Calon Wakil Presiden Donald Trump, J.D. Vance, Menyebut Tiongkok sebagai ‘Ancaman Terbesar’ bagi Amerika Serikat

Dorothy Li

Senator J.D. Vance (R-Ohio) menyebut  komunis Tiongkok sebagai “ancaman terbesar” bagi Amerika Serikat dalam pernyataan pertamanya setelah ditunjuk sebagai calon wakil presiden dari Partai Republik pada  15 Juli.

J.D. Vance memberikan komentar tersebut selama wawancara dengan Fox News pada  15 Juli ketika ditanya mengenai perang Rusia melawan Ukraina. Senator tersebut menekankan komitmen mantan Presiden Donald Trump untuk segera menyelesaikan situasi ini jika terpilih.

“Saya pikir apa yang Presiden Donald Trump janjikan adalah komitmen, bernegosiasi dengan Rusia dan Ukraina, [dan] segera menyelesaikan masalah ini sehingga rakyat Amerika dapat fokus pada masalah yang sebenarnya, yaitu Tiongkok,” kata J.D. Vance.

“Tiongkok adalah ancaman terbesar bagi negara kita. Dan perhatian kita benar-benar teralihkan,” katanya.

Pada  15 Juli, selama Konvensi Nasional Partai Republik, Presiden Donald Trump secara resmi mengumumkan J.D. Vance sebagai pasangannya pada  2024. Pengumuman ini datang hanya dua hari setelah mantan presiden tersebut selamat dari upaya pembunuhan selama rapat umum kampanye di Butler, Pennsylvania.

Senator yang berusia 39 tahun itu vokal mengenai perlunya melawan ancaman yang ditimbulkan oleh Partai Komunis Tiongkok. Pada tahun 2023, J.D. Vance memperkenalkan sebuah rancangan undang-undang yang mewajibkan universitas-universitas Amerika untuk mengungkapkan hadiah dan sumbangan apa pun sebesar U$D 250.000 atau lebih dari negara-negara yang menjadi perhatian.

“Kita tidak dapat membiarkan Partai Komunis Tiongkok, atau negara musuh lainnya, terus menyusup dan mengeksploitasi sistem pendidikan tinggi kita,” katanya dalam pernyataan pada bulan September 2023 yang menyertai rancangan undang-undang tersebut.

Pada April, J.D. Vance memperingatkan mengenai terbatasnya kapasitas Amerika Serikat untuk terlibat dalam berbagai konflik dunia secara bersamaan dan mendorong Amerika Serikat untuk berkonsentrasi dalam mengatasi  ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh “musuh Amerika Serikat yang sebenarnya

“Bukannya kami tidak mengagumi keberanian rakyat Ukraina. Tentu saja kami mengaguminya. Apakah Amerika Serikat terlalu lemah,” ujarnya dalam wawancara dengan Fox News pada akhir April lalu.

“Kami tidak memiliki kapasitas industri untuk mendukung perang di Ukraina, perang di Israel, atau kemungkinan perang di Asia Timur jika Tiongkok menginvasi Taiwan, maka Amerika Serikat harus memilih.”

Taiwan, sebuah pulau dengan pemerintahan sendiri yang diklaim oleh Partai Komunis Tiongkok sebagai wilayahnya, telah mengalami peningkatan tekanan di bidang militer, politik, dan ekonomi dari Beijing dalam beberapa tahun terakhir.

Washington memelihara hubungan yang kuat dengan Taipei, tetapi dengan kebijakan yang sudah lama ada terhadap Taiwan, yang dikenal sebagai “ambiguitas strategis,” pemerintahan Amerika Serikat sengaja tidak menjelaskan apakah mereka akan mempertahankan pulau itu jika terjadi invasi oleh Tiongkok.

Setelah pelantikan Presiden Taiwan Lai Ching-te pada  Mei, militer Tiongkok melakukan sebuah latihan skala besar selama dua hari di wilayah laut dan udara dekat Taiwan. Beijing mengatakan permainan perang itu dirancang untuk menguji kemampuan Tiongkok untuk “merebut kekuasaan” atas pulau tersebut, sehingga meningkatkan kekhawatiran di kalangan Amerika Serikat dan Uni Eropa.

J.D. Vance telah memperingatkan mengenai apa yang ia gambarkan sebagai potensi dampak “bencana” terhadap  perekonomian Amerika Serikat jika agresi Tiongkok meningkat menjadi serangan terhadap Taiwan, yang merupakan produsen utama produk chip-chip yang canggih di dunia.

Saat berpidato di KTT 2023 yang diselenggarakan oleh Heritage Foundation, J.D. Vance menekankan kebutuhan yang kritis untuk mencegah invasi Tiongkok ke Taiwan.

“Hal ini akan menjadi bencana besar bagi negara ini. Hal ini akan menghancurkan seluruh perekonomian kita. … Hal ini akan mengakibatkan negara ini mengalami Depresi Hebat,” katanya.

J.D. Vance mendesak Amerika Serikat untuk meningkatkan kapasitas produksinya, terutama di bidang manufaktur senjata dan peralatan militer. Ia berpendapat bahwa Amerika Serikat telah tertinggal dibandingkan negara-negara seperti Rusia dan Tiongkok di bidang yang penting ini.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping “tidak peduli dengan kekesalan kita. Mereka tidak peduli dengan apa yang kita katakan. Mereka peduli apakah kita dapat membuat cukup peluru untuk melawan perang yang mungkin harus kita lawan,” katanya. “Kita harus fokus pada Tiongkok karena itulah musuh yang sebenarnya.” (Vv)