertimbangkan untuk menerapkan tarif seragam sebesar 60% terhadap komoditas impor Tiongkok. J.D. Vance, yang ditunjuk oleh Trump sebagai pasangannya dalam Pemilu 2024 pada Senin (15 Juli) juga menyerukan pengenaan “tarif dasar yang luas” terhadap komoditas impor asal Tiongkok, selain itu juga menyerukan agar sektor manufaktur dikembalikan ke Amerika Serikat untuk mengurangi dampaknya terhadap ketergantungan Tiongkok.

Menurut laporan yang diterbitkan oleh ekonom UBS pada Senin (15 Juli), jika Trump menerapkan tarif baru, produk domestik bruto (PDB) Tiongkok tahun depan akan mengalami penurunan sebesar 2,5 poin persentase.

Perkiraan ini didasarkan pada asumsi : Sebagian komoditas akan masuk ke AS melewati negara-negara ketiga, pihak berwenang Tiongkok tidak mengambil tindakan pembalasan, dan negara-negara lain tidak akan bergabung dengan AS dalam penerapan tarif. Tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang menyusut, setengahnya disebabkan oleh penurunan ekspor, dan setengahnya lagi disebabkan oleh terpuruknya konsumsi dan investasi dalam negeri Tiongkok.

Laporan penelitian UBS menunjukkan bahwa seiring berjalannya waktu, ketika semakin banyak ekspor dialihkan ke negara-negara lain dan produksi secara bertahap dipindahkan ke negara-negara lain, mungkin dapat mengurangi dampak kenaikan tarif Amerika Serikat, namun Tiongkok masih tetap akan menghadapi ancaman risiko kenaikan tarif dari negara lain.

Jika pihak berwenang Tiongkok mengambil tindakan pembalasan, dampak tarif mungkin akan semakin buruk karena akan menaikkan biaya impor.

Jika perang dagang AS – Tiongkok kembali berkobar, meskipun tarif pada akhirnya diturunkan, tetapi risiko dan ketidakpastian saja dapat menyebabkan importir AS menarik diri dari Tiongkok.

UBS saat ini memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun depan akan berada di 4,6% dan 4,2% pada tahun 2026. Para analis memperkirakan bahwa jika Trump mengenakan tarif tambahan setelah dirinya terpilih, maka tingkat pertumbuhan dalam dua tahun itu akan turun menjadi 3%, bahkan jika otoritas Tiongkok juga terus mengambil langkah-langkah stimulus untuk mencoba mengimbangi dampak tarif tersebut.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa Partai Komunis Tiongkok dapat mengadopsi langkah-langkah fiskal dan kebijakan moneter yang longgar untuk mengurangi dampak dari kenaikan tarif, yang dananya mungkin diperoleh dari penerbitan obligasi publik khusus. Tetapi pada saat itu, nilai RMB bisa jadi akan terdepresiasi sebesar 5% hingga 10%.

Pada saat permintaan dalam negeri sedang lesu, prospek lapangan kerja tidak menentu, dan industri real estate tidak mampu bangkit dari kesuraman, perekonomian Tiongkok masih sangat bergantung terhadap manufaktur dan ekspor.

Bulan lalu, ekspor Tiongkok mencatat pertumbuhan tercepat dalam 15 bulan terakhir, sementara impor secara tak terduga turun, jauh lebih kecil dari perkiraan para ekonom. Ketika impor turun, surplus perdagangan Tiongkok bulan Juni tahun ini naik menjadi USD.99,05 miliar, yang merupakan rekor tertinggi. Diantaranya, surplus perdagangan Tiongkok dengan Amerika Serikat mencapai USD.31,78 miliar, surplus perdagangan Tiongkok dengan Uni Eropa mencapai hampir USD.23 miliar, dan surplus dengan negara-negara ASEAN sebesar USD.17 miliar.

Amerika Serikat telah berulang kali menekankan bahwa surplus perdagangan tersebut merupakan bukti bahwa perdagangan secara sepihak menguntungkan Tiongkok. Ketidakseimbangan yang semakin besar ini telah memicu kritik dari mitra dagang dan mungkin meningkatkan kekhawatiran sejumlah negara terhadap kelebihan kapasitas industri Tiongkok.

Awal pekan ini, dalam sebuah laporan Xing Zhaopeng, ahli strategi Tiongkok di ANZ menyebutkan : “Dengan meningkatnya proteksionisme perdagangan, prospek untuk paruh kedua tahun ini tidak kondusif bagi pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang didorong oleh ekspor”.

Uni Eropa telah mengonfirmasi rencananya untuk mengenakan tarif penyeimbang hingga 37,6% pada kendaraan listrik Tiongkok. Bulan lalu, Turki juga mengumumkan akan mengenakan tarif tambahan sebesar 40% terhadap kendaraan listrik Tiongkok, dan Kanada juga bermaksud untuk menerapkan pembatasan serupa.

Pada saat yang sama, Indonesia berencana mengenakan tarif impor hingga 200% terhadap tekstil Tiongkok. India sedang memantau harga baja murah dari Tiongkok dan produsen baja India telah menyerukan tarif yang lebih tinggi terhadap produk baja Tiongkok.

Untuk mencegah chip kelas bawah Tiongkok membanjiri pasar Eropa, Uni Eropa juga telah mulai meminta industri semikonduktor pandangan mengenai perluasan produksi chip proses tradisional Tiongkok, dan berencana untuk merumuskan tindakan pencegahan terlebih dahulu.

Pekan lalu, Amerika Serikat dan Meksiko juga bersama-sama mengumumkan langkah-langkah baru untuk mencegah Tiongkok mengekspor produk baja dan aluminium ke Amerika Serikat dengan melewati Meksiko, sehingga semakin menghalangi logam murah yang diproduksi di Tiongkok untuk masuk ke pasar Amerika Serikat. (sin)

(Sebagian isi artikel ini merujuk pada laporan Bloomberg)