oleh Tang Di – New Tang Dynasty TV
Pengguna media sosial X yang bernama “News Investigation” mengunggah sebuah rekaman audio yang mengisahkan pengalaman seorang pria asal Beijing, dengan dialek Beijing yang kental. Ia mengaku telah menjalani transplantasi organ. Dalam rekaman tersebut, ia menceritakan bahwa pendonor organnya berusia 26 tahun dan seorang temannya telah menjalani transplantasi organ hingga tiga kali. Rincian mencengangkan ini kembali memicu perhatian publik terhadap tuduhan tentang operasi pengambilan organ secara sistematis oleh pemerintah Tiongkok.
Seorang pria Beijing yang menggunakan nama daring “Er Hei” tersebut menjelaskan bahwa ia menjalani transplantasi hati pada tahun 2016 ketika ia berusia 44 tahun. Pihak rumah sakit tidak memberitahukan nama atau jenis kelamin donor, hanya mengatakan bahwa donor berusia 26 tahun. Biaya operasinya mencapai sekitar RMB 20.000 (dalam mata uang Tiongkok) atau setara Rp 44 juta dan harga organ hati adalah RMB.450.000 (Rp 1 Miliar). Total biaya yang ia keluarkan untuk transplantasi organ ini mencapai lebih dari RMB.800.000 (Rp 1,7 Miliar) .
(Screenshot dari Platform X)
Pria asal Beijing ini juga mengeluhkan bahwa obat yang harus dikonsumsinya pasca operasi sangat mahal yaitu RMB.30 (Rp 67.000) per butir dan ia harus meminum 4 butir per hari. Dikarenakan obat tersebut menurunkan kekebalan tubuhnya, setiap kali ada penyakit seperti flu atau penyakit menular lainnya, ia pasti tertular.
Ia juga menyebutkan bahwa ia memiliki seorang teman dari Xinjiang yang telah menjalani transplantasi organ hingga tiga kali. Setelah operasi ketiga, ketika sedang dalam perjalanan pulang ke Urumqi, kondisi teman tersebut memburuk dan akhirnya meninggal dunia.
Saat ditanya mengapa ia membutuhkan transplantasi hati, pria tersebut mengatakan disebabkan oleh kebiasaannya mengonsumsi alkohol, atau yang ia sebut sebagai “hati alkohol.” Ia menambahkan bahwa setelah mendapatkan hati baru, ia masih mengonsumsi alkohol. Dokter mengatakan bahwa selama fungsi hati normal, ia bisa minum alkohol dalam jumlah tertentu. Namun, setelah terinfeksi COVID-19 untuk kedua kalinya tahun lalu, tubuhnya merasa lemah, ia merasa sangat lelah, dan setiap kali berjalan 200-300 langkah, ia merasa sesak napas seperti orang yang tidak berguna.
Di bawah rekaman terkait, pengguna Platform X dengan nama @wan0924290 menulis di kolom komentar: “Tiongkok memiliki jumlah transplantasi organ terbanyak kedua di dunia, dengan waktu tunggu sangat singkat, hal ini menimbulkan kecurigaan dan perhatian tentang sumber organ. Jumlah pusat transplantasi organ di Tiongkok tumbuh dengan cepat, dengan ratusan rumah sakit melakukan banyak operasi transplantasi setiap tahunnya. Tindakan pelanggaran hak asasi manusia serus yang mungkin terjadi di balik industri transplantasi organ di Tiongkok menarik perhatian dan kecaman keras dari komunitas internasional. Namun, otoritas Tiongkok terus menyangkal tuduhan ini dan menolak menerima penyelidikan independen apa pun.”
Tuduhan terhadap pemerintah partai komunis Tiongkok yang diduga melakukan pengambilan organ secara sistematis termasuk dari praktisi Falun Gong, semakin gencar terungkap di luar negeri dalam beberapa tahun terakhir. Kini, komunitas internasional yang sebelumnya tidak percaya bahwa praktik kejam ini terjadi di Tiongkok mulai menyadari fakta tersebut. Walhasil, semakin banyak kelompok politik mulai mengambil tindakan untuk menghentikan kejahatan yang mengerikan ini.
Pada 30 Juli lalu organisasi internasional The Inter-Parliamentary Alliance on China (IPAC) yang terdiri dari lebih dari 250 anggota parlemen lintas partai dari 40 negara, mengadakan pertemuan tahunan. Selama sesi tanya jawab di konferensi tersebut, seorang jurnalis dari Epoch Times menanyakan apakah IPAC, yang telah berulang kali mengutuk penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong oleh pemerintah Komunis Tiongkok untuk berencana mengambil tindakan lebih lanjut untuk menghentikan pengambilan organ secara paksa. Contohnya, dengan mendorong undang-undang di setiap negara membentuk “tembok hukum” di seluruh dunia?
Ketua IPAC, anggota parlemen dari Partai Hijau Jerman, Reinhard Bütikofer, menjawab: “IPAC tidak hanya mempertimbangkan tindakan, tetapi juga telah mengambil tindakan.”
Reinhard Bütikofer menyatakan bahwa IPAC baru-baru ini merilis pernyataan, “Saya pikir kami akan menindaklanjuti dalam konteks ini dan memastikan bahwa posisi yang kami ambil dikenal luas, diakui, dan didukung.”
Pada 20 Juli lalu, IPAC mengeluarkan pernyataan tentang “Peringatan 25 Tahun Penganiayaan Terhadap Praktisi Falun Gong.” Dalam pernyataan ini, IPAC menyatakan keprihatinannya tentang “penderitaan yang berlarut-larut dan berat” terhadap para praktisi Falun Gong, dengan menyatakan bahwa puluhan ribu praktisi Falun Gong telah dipenjara di Tiongkok, dan tidak diketahui berapa banyak yang menjadi sasaran bentuk-bentuk penyiksaan terburuk, “termasuk laporan yang tersebar luas dan dapat dipercaya mengenai pengambilan organ tubuh yang disponsori oleh negara”.
Pernyataan tersebut juga menekankan bahwa “tidak ada etnis minoritas, terlepas dari keyakinan mereka, yang boleh dirampas hak-hak dasar mereka” dan IPAC menyerukan kepada pemerintah untuk “mendesak agar pemerintah Tiongkok (PKT) segera mengakhiri penganiayaan terhadap minoritas agama dan menjunjung tinggi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditandatangani oleh Tiongkok.” (Hui)